Search
Close this search box.

[CERPEN]: Surat Untuk Adrian

Surat

Oleh: Sebastian Partogi*

Hai Ahmad,

Apa kabar?

Sudah tiga bulan sejak aku dan ibuku meninggalkan rumah secara tiba-tiba dan memutuskan hubungan dengan ayah dan seluruh keluarganya. Juga dengan dirimu. Memang ibu dan aku seringkali mendapatkan panggilan dari telepon genggam ayah, telepon genggammu, atau telepon rumah tetapi kami memilih untuk tidak menerima panggilan-panggilan tersebut. Bagi kami, sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan atau tentang ayah.

Oleh karena itu juga aku mohon bahwa semua hal yang aku ungkapkan dalam surat ini kau simpan untuk pengetahuan pribadimu saja. Jangan ceritakan pada ayah. Aku tidak ingin ayah memiliki harapan palsu bahwa suatu saat nanti aku dan ibu akan kembali. Hal itu sudah pasti tidak akan pernah terjadi.

Dalam surat ini, aku ingin menjelaskan mengapa aku dan ibuku diam-diam mengemasi barang-barang kami dan kabur dengan naik taksi pada pukul 2:30 subuh dini hari.

Kami yakin, meskipun tidak sampai seratus persen, bahwa ayah tidak akan terlantar meskipun kami berdua memilih untuk pergi secara tiba-tiba. Terutama karena ada engkau yang dengan setia merawat ayah dan mendorong kursi rodanya untuk keliling taman. Engkau, yang menganggap ayah sebagai sosok bapakmu sendiri, malah lebih sayang pada dia dibanding aku yang merupakan anak kandungnya sendiri.

Sejak aku masih kecil hingga usiaku yang sudah menginjak 23 tahun ini, ayah selalu menghina-hina diriku. “Dasar banci! Kamu itu kok laki-laki tetapi kemayu seperti itu. Menjijikkan!” Bukan hanya itu. Ia juga selalu menghinaku sebagai orang yang bodoh, tolol dan lamban gerak-geriknya.

Ia semakin marah lagi ketika mengetahui bahwa diriku adalah seorang binan. “Menjijikkan! Dasar homo kamu! Ingat ya, rahasia ini tidak boleh sampai diketahui siapapun. Bikin malu keluarga saja! Dalam keluarga saya tidak ada gen seperti ini!” ujar ayah setelah puas menampari wajahku sampai hidungku mimisan pada suatu malam saat ia mengetahui tentang perihal ‘aib’ yang kubawa.

“Gen cacat itu pasti berasal dari ibumu! Penyair liberal sakit yang tulisannya hanya berkutat pada seks dan penis! Menyesal aku mengawini ibumu!” Ayah sepertinya lupa, ada keponakannya yang seringkali dipergunjingkan oleh seluruh anggota keluarga karena diduga sebagai seorang lesbian. Seumur hidupnya, kak Naomi tidak pernah menikah, namun tinggal bersama seorang ‘sahabat’nya yang bernama Ruth. Tetapi, banyak orang mengatakan bahwa kemesraan dan kasih sayang antara kak Naomi dan sahabatnya Ruth jauh melampaui batas-batas persahabatan ‘biasa’. Orang pun jadi curiga.

Tapi aku menelan ludahku. Aku tahu bahwa melawan ayah berarti tonjokan yang membuat hidungku patah. Hidungku sudah pernah patah empat kali karena ayah. Setiap kali orang-orang bertanya mengapa aku babak belur, aku berbohong dan bilang bahwa aku bertengkar dengan sahabatku.

“Kasihan sekali si Sahat, dia tidak bisa bergaul, masak tiap kali berteman, ia selalu bertengkar sampai hidungnya patah?” aku hampir bisa mendengar kata itu keluar dari orang-orang yang mempergunjingkanku.

Ia tidak pernah sedikitpun menghargai prestasi yang sudah aku raih. Misalnya, menjadi mahasiswa teladan di kampus yang lulus lebih cepat daripada teman-temannya dengan indeks prestasi di atas rata-rata. Buat ayah, semua itu tidak ada artinya.

Ia malah sering mengecilkan prestasiku tersebut. “Nggak ada gunanya pintar kalau cuma pintar menghapalkan buku teks pelajaran kuliah!” Aku tidak bisa lagi menangis saat mendengar hardikan ayah. Saking menyakitkannya kata-kata yang seringkali beliau lontarkan padaku, aku hanya bisa mati rasa sambil menahan rasa kesal dan dendam. Mulut ayah bagaikan pistol; setiap peluru berupa kata-kata hujatan yang ditembakkan ke badanku selalu menyebabkan rasa sakit dan pedih.
***
Umpatan-umpatan tersebut, tentu saja, tidak hanya ditembakkan kepada diriku seorang, tetapi juga kepada ibuku.

