Search
Close this search box.

God Delusion; Kritik Untuk Para Penganut Agama

Suarakita.org- Senin 29 Juni 2015, Suara Kita menggelar bincang buku berjudul God Delusion, karya Richard Dawkins yang menggemparkan Eropa dan Amerika pada awal penerbitannya di tahun 2006. Bincang buku yang dimoderatori oleh Jane berlangsung santai namun begitu menarik perhatian peserta diskusi yang hadir pada saat itu. Bincang Buku Dihadiri sekitar 17 orang peserta dan berlangsung di ruang tengah sekretariat Suara Kita, diskusi yang berjalan sekitar dua jam yang dimulai pada pukul 18.00 WIB.

Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia enam tahun kemudian tahun 2012. Selain memang buku tersebut tidak dicetak oleh penerbit buku populer seperti Gramedia, untuk mendapatkan buku tersebut memang sedikit sulit.

Peminat buku God Delusion saat ini harus memesan ke perusahaan pencetak buku tersebut, “ ini adalah sebuah keberanian menerbitkan buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia”, ujar Fransisca Ria Susanti, seorang jurnalis Sinar Harapan dan menjadi pembedah buku di Suara Kita kali ini.

Menurut Santi, buku karya Dawkins ini sangatlah keras mengkritik orang-orang beragama. Dalam pengantar bukunya bahkan dituliskan bahwa Dawkins berharap setiap orang yang telah membaca bukunya tersebut dapat menjadi seorang ateis. Ini menyebabkan para pemuka agama di Amerika dan Eropa yang mayoritas beragama kristen sangat marah hingga kemudian buku karangan Dawkins tersebut mendapat cercaan dimana- mana.

Bagi Dawkins semua agama menganjurkan kekerasan, misalnya banyak terjadi perang di belahan dunia ini yang mengatas-namakan agama, “Tidak ada orang ateis yang kemudian menganjurkan perang demi membela ateis”, tegas Santi. Dawkins mengklaim bahwa   orang- orang yang mempertanyakan agama adalah orang-orang yang cerdas, yang tingkat intelektualnya berada di atas rata-rata manusia pada umumnya. Sehingga dengan demikian Dawkins sebenarnya hendak mengatakan bahwasanya orang- orang beragama adalah orang yang hanya menerima, tidak mau bertanya dan pasrah.

Menurut Santi, yang hendak digugat oleh Dawkins melalui buku ini adalah agama supernatural. Agama supernatural adalah agama yang menganggap bahwa Tuhan adalah sosok yang superhuman, sosok manusia yang maha sempurna, maha melihat, maha mengontrol, maha menetapkan kemana masuknya manusia. Seolah-olah manusia adalah mahluk yang tidak berdaya, tidak dapat mengontrol dirinya yang segala sesuatunya sudah dikontrol sepenuhnya dan ditetapkan oleh Tuhan.

Model beragama seperti inilah yang sebenarnya hendak digugat dan ditentang oleh Dawkins. Dawkins sendiri adalah seorang ahli biologi evolusi yang mempelajari teori evolusi biologis. Bagi Dawkins sainslah yang berusaha susah payah menjawab segala bentuk ketidak-tahuan manusia. Hal ini berbeda dengan orang- orang bergama yang hanya menerima jadi seperti apa yang telah ditetapkan dalam agama. Dawkins menyebutnya sebagai Tuhan yang khayal atau mistis dan tidak ada (God Delusion).

Dalam bukunya Dawkin juga membahas cara Alberts Eisntein memahami Tuhan dengan konteks yang berbeda dengan cara orang beragama supernatural dan biasa disebut dengan Einsteinian (cara “beragama” esintenian ini berbeda dengan cara beragama supernatural). Eisntein mengatakan bahwa dirinya adalah seorang yang tidak beriman tetapi religius. Maksudnya adalah ketika Einstein mengalami keterpesonaan dengan alam semesta, ia mengatakan bahwasanya itu adalah pengalaman tentang Tuhan yang kemudian ia tidak mendidefiniskannya dalam sebuah sosok (Tuhan). “Saya berusaha mempersepsikan itu dengan kata ketika kita melihat sesuatu yang bagus atau indah, kemudian kita menyebutnya dengan “WOW” yang tidak dapat didefiniskan dengan kata orang, sosok, sesuatu”, terang Santi.

