Menjemput Ibu di Surga
Oleh: Kupret el-Kazhiem*
Suarakita.org- Ada anak bertanya pada bapaknya … penggalan lirik lagu itu biasanya berkumandang saat Ramadhan. Kadang pelantunnya diundang tampil di televisi ketika di bulan lainnya tak terdengar kabar sama sekali. Tapi aku takkan bercerita soal pemusik lawas yang kini laris cuma musiman. Ini tentang anakku yang tadi sore menanyakan ibunya. Untuk kesekian kali sejak dia tahu namanya keluarga pasti ada ibu dan ayah. Batinku sungguh iba bila anak-anak sebayanya mengejek dan menertawakannya. Kurasa Yosi belum sanggup menerima risalah lidah para tetangga yang seenaknya mengatakan sang ibu tak bertanggungjawab dan pergi dengan kekasih lain. Suatu hari dia pulang sekolah dengan berlari, tak memberi salam atau menyapaku, dan langsung ke kamarnya. Kudengar isaknya berkejaran.
“Jangan menangis lagi, Yos.” hiburku.
Aku merebahkan diri di tempat tidur. Air matanya membasahi bajuku saat dia berbalik memelukku. “Aku harus punya ibu,” katanya.
“Nggak perlu dengarkan mereka.”
“Mereka semua punya ibu … aku juga … harus.”
“Tapi, Yos—”
“Ceritakan siapa ibuku, Yah.”
“Tolong, jangan tanya-tanya soal ini lagi. Toh kita berdua tetap bahagia.”
“Kenapa aku nggak boleh punya ibu?”
“Memangnya Ayah kurang apa? Coba bayangkan, setiap kamu mau sekolah selalu ada tangan yang bisa kamu cium. Pas kamu pulang selalu ada makanan di meja makan.”
“Itu kan Bi Suti yang buatin. Ayah di kantor.”
“Sabtu-Minggu kan Ayah libur. Mau jalan-jalan ke mana saja, pasti Ayah turutin.”
Aku menarik napas panjang. Namun aku tahu ada duka yang tak dapat diungkapkan di balik tawa. Ada tangis di balik senyum manis. Bocah sembilan tahun itu bisa meledak kapan pun. Waktu berdetik di telingaku dengan nada mengancam. Aku takut, sekarang atau nanti, tiada cukup jawaban meyakinkan agar dia mau menerima kenyataan. Untungnya dia kembali ceria esok hari. Seolah percakapan semalam tak pernah terjadi.
“Yosi minta dibelikan layangan,” kata Bi Suti.
“Belikan saja dulu, Bi. Nanti saya ganti di rumah.”
“Tapi belum musimnya, Pak. Susah nyarinya.”
“Di pasar nggak ada?”
“Baik, Pak. Nanti saya ke pasar.”
Layang-layang? Aku tercenung sejenak setelah menutup telepon. Hamparan demi hamparan lanskap muncul dalam kepalaku. Aku melihat sebuah perkampungan padat di pinggiran Jakarta. Lapangan gersang menghampar dengan rumput jarang-jarang di sebelah tanggul. Kalau bulan agustus biasanya ramai perlombaan digelar seminggu jelang perayaan Hari Kemerdekaan. Puncaknya, sebuah panggung dangdut berdiri ketika hari H tiba. Lapangan itu sering juga dijadikan anak-anak untuk bermain layang atau permainan lain. Di sanalah lingkungan yang membesarkanku. Kini sudah hilang. Berganti bangunan parkir untuk gedung-gedung perkantoran yang sudah merambah ke mana-mana.
Zaman sekarang sulit menemukan area terbuka bagi anak-anak untuk bermain, dan anak-anak pun bermain di tempat tertutup dengan memaku pandangan ke layar kaca. Namun mereka bahagia, meski sering dibilang kebahagiaan artifisial. Begitulah cara mereka menikmati kehidupan kota. Ternyata aku juga ketularan. Belum lama ini aku membelikan Yosi sebuah konsol permainan. Jangan sampai anakku ketinggalan perbincangan seru dengan teman-temannya. Jangan pula dia dijauhi karena tidak punya tema untuk memasuki ruang publik para bocah. Ya. Setiap usia punya pergaulannya sendiri-sendiri. Lalu mengapa sekarang Yosi meminta layang-layang?
“Kata Bi Suti kamu pengin layangan?” tanyaku saat makan malam. Tempat favorit kami adalah teras belakang yang beratapkan bintang-bintang. Ada sebuah meja bundar didampingi dua kursi empuk. Yosi hanya mengangguk. Tampak dia tak berselera.
“Kan belum musimnya. Terus kamu mau main di mana?”
“Di lantai atas. Biar layangannya cepat sampai.”
“Sampai ke mana?”
“Sampai jauh dari burung-burung pencuri mimpi.”
“Memangnya ada burung kayak gitu?”
“Ada. Burung-burung itu sering mencuri ibu dari mimpi Yos. Makanya, layangan Yos harus terbang lebih tinggi dari mereka.”
