Search
Close this search box.

To Burake; Bentuk Keberagaman Gender Dari Tanah Toraja

Oleh Nurdiyansah Dalidjo*

Suarakita.org- Transgender, baik yang berjenis kelamin “lelaki” menjadi gender ‘perempuan’ atau ‘perempuan’ menjadi ‘lelaki’,  dalam keseharian kita seringkali dijadikan objek dengan banyak stigma dan nama. Identifikasi gender diri sebagai laki-laki atau perempuan seolah menjadi sangat problematik karena kepentingan relasi kuasa, mulai dari ranah sosial, politik, hukum, hingga agama.

Tetapi melihat jauh ke belakang, mungkin banyak dari kita mulai bertanya. Bagaimanakah sesungguhnya masyarakat kita yang multi-etnis dengan keragaman latar belakang dan tradisi melihat ‘gender ketiga’  pada awalnya? Apakah benar fenomena ini baru ada belakangan? Jika pun telah ada sejak dulu, lantas seperti apa masyarakat kita memiliki pandangan dan sikap terhadap kelompok gender ketiga ini?

Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke Toraya atau kini lebih dikenal dengan sebutan dan pengejaan ‘Toraja’. Apa yang saya temukan tentu tak dapat menjadi suatu pemahaman umum yang menggeneralisir pandangan terhadap suatu kelompok tertentu, namun setidaknya dapat menjadi salah satu contoh bahwa ada kalanya komunitas adat di Toraja melihat transgender layaknya orang yang begitu disegani, dihormati, dan bahkan memainkan peran penting dalam banyak aspek tradisi, termasuk ritual yang berkaitan dengan aktivitas bercocok tanam dan identitas spiritual masyarakat Toraja.

Mengenal ‘Orang Burake’

Adalah Rukka Sombolinggi yang menceritakan kepada saya ketika terlintas dalam benak saya untuk bertanya tentang sosok transgender dalam budaya dan tradisi masyarakat Toraja. Ketika itu saya dan beberapa kawan tinggal di rumahnya di Tanate Kindan, Lembang Madandan, Kabupaten Tana Toraja. Madandan adalah salah satu kampung (dalam bahasa Toraja disebut lembang) yang berada di kawasan dataran tinggi dengan lembah-lembah hijau yang penuh dengan rindang pepohonan dan area persawahan yang masih dikelola menurut hukum adat.

“Namanya kalau tidak salah to burake!” ungkap Rukka agak ragu sambil mengingat-ingat kembali memori masa kecilnya. “‘To’ itu artinya ‘orang,’ jadi to burake adalah ‘Orang Burake.’” Kali ini dia yakin kalau to burake adalah sebutan yang dilontarkan Orang Toraja bagi kelompok gender ketiga di Toraja. Ia bisa berjenis kelamin lelaki dengan dandanan layaknya perempuan Toraja atau sebaliknya.

Sangat sulit mencari informasi mengenai to burake. Saya mencoba Google, tapi tidak menemukan apa-apa. Maka informasi yang saya dapatkan hanya berupa penggalan-penggalan cerita dan gambaran masa lalu Orang Toraja. Mereka mungkin sudah hampir lupa pada apa yang pernah mereka lihat dan dengar sebelumnya tentang Orang Burake di kampungnya. Bisa dikatakan, sekarang tidak ada lagi orang yang dianggap sebagai Orang Burake, meski di tengah keramaian area pasar dan pertokoan di Rantepao, saya sempat berpapasan dengan beberapa transgender atau trans-seksual yang beraktivitas sebagai pedagang tengah berlalu-lalang.

Tentu saja penyebutan Orang Burake ini bukan sembarangan. Jika di kampung terdapat Orang Burake, maka ia bisa jadi sangat disegani. Dalam konteks saat ini, ia layaknya pendeta yang mengambil peran strategis dalam berbagai ritual. Salah satu yang diingat Rukka, Orang Burake biasanya menjadi aktor kunci pada upacara adat terkait dengan pola bercocok tanam padi di sawah. Nasi adalah salah satu makanan pokok di Toraja selain ubi dan sagu (papeda).

“Jadi ada seserahan (berupa) ayam yang dipotong. Ada pokon, yaitu semacam sesajen berisi ketan yang dibungkus daun bambu dan diikat dengan tali dari kulit batang pisang. Ayamnya hanya direbus, ada juga tuak….” Rukka memberikan gambaran tentang kemeriahan upacara adat yang dipimpin oleh Orang Burake di sawah. Ia pernah melihatnya ketika kecil sekitar tahun 1970-an akhir atau 1980-an awal. “Dia pendetanya yang memimpin ma’ pesung (ritual atau doa).”