Dalam buku ini Dawkins juga berusaha menjelaskan, apabila pada akhirnya Tuhan tidak ada, akan kemana perginya manusia setelah meninggal? Apakah manusia hanya akan menjadi cacing di dalam tanah? Tentu hal ini sangat menyedihkan. Namun Dawkins menjelaskan bahwa manusia harus menerima kenyataan bahwasanya manusia itu terdiri dari satu paket yang berisi tubuh, pikiran dan jiwa. Kalau satu paket ini hilang, maka semua isinya juga otomatis akan lenyap.

Manusia kemudian tidak bisa meminta sebuah bonus apabila tubuhnya telah hilang namun menginginkan jiwanya ingin tetap hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah, apabila ketika manusia meninggal ternyata hanya menjadi sebuh cacing ditumpukan tanah, buat apa manusia harus berbuat baik? Menurut Dawkins, karena hidup ini sangatlah pendek dan hanya sekali karena setelahnya akan mengalami mati, maka manusia haruslah berbuat baik dalam hidupnya yang hanya sekali tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengenai moralitas. Apabila memang Tuhan itu tidak ada, buat apa manusia kemudian berbuat baik dan apa untungnya?

Dawkins menjelaskan hal tersebut dengan menggunakan teori evolusi. Setiap mahluk yang dapat bertahan hidup di dunia ini haruslah dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi secara terus menerus. Seekor burung misalnya kerika kemudian melahirkan anaknya, maka ia akan berusaha untuk mempertahan kehidupan anaknya dengan memberinya makan, tempat yang aman, serta melindunginya agar tidak mati. Ini adalah sebuah proses evolusi yang tidak dapat disangkal oleh menusia. Naluri ini terbentuk karena proses evolusi yang panjang, bagaimana kemudian misalnya seorang ibu yang berusaha menjaga anak-anaknya agar dapat tetap hidup.

Pada awalnya ia akan berusaha menyelamatkan kerabatnya sendiri (keluarga inti), hal ini akan berkembang ke wilayah yang lebih luas misalnya keluarga besar, sampai akhirnya dalam kehidupan bermasyarakat secara luas. Hal Inilah yang kemudian membentuk moralitas manusia. Misalnya suatu saat ada orang yang terjatuh di depan mata kepala kita sendiri, maka normalnya secara otomatis kita akan menolong orang tersebut. Terlepas siapakah diri kita, apakah seorang kriminal, pendosa, koruptor sekalipun maka kita akan langsung menolong orang yang terjatuh tersebut.

Dan ketika kita melakukan pertolongan, kita tidak mempertanyakan apakah agama, suku, ataupun orientasi seksual orang tersebut yang kita tolong . Dan inilah naluri kita sebagai seorang manusia yang sedang dalam proses evolusi. Kita melakukan pertolongan dan hal baik lain itu bukan karena konstruksi agama, tapi oleh evolusi moralitas kita yang telah mengalami perkembangan hingga saat ini.

El, salah satu sahabat Suara Kita yang hadir pada bincang buku saat itu bertanya apakah perlunya membaca buku tersebut bagi orang yang memang sudah mengakui dirinya sebagai seorang atheis?

Menurut Santi, menjadi seorang atheis adalah sesuatu yang sangat berat. Orang lain dapat menerima kebimbangan atau keraguan kita terhadap Tuhan, tetapi mereka akan sulit sekali atau bahkan secara brutal menolak apabila kita mengakui diri kita adalah seorang atheis. Maka bagi Dawkins sebagai seorang atheis tidak apa-apa untuk melakukan ritual keagamaan seperti mengikuti doa dalam acara pemakaman, perkawinan, sunatan dan lainnya. Namun kita mengartikannya hanya sebagai sebuah ritual manusia semata tanpa memaknainya sebagai sebuah agama. Hal itulah yang dinasehatkan Dawkins dalam bukunya, karena manusia yang semenjak lahir hingga besar telah ditanamkan nilai-nilai agama, maka ia tidak bisa secara tiba-tiba terpisah dari realitas sosial misalnya seperti menolak menghadiri sebuah pesta perkawinan, sunatan, pemakaman orang- orang terdekat hanya karena di dalamnya ada ritual keagamaan. Hal ini akan mengakibatkan manusia teralienasi dalam hidupnya.

Baim, Staff Suara kita mempertanyakan proses awal manusia akhirnya mencari dan membentuk Tuhan.

Menurut Santi hal ini terjadi karena perkembangan sains yang masih terbatas pada saat itu dan manusia dihadapkan pada begitu banyak problem yang belum dapat ia hadapi. Maka manusia kemudian mencari satu tempat pelarian yang pada saat itu masalah tersebut belum dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan yang memang belum berkembang dan disitulah kemudian agama muncul.