Aku terkesiap. “Nanti Ayah belikan,” hanya itu yang bisa kuucapkan. Demi mewujudkan keinginannya, aku terpaksa mengubek-ubek pasar induk. Mencari agen pusat layangan. Setelah berhasil menemukannya, justru layangan itu tak kunjung dinaikkan. Dia beralasan bahwa, layang-layang tidak bisa menahan ibunya menetap di mimpi. Terus terang aku jadi kesal mengingat untuk mendapatkannya sampai mandi keringat.
“Yah, Yosi mau teropong.” tukasnya seminggu setelah peristiwa layangan itu.
“Teropong? Buat apa?” jawabku geleng-geleng.
“Pokoknya mau teropong!” Sungutnya.
“Kamu kok mintanya aneh-aneh sih.”
“Orang-orang pada melihat bulan pakai teropong. Aku juga mau, Yah.”
“Kan bulannya sudah kelihatan. Kenapa harus pakai teropong?”
“Supaya wajah ibu bisa kelihatan dari sini.”
“Hentikan, Yos. Ayah sudah bilang jangan bicarakan soal ibu lagi.”
“Tapi Yosi pengin ibu … pokoknya pengin ibu!”
Dia berlari masuk ke kamarnya lagi. Astaga, apa yang telah kulakukan. Bukannya tak paham dengan kondisinya, tapi aku belum bisa berkata jujur. Namun anakku terlanjur jadi sorotan tetangga. Mereka memandang keluargaku sangat timpang tanpa keberadaan ibu rumah tangga. Aku sendiri tak tahu harus menjelaskan apa sehingga mereka berhenti mempersoalkan. Akhirnya, celoteh demi celoteh bermunculan. Tak jelas dari mana muasalnya. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh ungkapan klasik bahwa manusia membenci hal-ihwal yang tidak dimengerti.
“Yosi nggak suka diomongin terus.”
“Yang penting kita tetap baik sama mereka. Nanti juga berubah sendiri.”
“Makanya Ayah harus kasih tahu dong!”
Dia duduk tegak di atas ranjang dengan mata menantang. Aku bukanlah tipe laki-laki yang sanggup menggunakan kekerasan untuk mendisiplinkan anak. Tapi kesabaran manusia memang ada batasnya, termasuk diriku.
“Terus mau kamu apa?!” bentakku. Yosi terdiam. Tiba-tiba aku menyadari betapa konyolnya melakukan itu.
“Mau … ibu,” jawabnya. Lalu menggeser letak duduk dan melipat lutut di dadanya.
“Yosi, sayang, Ayah bukannya tidak mau cerita. Ayah rasa kamu belum siap.”
“Kenapa?”
“Tunggu kalau kamu sudah besar ya. Nanti Ayah ceritakan.”
“Aku sudah besar, Yah. Pokoknya mau dengar ceritanya.”
“Nggak baik kamu bilang pokoknya terus. Belum tentu semua permintaan kita bisa dituruti. Kamu harus perbaiki kelakuan kayak begitu.”
“Tapi aku mau tahu tentang ibu.”
Aku mendesah lelah. Alangkah keras keinginan anak ini. Tak terbayangkan olehku ketika mengadopsinya. Bertahun lalu dia masih bayi mungil yang lucu. Usianya baru menginjak dua tahun di panti asuhan itu. Entah siapa orangtuanya. Suatu hari bayi itu dititipkan begitu saja di pos petugas jaga. Begitulah riwayat yang kudapat dari seorang perawat di sana. Aku sempat berpindah-pindah tempat sebelum membawanya kemari. Supaya dia bisa menetap dan bersekolah. Tidak kusangka nasibnya justru menyedihkan.
“Baiklah,” kataku. “Ayah akan bercerita tentang ibu.”
Yosi langsung mengambil selimutnya sendiri Menutupi sebagian badannya. Aku tergelitik ulahnya. Dia memperlakukan cerita penting ini seperti setiap saat mendengarkan dongeng yang kubacakan jelang tidur.
“Mulai, Yah.” serunya.
“Kamu mau tahu siapa ibumu?” Dia mengangguk.
“Ibumu adalah Tuhan.”
“Tuhan?”
Giliranku yang mengangguk. “Memangnya Tuhan bisa melahirkan?” protesnya.
“Mau Ayah lanjutkan nggak?”
“Belum-belum Yosi sudah bingung. Kenapa harus Tuhan yang menjadi ibu Yosi?”
“Dengarkan dulu.” Dia merebahkan lagi punggungnya.
“Dahulu daratan di bumi masih luas. Belum ada apartemen, mal, pasar, rumah, sekolah, seperti sekarang. Belum ada manusia sama sekali. Hanya dihuni tumbuhan dan hewan.”
“Seperti dinosaurus ya, Yah?”
Dua kali kuanggukkan kepala.
“Tuhan datang ke bumi dan setelah diperhatikan, dia kepengin menciptakan manusia. Kemudian dia menebarkan benih ke tanah. Tapi ternyata setelah menunggu enam hari, belum satu pun benih itu menumbuhkan manusia. Tuhan keheranan sehingga di hari ketujuh cuma malas-malasan, seperti kamu kalau lagi libur sekolah.”
