Search
Close this search box.

LGBT Bukan Bangsa Indonesia?

Oleh : Bhadrika Dirgantara*

Suarakita.org- Beberapa waktu lalu, beredar jarkoman whatsapp mengenai pernyataan sikap Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (selanjutnya disingkat BEM SI) mengenai LGBT. Pernyataan sikap ini dikeluarkan oleh Forum Perempuan BEM SI dan ‘ditandatangani’ oleh Putri Jonesti, Koordinator Forum Perempuan BEM SI, tak lama setelah legalisasi same-sex marriage di Amerika Serikat.

Sebagai ‘mahasiswa’ yang kerap dinyatakan sebagai konstituen BEM (BEM Universitas saya memang tidak tergabung dalam BEM SI, namun terdapat 116 universitas yang tergabung dalam BEM SI) dan seorang laki-laki homoseksual, saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca jarkoman tersebut, khususnya pada bagian yang menyatakan bahwa LGBT bukanlah Bangsa Indonesia.

Artikel ini akan menjawab paragraf-paragraf pernyataan sikap BEM SI, jika ada yang tak setuju atau mengharapkan adanya penggunaan teori sosial yang lebih matang (artikel ini, hampir seluruhnya, opini; hampir tak ada penggunaan teori), mari kita berdiskusi dan buka ruang dialektika.

Fenomena LGBT (Lesbian Gay Bisexsual dan Transgender) memang sudah lama menjadi perbincangan hangat berbagai forum diskusi intelektual dan belakangan kembali menyeruak kepermukaan, ditambah lagi beberapa waktu yang lalu negara adidaya Amerika Serikat telah melegalkan Praktek LGBT tersebut dan berimbas pada eksistensi LGBT yangb ada di seluruh belahan dunia termasuk Negara Multi Cultural Indonesia.

Kalimat di atas merupakan paragraf pembuka dari pernyataan sikap ini. Bagi saya yang berada di lingkungan kampus, pembahasan mengenai LGBT tidak pernah redup, sehingga ia tidak pernah tenggelam dan kemudian muncul lagi ke permukaan karena legalisasi pernikahan sesama jenis kelamin di Amerika Serikat.

Hal yang menarik (dalam tulisan ini saya akan banyak sekali menyebut “hal menarik” atau “yang menarik” karena pernyataan sikap ini, bagi saya, memang sangat menarik) ialah BEM SI berpikir bahwa terdapat keterkaitan antara ‘Amerika Serikat telah melegalkan Praktek LGBT’ dengan ‘Eksistensi LGBT’ yang ada di seluruh belahan dunia termasuk negara Multikultural Indonesia.

Jika yang dimaksud BEM SI ialah dengan Amerika Serikat melegalisasi pernikahan sesama jenis, maka produk hukum serupa dapat muncul di negara-negara lain, saya mungkin dapat memaklumi BEM SI. Mungkin saja BEM SI melihat bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki keunggulan dalam tatanan ekonomi-politik global sehingga negara lain dapat menerapkan kebijakan serupa.

Akan tetapi, BEM SI menyatakan bahwa imbas dari legalisasi pernikahan sesama jenis kelamin ini ialah eksistensi LGBT di seluruh penjuru dunia. Hal ini yang menjadi menarik karena LGBT memang telah eksis dan akan terus eksis tanpa melihat apakah Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis kelamin atau tidak.

Perilaku manusia dalam mengusung kebebasan di zaman ini semakin meresahkan saja. Perilaku seksual yang bebas bahkan menyimpang, dan kini meminta penerimaan secara sah di tengah-tengah masyarakat, dengan mengkambing hitamkan Hak Asasi Manusia dan menganggap ini merupakan kebebasan berprilaku, HAM yang semula lahir dimaksudkan untuk membebaskan umat manusia dari penjajahan dan perbudakan, belakangan justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern.

