Search
Close this search box.

[CERPEN]: KEMBANG SUWEG. Oleh: Kalamita

Kembang Suweg
Oleh: Kalamita*

“Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bisa bermanfaat bagi yang lain”.

Suarakita.org- Demikian hal yang sangat dipegang dan diyakini oleh Sinta. Seganjil apa pun kenyataan dirinya, dan sekacau apa pun kenyataan yang ada di luar dirinya, Ia tidak boleh kehilangan makna akan dirinya bagi orang-orang di sekelilingnya. Ia sadar bahwa Ia berbeda dari kebanyakan manusia pada umumnya. Tapi itu bukan berarti bahwa Ia bukan manusia. Apa pun keberadaan dirinya, Ia tetap seorang manusia biasa. Manusia yang ingin dicintai dan mencintai.

Kegelisahan Sinta pun akhirnya terjawab. Setelah sekian panjang perdebatan antara batin dan realita hidup, Ia akhirnya berhasil membuat dirinya melihat segala sesuatu dengan sederhana meskipun harus melalui perjalanan luka yang panjang dan dalam. Sinta memejamkan matanya. Sepotong episode dari penggalan perjalananan hidupnya muncul kembali dalam ingatannya.

***
“Pergi! Kamu cuma akan bawa sial di sini! Pak Solihin, usir anak kosmu itu, kalau gak bisa, kami semua yang akan mengusir dia!” teriak salah satu warga desa yang telah berkumpul di rumah Pak Solihin.

Senja itu mendadak riuh pada sebuah rumah di desa Wonosari, tempat dimana Sinta, mahasiswi yang sedang melakukan tugas kuliah kerja nyata KKN-nya di lingkungan tersebut. Para warga yang berkumpul meminta agar Sinta meninggalkan desa mereka.

“Sinta… Sebaiknya kamu pergi mencari rumah yang baru di lingkungan yang dapat menerimamu apa adanya. Kami sekeluarga tidak masalah dengan kehadiranmu. Tapi kami kuatir masyarakat akan membabi buta”, jelas Pak Solihin pada Sinta yang disambut anggukan kepala oleh Istrinya, Bu Warti, sebagai tanda menyetujui ucapan suaminya.

“Baiklah Pak. Bu… Tapi gimana dengan anak-anak yang sudah siap mengaji? Kasihan mereka sudah menunggu di langgar. Saya gak tahu gimana akan menjelaskan pada anak-anak…”, jelas Sinta dengan suara lirih.

“Nanti biar kami yang akan bicara pada anak-anak. Sekarang kita ketemu dengan warga desa saja. Mereka menunggu di luar. Biar Bapak sama Ibu yang bicara dengan mereka. Kamu cukup ada bersama kami”, jelas Pak Solihin.

“Iya Niya… Lagi pula sebentar lagi waktu magrib. Pasti mereka juga pulang ke rumahnya”, lanjut Bu Warti menimpali suaminya.

“Baik Bu… Biar saya siapkan tas saya dulu, sekalian saya pamit pada warga desa”, jawab Sinta sambil melangkahkan kakinya ke kamar untuk merapikan pakaiannya.

Hari itu Sinta sungguh tidak menyangka kalau akhirnya seluruh hal tentang dirinya akan terbuka secepat ini hanya karena dirinya jatuh cinta pada salah satu orangtua murid mengajinya. Ia pun tidak tahu bagaimana warga bisa mengetahui bahwa dirinya adalah seorang waria.

Tampak wajah-wajah penuh cemas dan amarah menyeruak di antara kerumunan warga yang berkumpul di teras rumah Pak Solihin. Ada yang mulai bersantai dan memilih duduk di ujung undakan tepat di samping kebun pisang milik pemilik rumah, namun ada pula yang masih mengerang sambil membenahi posisi sarung yang sebenarnya tampak baik dan wajar. Hanya satu yang tak tampak dari wajah-wajah itu, yaitu wajah Pak Santosa.

Wajah pria setengah baya yang telah membuat Sinta merindu akan bentuk kasih sayang yang nyata. Sebuah bentuk hubungan yang hanya dapat dipahami bagi mereka yang memang menerima segala keberadaan atas dasar cinta. Meski semua telah pupus di ujung gerbang dan realita menempatkan Sinta pada perjalanan barunya.