Yosi tersenyum, tapi pancaran matanya tak bisa lepas dari penasaran.
“Kemudian datang malaikat yang memberikan saran supaya Tuhan tidak menyebarkan benih di bumi di mana burung, ngengat, dan serangga dapat menghancurkannya, melainkan seharusnya di surga. Lalu Tuhan mengiyakan dan kembali semangat.”
“Terus tumbuh manusia beneran, Yah?”
“Iya. Manusia-manusia keluar dari kelopak bunga yang berwarna-warni. Tuhan begitu senang dan sangat sayang kepada makhluk baru ciptaannya. Nah, kamu juga begitu. Sudah lama Ayah berdoa, dan suatu hari Tuhan datang dengan memberikan anak. Dari situ Ayah tahu kalau Dia menciptakan satu anak yang sangat spesial buat Ayah, yaitu kamu.”
“Spesial, Yah?”
“Begini, Yos. Tahu nggak kenapa benih di bumi tidak kunjung melahirkan manusia?”
“Nggak.”
“Karena dimakan burung, ngengat, serangga.”
“Sebenarnya sih karena ada benih yang jatuh di pinggir jalan; ada yang jatuh di tanah berbatu-batu; ada yang jatuh di semak duri. Semuanya jadi rusak. Nah, memang ada yang jatuh di tanah subur, tapi ya dimakan burung, ngengat, serangga tadi.”
“Berarti Yosi asalnya dari surga dong, Yah?”
“Betul sekali. Kata Tuhan dari bunga paling indah dan harum.”
Dia memejamkan mata dengan senyum mengembang. Lalu meraih guling dan memeluk erat. “Wangi.” katanya.
“Itu kan sarungnya baru diganti Bi Suti tadi pagi.”
“Besok kalau Bibi datang, aku mau lebih awal datang ke sekolah.”
“Tumben nih. Biasanya rewel.”
“Pengin aja,” tawanya memecah kesedihan malam itu. Aku bahagia dia tak lagi mempersoalkan mengenai siapa ibunya. Namun waktu tetap berdetik di telingaku. Sewaktu-waktu mengalir tenang, tapi bisa juga menghanyutkan. Mungkin aku membutuhkan lebih banyak karangan yang bisa kuceritakan kepada Yosi. Berjaga-jaga jika mendadak dia kembali bertanya. Namun untuk saat ini kurasa cukup.
Sayang, hari ini Yosi bersikeras agar aku menceritakan soal ibunya. Aku tak tega bila dia mendengar semua tentangmu. Aku takut dia tidak bisa menerimamu. Jangankan anak sekecil itu. Bahkan orangtua kita menentang kebersamaan kita. Jadi, kukarang cerita bohongan untuknya. Kukatakan bahwa dia anak Tuhan. Kamu harus melihat betapa gembiranya Yosi mendengar itu, dan berjanji takkan mengungkit di mana keberadaanmu lagi. Aku tahu memang salah, tapi aku tak mau Yosi dihantui kengerian sebagaimana yang kamu rasakan saat diusir dari rumah. Sampai sekarang aku tidak menyalahkan keputusanmu pergi dari sisiku demi merawat orangtuamu yang renta. Kuharap suatu hari kita bisa mengatakan yang sejujurnya kepada Yosi. Ketika dia besar nanti.
Aku menekan tombol kirim pada layar monitor. Surat elektronik itu melayang di alam virtual menuju seseorang yang kucinta. Hanya kepadanya aku berkeluh kesah, dan aku tahu dia juga sangat ingin mendengar perkembangan Yosi.
Negeri ini memang masih belum bisa menerima perbedaan, seperti hubungan yang terjalin antara diriku dan Sukma. Kadang kurasa hak asasi manusia hanya jargon belaka untuk menyembunyikan topeng prasangka. Setelah menikah di luar negeri, kami memutuskan untuk mengadopsi anak. Pengurusannya pun tidak mudah. Karenanya, kami mendatangi panti asuhan kecil di luar kota. Meski mengeluarkan sejumlah uang, tapi kami tak peduli. Bagi kami Yosi adalah perwujudan cinta sama seperti pasangan lainnya. Kalaupun ternyata Sukma harus kembali ke keluarganya, itu hanya sebentar. Dia anak lelaki semata wayang di keluarganya. Orangtuanya tinggal sang ayah yang sakit-sakitan. Aku yakin dia akan kembali ke rumah ini, dan kami akan bersatu lagi.
Kumatikan komputerku dan beranjak menuju kamar. Tidak lupa mengecek pintu dan jendela. Juga lampu yang masih menyala. Namun, sebentuk layang-layang teronggok di dekat pintu teras belakang menyita langkahku. Semburat aneka warna-warni menyentuh hati, dan kulihat tulisan tangan Yosi yang tidak rapi: Pelangi untuk ibu
“Yos nggak takut lagi sama burung-burung pencuri mimpi. Yos mau jemput ibu di surga,” bisiknya saat kukecup kening selamat tidur. Air mataku lamat-lamat membasahi pipi.
“Ibumu pasti kembali … pasti.”
09/07/2015
*Kupret el-Kazhiem, penulis cerita pendek