2 GELAS SUSU
Oleh: Imam Ocean*
Suarakita.org- Saya tidak pernah sekalipun berharap untuk melahirkannya. Apalagi kalau sampai tahu dia akan menjadi seperti apa sekarang. Tetapi, ketika, saya, dengan mata kepala sendiri, menyaksikan, bagaimana, dia, tumbuh, menjadi, dia yang sekarang, saya akan benar-benar menyalahkan harapan saya yang dulu pernah terucap. Meski saya dulu yang memaksa dia untuk pertama kalinya bernafas di dunia ini. Dan sangat dengan tanpa terpaksa menyayanginya. Hingga dia dewasa, dan sempat saya ingin sekali membunuhnya. Tidak hanya sekali. Berkali-kali. Melihat ulahnya. Melihat kelakuannya. Melihat gaya bicaranya. Melihat cara berjalannya. Tak sekalipun pernah membuat saya bangga dibuatnya. Itu dulu.
Sakit memang bila mengenang. Bahkan sampai sekarang pun, bila teringat hal itu, yang ada hanya air mata. Berlinang tanpa alasan yang jelas. Menetes begitu saja. Pernah suatu ketika, dia melihatnya. Air mata saya yang berkaca-kaca sempat mengejutkannya. Dia panik. Tampak jelas di matanya, dia ingin sekali mengatakan, “ Ibu baik-baik saja?” hanya saja dia terlalu takut untuk mengucapkan itu. Kalau sudah begitu, dia memilih pergi meninggalkan saya. menunggu saya terdiam dari tangis yang tak kunjung henti. Tanpa saya sadari, sekotak tissue sudah tergeletak di atas meja. Dan dengan kejutan kecil itu lah saya bisa benar-benar diam. Olehnya.
Masih ingat kejadian itu, saat dimana dia ketahuan sedang mencoba daster saya. dia menggeliat lincah menggoyangkan pinggulnya yang masih kerempeng. Namun fasih untuk ukuran anak usia 8 tahunan. Membusungkan dada seolah-olah sudah ada isinya yang menjuntai seperti milik saya yang kayaknya besar sebelah. Dia memilin ujung daster dengan telaten hingga membentuk hiasan manis mirip kembang. Entah kembang apa namanya. saya sempat tergelak dengan nada kecil. Tentunya tanpa sepengetahuan dia. Dari balik pintu saya mencuri pandang. Sesekali dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Ditariknya telapak tangan yang ringkih itu kuat-kuat ke atas. Dihentakkannya bahu tanpa daging itu ke depan-ke belakang. Dia bersenandung. Sayup terdengar seperti lagu Whitney Houston. Entah judul yang mana. Saya lupa.
“Anak saya gak bener!”
***
“Jalanan seraya ibu kota menjadikan saya sekecil abu dupa yang terjatuh dari tangkainya.
Begitu pula Jakarta yang telah memperlakukan saya begini adanya.”
Angkot usang tak berdaya lajunya berhenti tepat di dekat saya berdiri. Seorang ibu yang masih seumuran turun dengan gontai. Tubuhnya lemas oleh goyangan pacu kencang angkutan kota. Ditambah dengan menghirup asap kendaraan sepanjang jalan tadi. Mungkin. Bisa jadi itu benar, karena wajahnya, raut mukanya kusam tak menyenangkan. Tergambar jelas. Tercium malah. Minyak angin menyembul menusuk hidung. Andalan ibu-ibu di saat melakukan perjalanan jauh. Saya mundur. Ibu itu tersenyum. Membayar ongkos. Membetulkan baju dan merapikan kerudungnya.
Tersenyum lagi ibu itu. Menerima kembalian ongkos. Mengucapkan terima kasih ke sopir. Menatap saya. Berlalu cantik. Tanpa senyum.
Saya tersenyum.
Tiba-tiba Tukang nasi goreng lewat dengan gerobaknya. Dia membalas senyuman saya. Dan sekali lagi naluri ini memaksa saya untuk tersenyum dengan tidak benar. Akhirnya. Tukang nasi goreng berhenti. Senyuman saya beringsut sirna. Satu sama. Kami sama-sama datar memasang muka.
Jengah ditunjukkan olehnya dengan menyalakan radio. Dipelintirnya tombol tuning mencari frekuensi yang sesuai. Hingga pada akhirnya berhenti di sebuah lagu barat lawas.
“…and I will always love you….!”
