Oleh : Oriel Calosa*
Suarakita.org- Kami mengenal sudah lama di BBM (Blackberry Messengger – red). Rasanya, tidak pernah ada permasalahan dalam proses perkenalan bahkan merasa bahwa bahasa yang digunakan nyaris familiar dalam bahasa yang digunakan sehari-hari. Hingga pada satu waktu, saat kami ingin membuat sebuah janji bertemu, tiba-tiba dia BBM, “Tapi, saya tunarungu, gimana Mas?”
Sebenarnya saya sangat sering bertemu dengan kawan-kawan yang difable. Beberapa memang tunarungu dan tunawicara. Namun yang menjadikan saya ingin jauh memahami sosok seorang difable satu ini karena biasanya bahasa percakapan yang kami lalui sering berbuah ketidak-pahaman karena kacaunya penggunaan kata yang digunakan.
Bahkan, ketika halal bi halal yang diadakan Komunitas Sobat Semarang (komunitas gay kota semarang – red) ada seorang kawan komunitas yang difable ikut hadir di sana. Hal ini membuat saya menjadi merinding dan menyesal karena tidak terpikirkan dalam benak saya untuk mencari tempat yang bersahabat dengan berbagai kebutuhan termasuk mereka yang difable.
Saya sendiri merasa tidak nyaman dengan menggunakan istilah ‘penyandang’, rasanya seperti saya sedang bergulat dengan status diri saya sendiri jika saya di-‘label’-i dengan kata ‘penyadang homoseksual’. Sesuatu yang selalu saya hindari karena kata itu seperti membuat kelas dan parameter normalitas yang selalu ada dalam benak kita.
“Lalu kenapa? Saya tidak masalah dengan itu tapi yang saya takutkan saya tidak paham bagaimana saya harus memperlakukan”, jawab saya saat itu, jawaban sekenanya.
Otak saya tiba-tiba melayang membayangkan bagaimana mereka melewati seksualitas mereka diantara dua status yang bisa jadi membuat mereka semakin berat. Terkadang masih dengan rasa ketertutupan untuk mampu mengungkapkan cerita atau saya yang memang sulit memahami bagaimana berkomunikasi dengan baik dalam menghadapi kawan-kawan yang difable seperti dia?
Alhasil, sejauh apa ketertekanan mereka yang memiliki dua status sekaligus yang bersebrangan atau bahkan berpikir juga bagaimana jika saya menemui kasus seorang gay yang difable tunarungu dan tunawicara dan dia seorang HIV positif atau mungkin mengalami bulliying di lingkunganya?
Parameter heteronormatif yang selama ini melekat di kawan-kawan komunitas saja sudah cukup membuat mereka tertekan oleh asumsi dan ketersiksaan akan perasaan bersalah dan berdosa karena orientasi seksual mereka. Lalu bagaimana dengan mereka yang gay atau lesbian yang difable? Atau bahkan mereka yang juga seorang HIV Positif?
Tidak lama kemudian, dia memajang Display Picture sebuah aksi demonstrasi dengan spanduk bertuliskan BISINDO: Bahasa Isyarat Indonesia.
“BISINDO itu apa?”
“BISINDO itu Bahasa Isyarat Indonesia”, jawabnya.
“Loh, Bahasa Isyarat itu juga ada yang khusus Indonesia toh?”, jawab Saya dengan segala keluguan dan ketidak-pahaman. Lalu mulailah dia bercerita bahwa dia termasuk orang yang memberikan pembelajaran tentang Bahasa Isyarat Indonesia.
Rasa jengah kembali muncul saat saya diundang dalam kegiatan halal bi halal dengan mantan Ibu Walikota, hal yang lucu saat saya diundang kala itu karena dalam undangan masih melabelkan status ‘Ibu Walikota’ sebuah jabatan yang seharusnya sudah tidak lagi dijabat.
Saya paham bahwa ini seperti sebuah kampanye siluman tanpa hasil. Sharing tentang BPJS yang njlimet karena komunitas HIV Positif yang harus melalui jalur RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah – red) menjadi terhambat pengobatanya karena sering dipersulit ketika akan memeriksakan diri di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat – red). Hal ini dijawab secara langsung oleh Direktur RSUD, namun sekali lagi hanya pada ranah “Bahwa semua pasien akan ditangani dengan baik”, tanpa ada solusi tentang interaksi birokrasi yang memudahkan dari RSUD ke RSUP.
Begitu juga ketika saya secara pribadi menyampaikan betapa mereka yang memiliki status HIV Positif dan Gay masih mendapatkan bullying bahkan di Layanan Kesehatan dan keluarganya dan itu yang seringkali membuat proses pengobatan menjadi gagal atau lost follow up.
Saya menyinggung tentang Perda (Peraturan Daerah) Tahun 2013 tentang HIV dan AIDS yang sama sekali tidak membahas tentang diskriminasi yang berbasis gender dan seksualitas, bukan semata tentang diskriminasi ODHA semata namun bagaimana mereka yang Gay dan HIV Postif tidak mendapatkan stigma dan diskriminasi tambahan, bukan hanya di Layanan Kesehatan semata namun juga di lingkungan keluarga.
Alhasil, (Seperti yang saya perkirakan) KPA (Komisi Penanggulangan AIDS – red) merasa Perda sudah melibatkan komunitas (Entah komunitas yang mana. Karena selama saya berkecinpung dengan isu HIV dan AIDS dari Tahun 2007, saya merasa belum ada pelibatan komunitas LGBT di sana).
Kapan komunitas akan memiliki bergaining potition hingga pada satu titik mereka berpikir, “Oh…, Komunitas LGBT ternyata memiliki kekuatan solid”. Kapan mereka yang gay dan memiliki status prestasi yang mumpuni (Seperti seorang kawan yang menjadi aktifis BISINDO atau mereka yang menjadi atlit atau artis) dengan lantang mengungkapkan identitas seksual mereka dengan bangga mengungkapkan “Yes, I’m Gay”.
Entahlah.