Saya sepakat bahwa gagasan mengenai HAM harus dapat membebaskan manusia dari penjajahan, perbudakan, dan penindasan. Dengan demikian, jika gagasan mengenai HAM digunakan untuk membebaskan LGBT dari segala jeruji yang mengikatnya, maka, saya pikir, HAM masih berada di jalannya (setidaknya sebagaimana diancang oleh BEM SI).

Pernyataan ini dapat saya munculkan karena LGBT saat ini juga berada dalam penjajahan dan perbudakan. LGBT, saya pikir, sedang dijajah dan diperbudak oleh heteronormativitas dalam segala aspek sehingga belum dapat berjalan bebas dengan identitasnya dan merayakan ketubuhannya layaknya manusia yang benar-benar merdeka.

Oleh karena itu, saya menjadi bingung ketika BEM SI menyatakan bahwa, dalam konteks LGBT, HAM justru menjadi senjata ampuh untuk menghidupkan kembali Imperialisme Modern. Maafkan saya, BEM SI, karena lagi-lagi saya tidak dapat menemukan korelasinya.

Memandang LGBT dari sudut pandang HAM memang menimbulkan banyak pro kontra, tetapi kita atas nama bangsa Indonesia harus menyadari bahwa HAM di Indonesia berdasarkan pada pilar-pilar kebangsaan yang berpatok pada UUD NKRI 1945, HAM saat ini dijadikan pedang sebagai sarana menolak Hukum Nasional bahkan Hukum Tuhan didalam Agama, didalam UUD NKRI 1945 telah jelas mengenai eksistensi HAM dan bangsa Indonesia sangat mengapresiasi hal tersebut, tetapi perlu diperhatikan HAM saat ini telah banyak mengangkangi pilar Utama negara yakni Asas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi inti Pancasila dan UUD 1945.

Saya tidak akan memperdebatkan Hukum Tuhan dan Hukum Agama pada tulisan ini. Sebagaimana kita ketahui, hukum tuhan berada dalam teks agama dan teks agama amat multi-intepretasi. Satu hukum yang sama dapat ditafsirkan berbeda oleh tangan dan kepala yang berbeda.

Bagi saya, lebih penting bagi kita untuk melihat pernyataan BEM SI mengenai HAM sebagai pedang sebagai sarana menolak Hukum Nasional, termasuk di dalamnya mengangkangi pilar utama negara yakni asas Ketuhanan yang Maha Esa yang menjadi inti Pancasila dan UUD 1945.

BEM SI, mungkin saya tidak begitu nasionalis dan tidak mampu melakukan pembacaan pada Pancasila sepandai teman-teman BEM SI. Akan tetapi, saya pikir BEM SI harus mengingat poin-poin berikut:

  1. Butir kelima sila pertama Pancasila yang menyatakan bahwa, “Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, “hukum Tuhan di dalam agama” seharusnya tidak menjadi urusan publik.
  1. Butir kedua sila kedua yang menyatakan bahwa “Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya”. Saya pikir kita harus mengakui persamaan derajat dan hak manusia tanpa membedakan manusia berdasarkan identitasnya. Yang menarik ialah butir ini memuat “dan sebagainya”, sehingga butir ini masih membuka ruang pengakuan bagi perbedaan identitas dari aspek-aspek lain yang belum termaktub dalam butir ini, misalnya identitas gender dan orientasi seksual.
  1. Butir keenam sila ketiga yang menyatakan bahwa “Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika”. Senada dengan poin sebelumnya, persatuan harus dikembangkan tanpa melakukan pembedaan dengan basis identitas. ‘Bhinneka Tunggal Ika’, saya pikir, meniscayakan persatuan meski terdapat perbedaan. Dengan demikian, perbedaan identitas gender dan orientasi seksual seharusnya tidak menghalangi persatuan suatu bangsa.
  1. Butir pertama sila keempat yang menyatakan bahwa “Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama”. Ketika kita berbicara mengenai LGBT dalam konteks publik, maka kita seharusnya tidak melihat LGBT sebagai pendosa-dan-penyimpang-yang-melanggar-aturan-agama-tertentu, namun melihatnya sebagai warga negara dan warga masyarakat yang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.