***
Ingatan saya melayang, tamparan demi tamparan saya layangkan ke dia. Sambil menahan sakit, dia menanggalkan daster motif kupu-kupu. Tubuhnya gemetaran. Mata saya melotot tajam. Tangannya serasa hendak mencari-cari pegangan. Tak kuat dia dengan amarah saya. sekilas saya merampas dan menghempaskan daster itu ke wajah dia. Dia tidak menangis. Dia hanya ketakutan. Tak ada yang bisa diraih. Tangannya memilih bersandar di lantai. Lemas. Lalu pingsan. Giliran saya menangis kencang, yang pada hakekatnya sangat-sangat ketakutan.
***
Besoknya, saya menyiapkan sarapan. Dia masih enggan mendulang kata-kata. Tak ada suara. Bibirnya mengatup rapat. Saya ibunya. Untuk pagi itu. Dan setiap malam, saya lupa saya siapanya.
Nasi dengan telur dadar berlumur kecap hitam yang mengental. Irisan Cabe merah tipis-tipis menghiasi piring porselin biru warna kesukaannya. Dua gelas susu sudah bersanding mengantri untuk ditenggaknya.
“Buk! Uang jajan sekolahnya disimpen aja, buat beli susu!”
Permintaan yang aneh. Dan yang lebih aneh, dia selalu minta dibuatkan susu dua gelas setiap sarapan dan sebelum tidur. Awalnya saya marah tidak terima. Karena tidak pernah ada alasan yang saya dengar saat itu. Ditanya jawabnya hanya, “Shah suka susu Buk!”
Anak itu mulai membuat saya gila. Yang dibicarakannya selalu susu, susu dan susu. Pernah sekali saya tidak membuatkan dia susu. Dan sehari kemudian dia membuat sendiri adonan susu itu. Berantakan dapur saya. Sengaja memang saya meletakkan kaleng susu bubuk di lemari paling atas. Agar dia susah menjangkau. Nyatanya, dia bisa membuat adonan susu dua gelas sendiri, walau pada akhirnya saya hadiahi cap merah membiru membentuk telapak tangan di pipi kanannya. Pikir saya, dia kurang ajar. Itu dulu.
Dada saya hanya bisa berdenyut ngilu, bila mengingat kejadian itu. Dia, anak saya, satu-satunya. Apa kesalahannya?
***
“Buk! Ini uang tabungan Shah untuk beli susu!”
Dapat dari mana dia uang sebanyak itu untuk anak seukurannya. Setelah saya tanya dengan tangan yang mengepal, dia mengaku dapat uang-uang itu dari kakek-neneknya. Percaya tidak percaya, saya mengelak alasan. Pasti dia meminta-minta. Karena saya tidak pernah memberi uang jajan kepadanya. Gagang sapu melayang dan mendarat tepat di pantat. Saya seperti nenek sihir yang kehilangan salah satu bahan ramuan. Marah-marah tak karuan. Beruntung dia kabur menuju peraduan. Dari seringai ibu sialan jahanam tak punya rasa belas kasihan.
“Dasar anak anjing!!!!” , umpat saya sambil mendengus membaui aroma uang yang masih baru dicetak oleh bank.
***
Rasanya masih kemarin, dia mengantar saya ke Rumah Sakit untuk berobat semenjak payudara saya divonis bermasalah. Hingga pada akhirnya dokter menyarankan untuk operasi. Saya kelimpungan tanpa daya memikirkan dari mana biaya yang tidak sedikit itu bisa ada di tangan. Harta warisan dari kakek Shah sudah menguap entah kemana. Betapa borosnya saya. Jangan ditanya soal tunjangan kematian dari mendiang Ayah Shah. Itu hanya cukup buat kebutuhan sehari-hari selama sebulan. Tidak bisa diharapkan. Sementara bisnis konveksi yang saya jalani, hasilnya hanya cukup untuk membeli rokok. Lebih pun juga untuk jalan-jalan di Senen belanja baju bekas.
Kabar gembira atau bukan, Shah menjanjikan akan membiayai semua tagihan. Saya masih saja sempat sinis karena logika.
“Dari mana kamu dapat duit?”
“Kerja”
“Kerja apa?”
“Apa aja!”
“Apa aja?”
“Ya… apa aja.”
Shah berkemas pergi meninggalkan saya. Seperti biasa. Kini saya hanya renta tua yang sudah lelah main tangan dan sudah sadar bahwa kekerasan bukan lah mainan. Ada nyawa dengan segenap perasaan di dalam tubuh dia. Meskipun raganya sekarang lain dari yang lalu. Kini dia berbaju dari hasil saya menjahit. Pesannya selalu satu dalam setiap rancangan terbaru, “Buat Shah cantik ya..Buk!” pintanya.
