Oleh : Nadya Karima Melati*
Suarakita.org- “Lu kenapa sih takut sama homoseks?”, tanya saya kepada salah seorang teman pria saya, seorang heteroseksual.
Sore itu saya diajak pacar saya untuk bertemu dengan dua orang temannya. Semuanya laki-laki dan heteroseksual. Satu orang temannya menggenggam kamera digital, bertubuh tinggi-besar dengan bewok menghiasi pipi dan dagunya. Salah seorang lagi bertubuh lebih kecil dan kurus dengan untaian alis yang rapi dan senyum yang manis. Kami berkumpul untuk melakukan shooting untuk proyek sosial bersama. Kebetulan pada sore hari itu saya menyematkan Pin SGRC (Support Group and Resource Center for Sexuality Studies Universitas Indonesia) di dada sebelah kiri. Salah seorang teman pacar saya yang bertubuh besar tadi langusng nyeletuk. “Lu anak SGRC? Studi klub yang bahas seks itu?”, tanyanya. Tentu saja saya menjawab dengan jujur dan saya terang tentang apa itu SGRC.
Ketika panjang saya berbicara, ia bertanya lagi, “Seriusan lu bikin support group buat homoseksual? Ngapain banget sih kayak begitu dibela”.
Saya menarik nafas, lalu bertanya balik, “Lu kenapa sih takut sama homoseks?”
Dia kemudian tertawa lalu merenung sebentar. Pacar saya yang kemudian nyeletuk, “Gue sebenernya juga takut sama homoseks, bukan streotip atau gimana, tapi gue pernah punya pengalaman yang gak enak aja dengan mereka”.
Pacar saya membuka percakapan dengan jujur. Dia berkata dia pernah diteror oleh seorang laki-laki di kampusnya STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negera – red) dulu. Ia sering digoda, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Semenjak itu dia tidak lagi menganggap homoseks itu baik.
Pengalaman teman saya yang mencibir homoseksual tadi lebih parah. Dia bercerita bahwa dia pernah diteror dan dikuntit sampai ke rumahnya oleh bekas teman kerjanya yang homoseksual. Saya jadi teringat cerita dari teman saya (laki-laki heteroseks) yang juga pernah digoda seorang laki-laki homoseksual dan dipegang selangkangannya di depan umum. Ada pula rekan kerja saya, yang mengaku pernah dibelai dagunya ketika sedang meliput berita oleh seorang homoseks. Semenjak itu, mereka semua tidak menyukai homoseksual.
“Yaelah, gue sebagai perempuan mah sering banget di harrasment (pelecehan – red) laki-laki kaya begitu, lu baru kali itu aja digodain. Lu pikir deh, emang semua homoseksual yang lu temui begitu? Apa gara-gara lu ketemu satu orang yang begitu terus ngecap jelek semuanya?”, tanya saya lagi.
Dijawab oleh teman saya yang memiliki alis indah itu, “Sebenernya gue pribadi enggak pernah masalah dengan homoseksual atau banci gitu, di kampung gue ada banci yang dihormatin kok, dan bisa hidup bersama masyarakat. Karena banci itu baik, dia gak pernah gangguin orang, bekerja punya usaha salon dan rias pengantin, semua orang di kampung gue menghargai dia karena dia emang baik”.
“Tapi lu gak mikir kalau selera seksual mereka salahkan? Menurut lu mereka harus gimana?”, tanya saya lagi.
“Sebenernya gue mau kok memperlakukan banci atau homoseks biasa aja. Mereka gak salah, gue tau mereka gak mau jadi begitu, dan gue sejujurnya gak masalah dengan selera mereka yang menyukai sesama jenis”, jawab teman saya yang bewok.
Ketiga pria itu sekarang menatap saya.
Pembicaraan ini mengingatkan saya pada film Dallas Buyers Club yang baru kemarin saya tonton. Dallas Buyers Club bercerita tentang sorang pria yang mengidap HIV dan tidak memiliki kesempatan untuk membeli obat. Alhasil Ron (Matthew McConaughey) , nama pria ini mencari cara untuk mendapatkan obat-obatan alternatif.
Kesempatan ini digunakan Ron, yang dikucilkan oleh lingkungannya karena dituduh sebagai Homoseksual (teman-temannya percaya bahwa Ron mengidap HIV karena berhubungan seks dengan homoseks), untuk membuka bisnis obat alternatif bagi pengidap HIV. Ron menjalankan bisnis obat ini bersama seorang transgender bernama Rayon (Jared Leto). Hal yang mengingatkan saya akan percakapan barusan adalah bagaimana Ron yang tinggal di kawasan yang homophobic bisa berteman akrab dengan Rayon.
Rayon sejak awal tidak pernah menggoda Ron. Ron yang dari awal antipati dan berusaha menjauhi Rayon. Dalam film yang diganjar tiga Oscar ini, diperlihatkan bagaimana Ron dan Rayon akhirnya berteman akrab. Rayon menghargai Ron untuk tetap menajdi heteroseksual, dan Ron mengijinkan Raymon tinggal bersama pacar laki-lakinya. Ron merasa kehilangan semangat menjalani bisnisnya ketika kehilangan Rayon.
Pacar saya, pada awalnya pun seorang homohobia. Ketika saya mengatakan bahwa saya pengurus SGRC atau saya membela hak-hak homoseksual sebagai manusia. Pada awalnya dia mencibir saya. Dia bilang dia menjadi homofobia karena pengalamannya. Kemudian ketika dia saya bawa ke Arisan SGRC[1] dan mengenal teman-teman saya di SGRC yang homoseksual bersikap baik padanya.
Semenjak itu dia berubah pandangan terhadap homoseksual. Dia tidak lagi menggeneralisir semua homoseks itu jahat seperti perempuan mengeneralisir semua pria itu bajingan karena pernah sekali disakiti pria.
Siapa yang salah? Homofobia karena pengalaman kemudian menyebarkan sikap homophobic atau para homoseks yang melakukan harassment sebagai ungkapan tidak nyamannya mereka tinggal di lingkungan yang homophobic? Mencari siapa dan apa yang salah seperti mencari duluan mana ayam-atau-telur dan hal ini tidak menyelesaikan masalah. Tapi saya percaya melalui film tersebut, berdasarkan pengalaman saya dan pacar saya, homofobia bisa dihilangkan.
Saya percaya bahwa sebenarnya kita adalah cerminan masyarakat kita. Ketika kita semua mau bekerjasama seperti di film tersebut, homoseks tidak melakukan harassment seperti laki-laki yang tidak melakukan harassment pada perempuan. Laki-laki heteroseks, dan seluruh masyarakat kita diberi edukasi dan pengertian bahwa homoseksual bukanlah penyakit, maka kita bisa bersama-sama mengurangi homofobia di masyarakat kita, mengurangi terus, hingga lenyap sama sekali.
*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI
Catatan Kaki:
[1] Arisan SGRC adalah acara kumpul dwimingguan yang dilaksanakan SGRC. Arisan disini adalah mengocok nama dan materi presentasi tentang seksualitas. Kegiatan rutin ini adalah edukasi seksualitas yang dilakukan oleh SGRC dan untuk SGRC. Tentu saja rujukan untuk setiap presentasi harus ilmiah berupa skripsi, disertasi, tesis, artikel ilmiah, atau jurnal.