Tentu engkau tahu sejarah hubungan antara ibu dan ayahku. Usia mereka terpaut jauh, hampir 25 tahun. Saat ibu bertemu dengan ayah untuk pertama kalinya sekitar 25 tahun yang lalu, ibu masih berusia 23 tahun. Dalam usia belia tersebut, ibuku sudah dikenal sebagai seorang penyair berbakat. Ayah yang baru saja bercerai dengan istri pertamanya, terpukau oleh kecantikan dan kecerdasan ibuku.

Sedangkan ibuku terpesona oleh sosok laki-laki lebih tua yang ia anggap dapat mengayomi dan melindungi dirinya.

Mungkin kau kira bahwa jurang usia di antara ayah dan ibu menjadi penyebab utama dari semua kata-kata makian dan pukulan yang selalu dialamatkan ayah kepada ibu. Tetapi sebetulnya yang menjadi perkara utama di balik pedihnya perkawinan mereka adalah perbedaan status sosial. Ibuku hanyalah seorang penyair yang terlahir dari keluarga karyawan swasta biasa. Sementara saat itu ayah adalah direktur perusahaan minyak, seorang kaya raya yang terlahir dari keluarga tuan tanah kopi di daerah Tapanuli Utara.

Ayahku dan keluarganya yang merupakan bangsawan menganggap ibu sebagai duri dalam daging: perempuan gila yang menyuarakan hal-hal tabu seperti seks dan kesetaraan gender dalam puisi-puisinya. Keluarga ayah sempat tidak menyetujui pernikahan mereka berdua, namun ayah tidak peduli.

Belakangan ayah pernah berkata kepada ibu: “Kamu tidak tahu diuntung! Kalau dulu saya tidak membelimu bulat-bulat demi tubuh dan wajahmu yang molek itu, kamu tidak akan bisa menikmati hidup nyaman seperti sekarang! Kamu tidak akan bisa kuliah es-dua supaya bisa jadi dosen sastra untuk melengkapi kerjaan penyair taikmu itu! Cuih!” ujarnya, seolah-olah ibu adalah objek, benda, dan bukan seorang manusia yang hidup dan memiliki otonominya sendiri, sebelum meludahi wajah ibu dengan rehaknya yang kental.

Namun ibu memilih bertahan hidup bersama ayah. Namun anehnya, beberapa tahun yang lalu saat aku menanyakan apakah ibu bertahan karena ia terlalu menikmati kenyamanan diantar supir mobil kemana-mana dan tinggal di rumah ayah yang berdiri di atas tanah sebesar tiga ribu meter persegi, ibu menyangkalnya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Oh, tentu tidak. Kamu ini masih remaja makanya sangat naif. Hat, kamu harus tahu. Lelaki kaya sih banyak di luar sana. Namun, ada satu kelebihan yang hanya dimiliki ayahmu. Ayahmu itu pemain ranjang yang hebat!

Goyangannya di tempat tidur selalu memberikan ibu kepuasan luaarrr biasa, bahkan sampai saat ini, ketika usianya sudah hampir 80 tahun,” ujar ibu dengan mata berbinar-binar.

“Nah, tapi ibu kok bisa tahu kalau kelebihan itu hanya dimiliki oleh ayah? Mungkin ibu harus mencobai laki-laki yang lain… Siapa tahu, ada laki-laki yang goyangannya lebih hebat daripada ayah,” ujarku sambil tersenyum nakal.

Tawa ibu meledak. “Astaga… Rupanya kamu tidak se-naif yang ibu kira ya. Eh, sudah, ibu tidur dulu ya,” ibu menyudahi percakapan kami cepat-cepat. Di balik tawanya yang garing dan ucapannya yang seolah-olah menganggap semuanya ringan itu, aku tahu sebetulnya ibu enggan membahas soal ayah lebih lanjut karena topik itu terlalu menyakitkan untuknya.
***
‘Goyangan’ ayah yang konon membuat ibu rela bertahan dalam pernikahan nista tersebut rupanya tidak bertahan lama.

