Search
Close this search box.

[CERPEN] Pertemuan Di Ujung Bahagia

Oleh : Regza Sijogur

Suarakita.org – “Berapa usiamu?”

“25 tahun.”

“Sudah punya kekasih?”

Ah mungkin dia sedang bergurau. Ingin mengakui jika aku sendiri, namun hati berontak. Dari beberapa orang yang menerima pengakuan jujurku semua pasti memberikan argumen yang tidak sedap; cowok ganteng seperti kamu tidak punya kekasih? Harus kuakui itu sebuah pertanyaan yang tragis. Meski banyak yang bilang wajahku sebelas duabelas dengan Indra Brugman, namun tidak bisa kupungkiri jika aku masih sendiri.

“Belum ketemu jodoh,” jawabku singkat.

Aneh saja bagiku. Orang yang notabenenya tidak aku kenal datang menyergap dengan pertanyaan yang tidak wajar.

Seperti biasa, jika hatiku sedang gundah, hal yang mampu mengobatinya hanya berbaur dengan alam. Sama seperti sore ini, aku prustasi setelah didepak dari kantorku hanya melakukan sebuah kesalahan kecil. Perlakuan bosku sungguh tidak adil bagiku. Bagaimana tidak, aku yang sudah mengabdikan diri di kantor itu selama lima tahun, dengan mudahnya bisa ditendang keluar hanya karena kesalahan kecil pada penyusunan satu laporan yang tidak penting-penting amat.

Jika dalam kondisi stres seperti ini, aku hanya ingin menghirup udara segar. Merasakan setiap desiran angin dan kicauan burung yang bermain di atas dahan. Dan tempat yang paling tepat adalah sebuah taman di sudut kota yang masih asri dan lumayan luas. Meski tidak seramai orang di mall, namun taman ini cukup mendapat perhatian banyak pengunjung. Apalagi di hari libur seperti ini.

“Belum ketemu jodoh? Padahal kamu cakep loh!” seru lelaki asing itu lagi.

Jujur saja aku merasa tidak nyaman dengan lelaki asing ini. Aku merasa harkatku sebagai jomblo cakep sedang dipertaruhkan.

“Atau jangan-jangan…” kali ini dia menatapku nakal. Beugh! Sambaran mata elangnya tepat jatuh di retinaku. Perlahan aku menunduk malu dan mulai mengindari tatapannya. Ingin segera kabur, namun hati masih terasa berat untuk pergi. Beban yang sedari tadi ingin kuringankan tak kunjung berkurang. Aku tertekan. Tersudut.

Rasanya dia seperti petugas sensus yang terus menerorku dengan berbagai macam pertanyaan tidak penting, menurutku. Dari tampangnya, dia tidak cocok seperti seorang polisi atau psikolog. Entah apa tujuannya, mungkin saja hanya iseng belaka.

“Atau jangan-jangan apa, Mas?” tanyaku mulai resah.

“Kamu terlalu pemilih,” jawabnya.

Angin segar yang kuhirup setelahnya. Jujur saja aku sempat takut dengan kalimatnya yang sempat menggantung di awal. Namun ketika dugaan itu salah, ada perasaan lega yang membuncah dalam dada. Angin di taman berhembus tepat waktu, mengalun lembut dan mendatangkan aroma-aroma berbeda. Bau kayu mahoni menebar memberikan kesan berbeda dalam penciumanku, bertepatan dengan sikap manis yang mulai ditunjukkan oleh lelaki asing itu.

“Tidak guna juga jika aku jadi pemilih, Mas. Toh, kaum hawa pada kabur pas ketemu. Terkadang aku bisa merasa sedih jika pada situasi seperti itu,” kataku sedikit curhat.