Oleh karena itu, pada bagian mana HAM, dalam hal ini mengenai LGBT, mengangkangi Pancasila?

Seperti yang kita ketahui bersama Indonesia memiliki identitas sosial yang sangat kuat bahkan bisa dipastikan akar kehidupan sosial, budaya, dan agama yang ada di Indonesia sangat bertolak belakang dengan praktik LGBT. Jika dipaksakan, dipastikan akan muncul penolakan dan pergolakan masif dari masyarakat. Sebelum ini terjadi, kita semua berharap kepada Pemerintah sebagai pemangku kebijakan penuh terhadap eksistensi hukum nasional dan kebudayaan nasional agar memberikan penindakan tegas terhadap kaum yang menyimpang ini.

Pertama, BEM SI menyatakan bahwa Indonesia memiliki identitas sosial yang sangat kuat. Saya pikir BEM SI sedang bicara sebagai Indonesia sebagai suatu bangsa. Dengan demikian, BEM SI sedang bicara mengenai bangsa Indonesia sebagai sebuah kesatuan kultural.

Permasalahannya, konsep bangsa sangat dapat diperdebatkan. Jika kita melihat bahwa bangsa merupakan kategori kultural yang memiliki satu kebudayaan yang sama (dan yang saya maksud dengan kebudayaan bisa jadi mengenai sistem pengetahuan atau aspek-aspek material) maka kebudayaan apa yang kita miliki bersama sebagai bangsa Indonesia?

Apakah terma ‘kebudayaan nasional’ memang dapat menemukan perwujudan riilnya atau ia hanya jargon yang dielu-elukan oleh Pemerintah Nasional? Jika kebudayaan nasional ini sejatinya tidak ada, lalu apa yang mendefinisikan kita sebagai sebuah bangsa dan bagaimana seperti apa rupa identitas sosial yang dimiliki oleh ‘bangsa’ Indonesia?

Kedua, BEM SI menyatakan akar kehidupan sosial, budaya, dan agama yang ada di Indonesia sangat bertolak belakang dengan praktik LGBT. Saya tidak begitu paham akar kehidupan sosial, budaya, dan agama itu seperti apa. Akan tetapi, pernyataan BEM SI ternyata salah.

Kita mengetahui bahwa terdapat sejumlah kebudayaan di wilayah Indonesia yang erat kaitannya dengan homoseksualitas dan transvetitisme, sebut saja masyarakat Bugis yang mengenal lebih dari dua gender dan ritus inisiasi masyarakat Marind-anim yang melibatkan penetrasi homoseksual (Oetomo, 1999).

Sama halnya dengan akar kehidupan agama di Indonesia. Pada masyarakat Bugis, orang yang dapat berperan sebagai pemuka agama ialah Bissu, yaitu seorang yang pada saat yang sama merupakan laki-laki dan perempuan (Oetomo, 1999). Dengan demikian, perwujudan kebudayaan di atas dapat menegasikan pernyataan BEM SI mengenai akar kehidupan budaya dan agama di Indonesia yang mereka anggap bertolak belakang dengan praktik LGBT.

Ketiga, jika praktik LGBT dipaksakan, dipastikan akan muncul penolakan dan pergolakan massif dari masyarakat. Nyatanya, praktik LGBT (jika LGBT memang merupakan sebuah praktik) memang telah ada di masyarakat. Ilustrasi kebudayaan di atas telah menunjukkan bahwa secara historis, homoseksualitas memang telah menemukan perwujudan riilnya di masyarakat. Selain itu, kita tidak dapat meniadakan keberadaan orang-orang LGBT di Indonesia karena eksistensi kami memang ada dan akan tetap ada.

Keempat, pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap hukum dan kebudayaan nasional dapat memberi penindakan terhadap kaum menyimpang ini. Sebagaimana telah saya paparkan pada bagian sebelumnya, kita perlu mempertanyakan terlebih dahulu apa yang didefinisikan sebagai kebudayaan nasional.