Tahun lalu ayah terserang penyakit stroke yang menyebabkan ia lumpuh dan juga impoten. Konon menurut dokter, penyakit tersebut datang karena temperamen ayah yang terlalu keras dan pemarah, selain juga karena ia terlalu sering makan babi dan saksang serta merokok dan menenggak berbotol-botol minuman beralkohol.

“Hal-hal tersebut menyebabkan ia senantiasa mengalami tekanan darah tinggi. Kemudian tubuhnya tiba pada titik dimana pembuluh darah besar di otaknya akhirnya pecah,” kata dokter tersebut.

Sejak ayah sakit, perilakunya semakin tidak tertahankan. Dan tentu saja, ia sudah tidak bisa memberikan kepuasan pada ibu lagi.

Suatu hari, ibu mengatakan padaku bahwa ia telah diterima sebagai seorang dosen sastra di sebuah universitas di Bandung. Beruntung, ia juga diterima sebagai kurator pada sebuah pusat kebudayaan yang terletak pada kota yang sama. “Ibu akan meninggalkan ayah. Kalau kamu masih mau tinggal sama dia, ya silakan,” ujarnya.

Pada saat yang sama, aku juga mendapatkan pekerjaan sebagai seorang fotografer pada sebuah majalah seni dan budaya di Bali.

“Lha, kebetulan sekali! Sebetulnya aku juga sudah lama ingin meninggalkan rumah ini, makanya aku mencari-cari pekerjaan di Bali. Barusan aku dikabari bahwa aku diterima disana!” ujarku.

Lalu kami mengatur agar mendapatkan penerbangan di pagi hari. Kami memutuskan untuk mengemasi barang kami perlahan dan pergi diam-diam saat semua orang terlelap karena kami tahu, betapapun kerasnya niat kami untuk minggat, kami masih punya hati nurani. Kami takut akhirnya berubah pikiran saat melihat ayah menangis tersedu-sedu, meronta-ronta dan melolong bagaikan harimau sambil memohon agar kami tetap tinggal bersama dengannya.

Ayah memang manipulatif. Sedari dulu, setiap kali kami mengancam akan pergi dari rumah setelah ia memukuli atau membentak-bentak kami, ia selalu menangis, meminta maaf dan bahkan mengancam akan bunuh diri. Sontak hati kami terenyuh dan mengurungkan niat kami. Namun rupanya ayah adalah predator ulung. Ia selalu mempermainkan perasaan mangsanya sebelum akhirnya menghabisi mereka.
***
Adrian, selain mau bercerita tentang duduk perkara minggatnya aku dan ibuku, aku juga ingin membicarakan tentang kita dalam surat ini.

Aku ingin engkau meninggalkan ayah dan pergi ke Ubud untuk tinggal bersamaku. Aku tidak tega membayangkan dirimu dimaki-maki oleh lelaki tua yang jahat itu. Yang paling penting dari segalanya, aku mencintaimu dan ingin ada bersamamu. Jangan khawatir karena ayah tidak akan sendirian. Di rumah itu ada banyak pembantu rumah tangga dan supir lain yang akan melayani kebutuhan ayah.

Aku akan menegaskan lagi dalam surat ini bahwa aku tidak mempermasalahkan statusmu sebagai seorang supir.

Aku bukanlah manusia picik seperti ayah yang terlalu mempersoalkan status sosial. Buatku, sifatmu yang lembut, sederhana, pengertian dan hangat adalah hal paling penting yang kemudian mendorongku untuk memilih dirimu sebagai pasangan hidupku. Engkau bisa tinggal berdua denganku di indekos yang kutempati.

Disini kita bisa membuka usaha bersama, sewa tempat untuk bikin warung nasi Padang.

Dan jangan khawatir, kita tidak akan digerebek. Di sini tidak ada ormas-ormas sok moralis seperti Gerakan Anti Mesum yang sering unjuk gigi di Jakarta itu.

Aku harap kau masih mencintaiku, seperti yang pernah kau katakan waktu itu, dan mengingat waktu yang kita habiskan bersama penuh kehangatan di Jakarta.

Untuk tiket penerbangan, jangan khawatir, aku akan mengurusi dan membiayainya dengan uang tabunganku. Aku hanya akan menunggu kepastian darimu, kapan engkau bisa pindah kemari, sebelum aku mengurusi semua detail keberangkatanmu ya.

Kutunggu jawaban darimu. Semoga jawaban itu datang secepatnya. Nomor telepon selulerku masih sama.

Salam rindu,

Sahat.

*Penulis adalah copywriter dan jurnalis di The Jakarta Post.

Bagikan

Cerpen Lainnya