Doa-doa atau mungkin bait-bait mantra akan dilontarkan oleh Orang Burake. Sambil berjalan di sekitar pematang atau tepi sawah warga, ia juga memainkan bebunyian dari alat musik tradisional Toraja. Gendang kecil yang dibunyikannya itu bernama tandilo ula. Ritual ini umumnya dilakukan ketika memasuki masa tanam dan menjelang panen. Sawah yang diberkati oleh Orang Burake dipercaya akan melalui proses yang lancar, baik, dan memberikan hasil yang banyak. Begitu panen tiba, warga yang sawahnya pernah dikunjungi Orang Burake, mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih dengan berbagi padi kepada Orang Burake yang melintas (tradisi memberikan padi ini disebut dikangkanni).

Sosok Orang Burake ini mengingatkan saya pada Bissu–kaum pendeta yang tidak memiliki golongan gender pada komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis. Menurut Rukka, Orang Burake adalah mereka yang berjenis kelamin lelaki berbaju mirip perempuan Toraja (to burake tattiu’) atau berjenis kelamin perempuan berbaju lelaki Toraja (to burake tambolang). Orang Burake tidak menikah, namun dapat mengangkat dan memelihara anak.

Saya coba mengonfirmasi tentang Orang Burake kepada Ibu Den Upa, ibu dari Ruka yang usianya sudah kepala tujuh. Ketika istri (Alm.) Bapak Sombolinggi itu kecil dan remaja, Orang Burake masih ada. “Tapi sekarang sudah tak ada!” ungkapnya sambil terlihat berpikir. Hilangnya Orang Burake bukan berarti tak ada lagi gender ketiga di Tana Toraja, melainkan penghilangan ritual-ritual di Toraja sejak masuknya agama dan peradaban modern. Orang Burake memang tidak dimusnahkan, namun peran merekalah yang dihilangkan!

Dogma Agama dan Reduksi Peran Adat

Saya tak hendak bicara atau menilai ajaran agama tertentu. Tetapi sekadar menekankan bahwa kehadiran agama monoteisme, dalam hal ini Kristen di Toraja, telah membawa banyak pengaruh dan perubahan terhadap kebiasaan maupun adat istiadat masyarakat Toraja saat ini, termasuk bagaimana beragam ritual/upacara tertentu dihilangkan atau kemudian dipertahankan dengan modifikasi tertentu.

Pada awal 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan Kristen di Toraja. VOC (perusahaan dagang Hindia Belanda) telah berkuasa di sejumlah area strategis di Sulawesi abad ke-17. Proses masuk dan menyebarnya Kristen di Toraja, tak lepas dari urusan politik. Islam berkembang dengan pesat melalui perdagangan di kawasan pesisir Sulawesi Selatan (Makassar dan Bugis) akhir abad ke-19. Hal tersebut tentu mengkhawatirkan Belanda. Banyak peristiwa sejarah yang berhubungan dengan pengusaan wilayah, sumber daya, dan pengaruh, kemudian berkaitan erat dengan sebaran agama. Pula terdapat masa di mana misionaris Belanda melarang aktivitas yang berkaitan dengan Aluk To Dolo, yaitu identitas spiritual dan agama asli Orang Toraja yang seringkali dideskriditkan sebagai kepercayaan animisme, yang primitif, atau kafir. Ketika gereja memainkan peran strategis dan penting terkait pelayanan publik, hukuman bagi mereka yang mempraktekkan aktivitas yang bertentangan dengan dogma Kristen adalah dengan pengucilan dan tidak mendapatkan pelayanan dari gereja dan umatnya. Jika sebelumnya to patutungan bia’ (sebutan bagi tokoh spiritual atau pemimpin berbagai ritual) begitu dihormati karena selayaknya obor yang memberi cahaya, maka kini tidak lagi. Kedudukan bagi sang pencerah itu kini diambil alih oleh pendeta atau tokoh agama.

Lalu, apa kaitan hal itu dengan hilangnya Orang Burake di Toraja?

“Jadi peradaban modern datang, Kristen datang, maka ritualnya yang dihilangkan, sehingga perannya (Orang Burake) yang dihilangkan. Kristen sangat kuat dan dominan di Toraja!” tegas Rukka yang juga dengan gigih aktif memperjuangkan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Nusantara.