Lelaki itu malah tertawa. Setelah kuamati sedari tadi, dia tampak sangat bersemangat mengorek-orek harga diriku sebagai jomblo paling bahagia di dunia. Jujur saja, aku tidak pernah mempermasalahkan gelar paling tragis ini. Selama ini aku sangat menikmati masa-masa sebagai penyendiri. Justru masalah pekerjaanlah yang kerap membuat aku stres, seperti sekarang ini. Entah ini masalah kejiwaan, aku tidak tau.

Lelaki itu semakin mendekat ke arahku. Kali ini tindakannya di luar dugaanku. Masih dengan senyum nakal sebuah suara kecil berkumandang dari mulutnya. “Bisa menatap mataku walau hanya satu menit?” tanyanya tanpa ragu.

Sejenak kupandang lelaki asing itu. Aku mencoba meramal apa yang tengah dipikirkannya. Namun mata elangnya yang terlanjur tepat merajam retinaku membuatku seolah tak berdaya. Pikiran tak karuan mulai bertebaran dalam otakku. Aku dan dia seperti berada dalam satu ruangan luas tanpa adanya penghuni lain yang dapat membuyarkan konsentrasi kami. Semakin lama pikiranku mulai gagal fokus. Wlau mataku berada di ujung retinanya, namun tidak demikian dengan pikiranku. Aku lebih fokus pada dua bibir tipisnya yang sedari tadi tidak berhenti tersenyum nakal. Dan pikiranku semakin menjadi-jadi tatkala lidahnya mulai menyapu permukaan bibirnya yang mulai mengering. Pikiranku mulai gila setelah melihat sepasang bibir merah lelaki asing itu.

“Cukup!” ujarnya sembari memalingkan wajah ke sudut taman yang dipadati oleh orang-orang yang tampak sedang melakukan olah raga ringan. Di saat yang bersamaan, kudapati bibirnya masih saja menyisakan senyum kecil yang sama seperti tadi.

“Ada yang salah dengan mataku?”

“Oh, tentu saja tidak,” jawabnya gugup.

Sekejab suasana berubah kaku. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk mencairkan suasana. Lelaki itu terlihat memainkan telepon seluler dalam genggamannya. Menurutku dia juga mengalami hal yang sama denganku.

“Sepertinya hujan akan segera turun. Kita harus berpisah,” katanya ragu.

“Mungkinkah kita akan bertemu lagi?” tanyaku penuh harap. Ada rasa yang mendorong dalam dada untuk mengungkapkan kata-kata itu.

“Jika tidak keberatan, kita bisa saling tukar nomor kontak,” katanya seraya menyodorkan telepon selulernya ke arahku. Tanpa ragu aku meraihnya, ada senyum penuh arti yang muncul di atas bibir tipis lelaki asing itu yang lagi-lagi membuatku seraya melayang ke langit ketujuh.

“Thanks, pasti akan kuhubungi. Sebenarnya, aku masih berharap kita bertemu lagi,” katanya malu-malu.

Dengan langkah tergesa lelaki itu berjalan ke arah deretan sepeda motor yang terparkir di sudut taman. Mataku hampir saja tidak berkedip ketika melihat siluet tubuhnya yang sangat menarik. Dia melenggok seperti penari. Melakonkan sebuah adegan luarbiasa yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku baru sadar ketika lelaki itu menghilang di antara kerumunan kendaraan yang menyesaki jalan raya.

***

Panji Bramasta. Sebuah nama yang setiap kali mendengarnya membuat jantungku menari erotis. Aku merasakan sesuatu yang aneh ketika mengingat lelaki asing itu. Lelaki aneh yang tanpa sengaja bertemu denganku di taman kota beberapa waktu yang lalu. Ada getaran berbeda dalam dadaku ketika mengingat lelaki itu.

“Kita belum saling mengenal. Nama saya Sandy Handoko,” kataku memulai pembicaraan.

“Oh, iya! Aku pikir pertemuan kemarin memang terlalu singkat. Hingga tidak sadar kita belum saling memperkenalkan diri. Nama saya Panji Bramasta. Panggil saja Bram,” ucapnya bersemangat.