Saya pikir, terdapat dua hal yang perlu disoroti dalam pernyataan ini, yaitu: (1)Posisi pemerintah, jika kita kembali melihat sila kedua Pancasila pada butir kedua, tiap warga negara dan warga masyarakat memiliki persamaan derajat, hak, dan kewajiban tanpa peduli pada kategori sosial berbasis identitas primordial. Dengan demikian, bukan hanya BEM SI yang heteronormatif ini yang memiliki kepentingan untuk diartikulasikan oleh pemerintah, melainkan ‘kaum LGBT’ memiliki kepentingannya tersendiri pula; dan (2)Penggunaan terma ‘kaum menyimpang’. Saya pikir, BEM SI perlu berpikir sekali lagi tentang apa yang menyimpang dan apa yang normal. Mengacu pada WHO (1990), homoseksual telah dicabut dari daftar penyakit kejiwaan.

Dengan demikian, bagaimana BEM SI dapat menyatakan bahwa LGBT merupakan kaum menyimpang? Apakah karena bertentangan dengan norma umum? Bisa jadi, namun seorang teman pernah menyatakan pada saya bahwa dunia ini dibangun di atas jaring-jaring kesepakatan yang rapuh. Dengan demikian, apa yang normal dan abnormal merupakan konstruksi dan konsensus bersama. LGBT bisa jadi menyimpang jika dibandingkan dengan komunitas heteroseksual. Akan tetapi, bagaimana BEM SI dapat mengetahui seberapa besar komunitas heteroseksual jika sebagian besar LGBT masih bersembunyi di dalam kloset?

Dengan memperhatikan fenomena tersebut kami dari Aliansi Forum Perempuan BEM Seluruh Indonesia menyuarakan:

  1. Bahwa kami menolak dengan tegas bencana kemanusiaan ini (LGBT), dan menolak eksistensinya di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Pemerintah harus mengambil peran sentral di dalam Fenomena kultur Barat ini (LGBT) demi menghindari pergolakan Masif dari Masyarakat yang merugikan banyak pihak.
  3. Bahwa dengan tegas kami menyatakan LGBT Bukan Bangsa Indonesia.

Saya tak perlu berucap lebih banyak lagi. Anda dapat menilai sendiri pernyataan sikap ini berdasarkan gagasan dan pendapat yang telah saya lontarkan sebelumnya. Pada akhirnya, saya pikir, anggota BEM SI tidak banyak berinteraksi dengan LGBT dan tidak banyak membaca bahan bacaan mengenai LGBT sehingga dapat menyatakan hal-hal di atas. BEM SI harus memahami terlebih dahulu bahwa LGBT bukanlah kategori sosial yang monodimensional.

Sebagai identitas gender dan orientasi seksual, LGBT merupakan identitas yang dimiliki oleh manusia dan terdapat pada beragam lapisan yang berbeda. Di kampus saya sendiri, seorang laki-laki homoseksual dapat menjadi pengurus aktif himpunan mahasiswa dan seorang perempuan biseksual dapat menjadi ketua panitia sebuah kegiatan kebudayaan.

Pada tataran yang lebih luas, orang-orang homoseksual, biseksual, maupun transgender dapat menjadi akademisi, buruh, politisi, pemilik perusahaan, hingga pemuka agama. LGBT, sekali lagi, merupakan identitas yang dimiliki oleh manusia dan benar-benar ada dalam tatanan masyarakat Indonesia. LGBT bukanlah kategori liyan yang sangat asing dari kehidupan kita. Orang-orang LGBT telah ada dan akan tetap ada dalam tatanan masyarakat Indonesia, serta sangat mungkin merupakan orang-orang terdekat kita.

Dengan demikian, mari sama-sama belajar agar dapat lebih terbuka pada perbedaan dan tidak sembarangan mengucap ini dan itu layaknya pernyataan sikap BEM SI yang ugal-ugalan ini.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI.

Isi lengkap pernyataan sikap BEM SI bisa dilihat di sini.