Ia sendiri tidak mengerti bagaimana perasaan cinta itu bisa tumbuh sedemikian kuatnya pada Pak Santosa. Awalnya, ia hanya melihat Pak Santosa sebagai sosok ayah yang baik dan bertanggung jawab. Pak Santosa selalu rajin mengantar dan menjemput anaknya saat mengaji dengannya. Dari situlah percakapan-percakapan mulai intens terjadi.

Sinta tidak kuasa menolak keindahan perasaan yang selalu ia rasakan saat bertemu dan berbicara dengan Pak Santosa. Dan ternyata, Sinta tidak bertepuk sebelah tangan. Apa yang dirasakan oleh Sinta juga dirasakan oleh Pak Santosa. Dalam salah satu pertemuan, mereka saling mengungkapkan isi hatinya masing-masing. Namun pertemuan itu kemudian melahirkan kesedihan dalam bentuk yang lain, duka dalam wajah yang berbeda. Sampai saat itu Pak Santosa masih belum tahu bahwa ia adalah seorang waria. Hal lainnya lagi adalah, pak Santosa masih memiliki seorang istri yang sah.

Istri Pak Santosa adalah seorang perempuan yang sangat relijius. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sinta tahu, ini adalah sebuah hubungan yang akan melemparnya ke dalam sebuah lubang luka yang tak berdasar. Tapi, ia tetap tak sanggup untuk menolak keindahannya.

Sampai pada suatu hari, Sinta memutuskan untuk mengatakan siapa dirinya kepada Pak Santosa, bahwa ia sesungguhnya adalah seorang waria. Seorang perempuan berpenis. Pernyataan Sinta ini tentu saja sangat mengejutkan Pak Santosa dan secara otomatis membuat seluruh perasannya berubah terhadap Sinta. Pak Santosa merasa tertipu oleh penampilan Sinta yang memang sungguh terlihat sebagai seorang perempuan itu.

Hal itu kemudian memunculkan kemarahan dalam dirinya pada Sinta. Pak Santosa merasa dirinya telah ditipu oleh Sinta. Namun Sinta telah siap untuk menghadapi kemungkinan yang terburuk itu. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi kecuali hanya memohon maaf kepada Pak Santosa sambil menangis tersedu-sedu. Dan itulah pertemuan mereka yang terakhir kalinya. Pak Santosa akhirnya mulai menyebarkan kabar kepada warga desa bahwa Sinta adalah waria dan berusaha untuk merayu dirinya. Tentu saja hal itu membuat kemarahan seluruh warga desa.

Dan kini, di hadapan kerumunan warga yang sedang berkumpul untuk mengusir dirinya dari tempat itu hanya karena ia berbeda dari manusia pada umumnya, ia masih berharap bisa melihat wajah Pak Santosa meskipun cuma sesaat, tapi ia tetap tidak melihat wajah itu. Wajah yang dicintai dan selalu dirindukannya. Dengan langkah pelan dan wajah tertunduk, Sinta pergi dari tempat itu, dari desa yang telah menciptakan surga dan neraka dalam dirinya. Membawa luka yang tak tertanggungkan dalam jiwanya.

***

Sinta membuka matanya. Air matanya menggenang di pelupuk matanya. Tidak, ia tidak marah dan membenci siapa pun. Ia telah menerima dirinya seutuhnya, dan karenanya ia juga telah siap menerima orang-orang yang tak bisa menerima dirinya sebagaimana adanya. Ia hanya butuh waktu untuk mengatasi kesedihannya sendiri. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, dan melihat kembali seluruh kebaikan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Kini Ia telah lulus kuliah dengan nilai yang baik dan telah menjadi seorang pengusaha batik yang sukses. Motif batiknya yang dikenal dengan sebutan ‘Kembang Suweg’ telah mengangkat harkat dan derajatnya sebagai seorang waria yang bisa memberi manfaat bagi banyak orang yang kini bekerja kepadanya. Ia mensyukuri hidupnya. Ia mensyukuri segala luka dan keganjilan hidupnya yang kini telah membuatnya merasa menjadi seorang manusia. Sinta menatap langit malam yang hampir pagi. Sebentar lagi matahari akan bersinar. Dadanya dipenuhi oleh rasa syukur yang tak terhingga.

Lenteng Agung, 20 Juni 2015

*Penulis adalah kontributor yang tinggal di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Bagikan