Search
Close this search box.

[CERPEN]: Bunga Tabur

 

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org – Tanahnya masih basah, namun sudah tidak ada orang-orang disini. Belum ada juga batu nisan, namanya masih tertulis disebuah papan kayu. Dibawah namanya, tertulis tanggal lahirnya dan tanggal hari ini.

Napasku terengah-engah, lelah aku berlarian menuju kemari dan ternyata aku tetap terlambat. Namun aku merasa ini bukanlah salahku. Andai saja mereka memberikan kabar ini lebih cepat. Aku sudah pasti bisa datang tepat waktu.

Aku hampiri gundukan tanah itu. Aku amati tiap bebatuan kecil di sekitar tanah kubur ini. Aku pungut dedaunan yang mulai berjatuhan dan berserakan. Kemudian aku sebarkan bunga tabur yang aku bawa, dan diakhiri dengan sebuah isak tangis yang tak mungkin lagi aku tahan.

“Bunda, maaf aku terlambat…” sepertinya aku mulai bicara sendiri lagi. “Tidak ada yang memberiku kabar. Jadi jangan salah sangka.”

Tak terasa waktu sudah bergulir cepat semenjak Bunda mengadopsiku. Waktu memang kejam bagi siapa saja yang sedang menikmatinya. Aku bahkan belum sempat mengajak bunda untuk jalan-jalan dari gajiku. Padahal itu janjiku padanya.

“Aku juga minta maaf jika selama ini aku selalu bikin bunda kesal. Habis bunda bawel!” Aku terdiam sesaat, sepertinya aku tidak seharusnya bicara begitu.

Aku tersenyum walau sebentar. Karena aku jadi teringat saat-saat bunda memarahiku ketika aku bolos sekolah. Aku bilang padanya bahwa aku sedang libur, namun ternyata bunda mengetahui bahwa itu bohong.

Waktu itu bunda mengomeliku sepanjang hari, dan di hari-hari berikutnya ketika aku melakukan kesalahan, bunda selalu bilang, “Bunda gak aneh kok, anak yang malas sekolah pasti selalu melakukan kesalahan dan tidak akan sukses.” Terdengar ringan memang, namun kalimat itulah yang terus-terusan terngiang di kepalaku lima tahun terakhir.

“Apakah aku benar-benar tidak akan sukses, bunda?” senyumku pudar. Aku benar-benar takut apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.

Aku juga teringat pertama kalinya aku membawa pacarku ke hadapan bunda. Bunda menggodaku, “Yakin kamu bukan gay?” Aku hanya tertawa canggung saat itu,dan pacarku itu malah ikut menertawaiku bersama bunda.

Sungguh indah hari-hari yang aku lewati bersama bunda. Bunda benar-benar sudah seperti seorang perempuan yang melahirkan aku. Tapi kenapa, bunda? Kenapa bunda pergi begitu cepat?

Ah tunggu, bukan bunda yang pergi. Akulah yang pergi. Aku yang meninggalkan bunda ketika sebuah perjanjian sudah pada penghujung akhir. Sebuah perjanjian hitam di atas putih antara bunda dengan ibu kandungku. Perjanjian yang memberikan kuasa atas diriku untuk bisa diasuh oleh bunda.

Bisa dikatakan kondisi keuangan ibu kandungku sangatlah minim, dan bunda bermodalkan sebuah sanggar seni yang ia miliki akhirnya mengadopsiku. Membebaskan aku dari jeratan ekonomi dan memberiku sebuah pendidikan di sekolah formal dari hasilnya mengajar seni di sanggar.

Ketika umurku sudah dua puluh satu, ibu kandungku datang tiba-tiba dan berniat menjemputku untuk pergi, dia datang bersama seorang lelaki, namun itu bukan ayah kandungku.

Aku sendiri tidak bisa menolak karena bunda dengan ramah menyuruhku pergi. “Sudah waktunya kau untuk pulang.” Katanya. Aku masih ingat sekali senyuman bunda waktu itu yang semuanya bohong. Aku tahu bunda tidak senang.

Dan hari ini, hari dimana giliran bunda untuk benar-benar pulang, tepat tiga tahun setelah aku pergi, kini aku kembali dalam keadaan yang berbeda. Ingin sekali rasanya aku mengobrol panjang lebar pada bunda seperti biasanya. Namun aku berpikir ulang, nampaknya akan terlalu seram jika saat ini bunda bisa mengobrol denganku.

Baiklah, rasanya sudah saatnya aku untuk pulang, ibu pasti sudah menungguku untuk berbuka puasa. “Bunda, Beno pulang dulu. Beristirahatlah dengan tenang… Aku tahu aku harus menjaga diriku sendiri… Yah meskipun sangat berat untuk pulang, bunda. Aku tak tahan lelaki sialan itu terkadang kasar pada ibu, atau mengataiku anak hasil asuhan banci. Tapi, aku belajar sesuatu dari bunda. Dan itu yang lelaki sialan itu tidak tahu.s Tentu saja. Dua puluh tahun bukan waktu yang sedikit untuk tumbuh dewasa.”

Bunda selalu mengajariku untuk berlaku lemah lembut melawan kekerasan. “Seumpama hom pim pa. Ketika batu dilawan dengan batu maka tidak akan menang, tetapi ketika dilawan kertas yang lebut, maka kita akan menang.” Sederhana memang, namun entah mengapa maksud dari bunda selalu lebih dari itu saja. Seolah bunda mengerti bagaimana berfilsafat.

Dan juga, bunda mengajariku tentang makna sebuah keluarga. Keluarga yang non-mainstream. Keluarga kecil namun bahagia yang terdiri dari seorang waria dan anak angkatnya.

Aku melangkah menjauh dari pemakaman, sambil sesekali aku tengok ke belakang. Aku masih bisa merasakan kehadiran bunda. Tidak, bukan roh atau semacamnya, tetapi aku merasa bahwa seluruh ilmu tentang kehidupan yang kuperoleh dari bunda, sekarang aku ingat semuanya.

Begitu aku sampai di motorku. Sebuah kelopak bunga berwarna merah muda tergeletak begitu saja di atas jok. Kemudian terbang pergi terbawa angin. Sepertinya itu bunga tabur yang terjatuh. “Bunda, aku tidak percaya pada hantu. Tapi tolong jangan menakut-nakuti aku.”

*Wisesa Wirayuda, Penulis adalah mahasiswa STSI Bandung dan kontributor Suara Kita untuk wilayah Bandung.

Bagikan