Dominasi agama bisa jadi berpotensi pada kecenderungan yang mengancam budaya dan keberagaman ketika fundamentalisme dan dogma dijadikan alat kuasa. Mungkin sejak itulah penyakit transpobia (dan homopobia) mulai merebak dan dianggap sebagai kewajaran bagi masyarakat Toraja. Transpobia berdampak pada sikap dan perilaku yang tidak adil, melecehkan, membenci, bahkan memperkosa dan membahayakan kelompok transgender atau trans-seksual. Mereka yang LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender-trans-seksual, interseks, dan queer) justru dianggap “sakit” atau menyimpang atau berdosa. Dan heteronormativitas adalah hal yang sudah seharusnya (dianggap wajar dan “normal”). Reduksi peran bagi para tokoh adat dan pemimpin spiritual secara tak langsung ikut membuat masyarakat melekatkan stigma. Orang Burake kehilangan peran karena tidak ada lagi orang percaya pada kekuatan “magis”-nya menyuburkan sawah. Pun tidak ada lagi ritual yang dilakukan para petani saat menanam benih lokal untuk padi tadah hujan dan menjelang panen (satu tahun sekali). Kondisi ini diperparah lagi dengan Revolusi Hijau di era Orde baru yang mengubah pola bercocok tanam tradisional menjadi modern yang kemudian mengubah cara pandang petani terhadap padi di mana aktivitas bercocok tanam tak lagi dilihat secara holistik dan harmonis. Revolusi Hijau memberikan janji manis swasembada pangan, namun memberikan dampak yang tak selalu positif dari penyediaan air melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia, penerapan pestisida, dan pemaksaan benih yang diagung-agungkan sebagai varietas unggulan.

Bukanlah hal yang berlebihan jika kemudian banyak ditemukan tradisi di berbagai suku atau komunitas adat di Nusantara yang begitu memberikan penghormatan tinggi terhadap LGBTIQ atau gender ketiga. Pada kelompok tertentu, gender ketiga kerap kali diberikan posisi khusus dan peran strategis karena dianggap memiliki ciri atau karakter yang lebih dekat dengan keilahian yang tak terbatas pada jenis kelamin atau gender tertentu. Seksualitas adalah hal yang cair! Mereka yang keluar dari pengkotakan jenis kelamin dan gender bisa jadi dianggap sebagai suatu pencapaian diri.

Mengakhiri obrolan saya dengan Rukka dan Ibu Den Upa, dua perempuan yang mewakili dua generasi, saya bertanya bagaimanakah jika saat ini dalam keluarga Toraja terdapat anak yang mirip dengan karakter Orang Burake. Keduanya tampak seperti kaget bercampur heran. Bukan khawatir kalau kelak Orang Burake hadir kembali. Tetapi heran dengan pertanyaan saya. Karena bagi mereka, itu bukan masalah, bahkan saat ini mereka memiliki keluarga maupun kerabat yang saya maksudkan.

Saya tersenyum lega!

Orang Burake mungkin tak lagi bisa kita temui, namun jejak rekamnya di Tana Toraja memberikan bukti yang mungkin saja bisa menyembuhkan mereka yang terlanjur terjangkit virus yang berdampak pada homopobia atau transpobia. Sosok seperti Orang Burake pada kebudayaan Toraja adalah nyata. Hal tersebut menegaskan kembali bahwa kita punya sejarah dan tradisi di mana perdebatan mengenai faktor-faktor genetik atau penyebab mengapa manusia terlahir dan hidup dengan perbedaan menjadi tidak penting. Gender dysphoria bukanlah masalah! Keragaman orientasi seksual serta ekspresi dan identitas gender bisa berada di mana saja dengan latar belakang budaya dan suku yang pula beragam. Dengan mengakui, menghargai, dan menghormati perbedaan, kita dapat belajar banyak hal. Sementara terlalu banyak menghakimi mungkin hanya akan mengurangi nilai-nilai kemanusiaan dalam diri kita.

 

*Nurdiyansah adalah penulis buku Peluang dan Tantangan Pariwisata Indonesia (Penerbit Alfabeta, 2014) dan berkicau melalui Twitter di @nurdiyansah.

Referensi

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja diakses pada Selasa, 7 April 2015.

http://www.materisma.com/2014/08/dampak-revolusi-hijau-dan.html diakses pada Kamis, 9 April 2015.

http://www.jevuska.com/2012/09/30/perubahan-gender-asal-usul-dan-definisi-transgender/ diakses pada Selasa, 7 April 2015.