Awal-awal itu saya masih gagu. Bagaimana bersikap. Mengingat dulu, Saya, selalu membuatnya susah. Terkadang saya tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya satu yang pasti dan selalu saya lakukan kalau dia kembali pulang. Membuatkan susu dua gelas untuknya. Dan dia menghabiskannya dengan senyuman. Saya lega. Sedikit.
Namun berlalu waktu, dia mencoba memberi tahu tentang rahasianya. Kedepannya saya sudah tidak perlu membuatkannya susu.
“Shah sudah 2 bulan ini terapi hormon…”
“Hormon?”
“tidak perlu lagi susu dua gelas”
“Iya…”
Dan setelah itu, saya mengambil smartphone android, buka Google, mengetik kata waria, terapi dan hormon. Seperti yang sudah-sudah, Shah selalu berkata, bila tidak tahu, cari tahu, internet banyak sekali informasi tentang apa yang kita tidak pernah tahu, tentang Shah, tentang anaksaya, tentang lelaki yang menghayati dirinya perempuan. Sambil menelusuri, sambil menangis saya dibuatnya. Banyak informasi yang saya dapatkan, kini tentang waria dengan segala macam diskriminasi yang dialaminya. Shah, anak saya, tidak sendirian. Ada jutaan Shah di luar sana yang mungkin mengalami hal yang sama. Lahir di keluarga yang salah. Tumbuh di lingkungan yang menyeramkan. Dan besar di masyarakat yang tidak mau kalah. Menyesali yang telah lalu tiada guna. Saya hanya berusaha agar dia bisa meraih bahagia.
Ketidaktahuan ini yang membuat saya lepas kendali. Itu dulu. Kini saya tahu, ada istilah transjender. Selain jender laki-laki dan perempuan. Tidak ada urutan dimana laki-laki pertama, perempuan kedua dan transjender ketiga. Tidak. Bukan seperti itu. Ketiga-tiganya setara.
Banyak hal yang sudah saya lalui. Bertemu dengan teman-teman Shah yang sama-sama waria. Salah satu diantaranya ada yang bercerita, dia tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari keluarganya. Menangis hati ini mendengar itu. Ingin saya bertemu dengan ibunya. Iri saya dengannya. Hati seperti apa yang dia punya. Andai kalau bukan karena kanker payudara, mungkin saya masih saja berlaku kasar kepada Shah.
***
Suatu ketika, Shah, datang memeluk saya kegirangan. Hasil jerih payahnya akan berbuah payudara indah menyembul di dadanya.
“Bentar lagi saya implant”
“Harus implant ya?”
“Memang tidak semua waria harus implant payudara, tapi keinginan hati ini tidak bisa dicegah”
“Selama itu tidak berbahaya…”
Shah kembali tersenyum. Senyum yang selalu sama dengan masa lalunya.
***
Sejak vonis kanker menggaung di telinga kami berdua. Shah lebih banyak sedihnya. Ada dilema besar dalam dirinya. Rasa bersalah berkumpul di saya. Ikut upaya menghancurkan mimpi terindahnya.
“Implant bisa nanti-nanti Buk…”
“Tapi…?”
***
Saya sudah terbaring di meja operasi. Menunggu dokter bedah beraksi. Terlelap, ketakutan, terlelap, gelisah, terlelap, bingung, terlelap, lemas dan terlelap. Gelap.
***
Saya sudah terbaring di ranjang bangsal. Paska operasi. Saya sendiri. Pemulihan. Besok sudah diizinkan pulang. Namun Shah tak pernah kunjung datang. Para suster selalu bilang, dia sedang ada urusan. Namun saya ada curiga. Mungkin dengan memaksa, saya punya jawabannya. Hingga akhirnya salah satu perawat yang berjilbab bercerita. Sebelum memulai kisah tentang anak saya, perawat itu menyarankan saya untuk tabah. Baiklah.
“Malam dimana Bu Anggit dioperasi, malam itu juga anak Ibu menghembuskan nyawa terakhirnya.
Dia ditembak orang tak dikenal di Taman Lawang.”
“……………………….”
***
Jakarta – Gresik, 2013 – 2015
*Penulis yang ternyata menggemari batu akik ini sekarang berdomisili di Gresik, tanah kelahirannya, setelah sekitar 5 tahunan beraktifitas di Jakarta sebagai pekerja lepas di penulisan skenario, aktivis LGBT, Copywriter, editor dan Videografer. Sila kunjungi Blog penulis di alamat: imamocean.wordpress.com