Tiba-tiba saja aku merasa seperti orang yang sedang jatuh cinta. Jiwaku serasa melayang ketika mendengar nama itu. Mengingat posturnya yang memang aduhai, nada bicaranya yang terkesan sangat lelaki dan nama itu. Perlahan aku mulai mengagumi semua yang ada dalam diri Bram.

“San…” kataya, memecahkan lamunanku di seberang telepon. “Kapan kita akan bertemu lagi?”

“Kapan saja kamu bisa. Jam kantorku berakhir pada pukul 16:00,” jawabku.

“Bagaimana jika nanti sore aku jemput?”

Walau sedikit kaget, namun tetap saja aku mengiyakan. Selain menghemat ongkos, aku juga ingin bertemu dengannya. Beberapa waktu yang lalu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan keuangan setelah didepak dari kantorku yang sebelumnya. Aku tidak harus pusing karena terlalu lama menganggur.

“Silahkan saja jika tidak merepotkan,” jawabku lagi.

“Tentu saja tidak. Sampai ketemu, Sandy Handoko.”

Panggilan berakhir.

Bram menepati janjinya, baru saja aku keluar dari kantor aku menemukan sebuah fortuner hitam terparkir manis tidak jauh dari pintu utama kantorku. Aku melihat Bram melambaikan tangannya ke arahku. Seolah memberi kode jika dia sudah menunggu. Dengan langkah ringan aku menghampirinya.

“Sudah lama?”

“Dua puluh menit lebih cepat dari kamu,” jawabnya.

“Tidak masalah jika aku yang harus menunggu.”

“Tidak masalah juga jika aku menunggu untuk kamu.”

Bram membawaku ke sebuah restoran Jepang yang leyaknya cukup jauh dari kantor. Setelah berjuang melewati kemacetan yang sungguh terlalu, kami tiba di restoran itu ketika mega-mega merah menggantung di langit.

Bram memilih sebuah meja di sudut. Temaram lampu yang tidak terlalu terang membuat suasana terkesan sangat romantis. Tidak ada percakapan berarti di antara kami setelah memutuskan menu yang harus dipesan. Untuk menghindari rasa kikuk, aku sengaja melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Posisi kami yang berada di sudut seolah memudahkan aku untuk menikmati interior Jepang yang sangat khas dalam restoran itu. Walau tidak terlalu ramai, namun mataku menangkap beberapa orang yang hilir mudik masuk ke dalam restoran. Sebagian di antaranya adalah pasangan.

“San…” kali ini Bram menyentuh jemariku yang teronggok di atas meja. Seperti tidak siap, aku kaget dan tidak percaya. Sebuah senyum mengumbar di bibir tipis Bram. “Entah mengapa aku tidak bisa melupakanmu setelah pertemuan kita kemarin. Maaf aku lancang, aku hanya tidak ingin memendamnya sendiri,” kata Bram jujur.

Sementara aku hanya diam melongo seperti orang bodoh. Aku juga merasakan hal yang sama namun mulutku terasa berat untuk mengakui. Kulayangkan pandangan ke luar, jalanan masih saja sibuk dengan aktivitas, tidak peduli walaupun malam telah merambat tua. Teriakan setiap kendaraan yang membelah jalan seolah menyemarakkan suasana malam.

“Bagaimana, San?” tanya Bram lagi.

Aku mengangguk disertai sebuah senyuman yang berarti aku juga merasakan hal yang sama.

Sementara sang waktu telah bergulir perlahan, Bram membawaku ke taman. Tempat pertama kali kami bertemu. Lelaki itu semakin berani, tanpa sungkan dia menggandeng jemariku dan mengajakku duduk di sudut taman. Di bawah sinar rembulan yang mengintip malu dari balik awan, aku dan Bram saling bertaut. Aku hanya berharap sang rembulan tidak pernah cemburu saat melihatku begitu bahagia bersama Bram.

 

Belawan, 15 Juni 2015

Bagikan