Sajak Sembilu Sang Serdadu
Oleh: Oriel Calosa*
Suarakita.org- “Aku lelah, kawan” di buangnya senapan ke atas tanah dan terpuruklah dia terpaku menatap riuhnya dentuman bom dan geranat yang saling menyahut.
“Aku lelah, ingin aku kembali kepada duniaku yang dulu. Disaat masalah terberat dalam hidupku hanyalah berusaha mencari sesuap nasi untuk makan, tidak seperti saat ini. Terlalu riuh aku dengan segala perjuangan yang tak pernah usai sedangkan waktuku hanya ada senapan, bom dan geranat. Lalu, dimana bidadari-bidadari yang tlah dijanjikan di ujung perjuanganku? Atau memang itu hanyalah cerita fiksi untuk menina bonbokkanku kedalam tidur yang panjang?”.
Rudolf, diantara perang saudara yang tak pernah usai sejak masa itu sejak 1930 di Dinasti Spanyol yang memunculkan kesenjangan yang begitu dalam antara keluarga kerajaan, gereja dan para tuan tanah di negeriku saat itu telah menimbulkan pemberontakan.
Telah ditatapnya orang-orang yang berlarian membawa pedang dengan muka garang dan nafsu untuk membunuh. Di sabitkanya pedang itu setiap menemukan musuh yang di hadapanya tanpa memandangnya telah lemah karna tertembak atau tersabit senjata.
Sepertinya perang ini memberikan permainan tersendiri dalam hidupnya, tapi diujung waktu dia tersungkur dan menangis menatap sosok anak lelaki kecil yang menatapnya penuh memelas dan mata yang berbinar meminta belas kasihan.
Kakinya tertembak peluru, dan tangannya terus berusaha menarik tubuh dan bersembunyi di rumah – rumah yang telah hancur karena meriam dan lobang-lobang penuh dengan peluru.
Sinar mentari tepat diatas kepala ketika matanya menatap tajam wajah Rudolf. Tanganya menutup dada sedang yang satunya menahan kaki yang tlah tertembak. Tajam… tajam sekali mata itu menatap.
Baru kali ini Rudolf memandang tatapan setajam itu, telah ribuan musuh yang dia bantai dan dia bunuh, Lelaki… perempuan… bahkan kadang anak-anak tanpa pandang bulu. Karna bagi Rudolf, mematuhi perintah raja itu seperti mengikuti perintah Tuhanya yang dia sembah.
Tapi kali ini berbeda, tatapan itu benar-benar membuatnya terpaku. Rudolf yang selama ini sosok yang beringas, sosok yang kuat dan berdarah dingin tiba-tiba terhenyak oleh tatapan seorang anak muda yang memelas meminta untuk tidak dibunuh.
Anak itu mengambil selembar kertas di saku, diberikan kepada Rudolf. Nampak foto hitam putih seorang ibu dengan pakaian khas abad pertengahan tersenyum simpul sedang memegang bahu seorang anak lelaki dengan celana pendek. Tanganya mengandeng anak perempuan yang membawa boneka.
“Ini adalah ibu dan adikku, ayahku tlah tiada… Jika engkau membunuhku saat ini, sampaikan ini kepada beliau dan ucapkan betapa sayangnya aku kepada beliau dan adik”.
Tanganya meraih foto, tanganya bergetar… melihat sosok anak lelaki dalam foto itu. Tatapan mata anak itu benar-benar telah meluluhkan hatinya, semua keberanian dan keberingasan yang selama ini dimilikinya tiba-tiba sirna seketika. Jantungnya beredegup kencang matanya mulai berbinar dan meneteskan air mata.
Tersungkur Rudolf dihadapan anak itu, dibalik tembok gedung yang dipenuhi oleh lobang-lobang peluru dan rusak karena meriam.
“Aku lelah” Sambil terisak Rudolf mengungkapkan.
“Kenapa?” Kata anak itu.
“Selama ini, aku membunuh ratusan orang… membantai mereka tanpa memberikan ruang untuk mereka… yang ku tahu hanya berbakti pada raja dan membantai adalah bukti baktiku pada titah sang raja…”.
Anak itu kebingungan, tangannya masih memegangi kaki yang telah tertembak peluru.
“…Matamu nak… matamu tlah membunuhku…” Kata Rudolf.
“…Mak…. maksud Anda?”.
“…Mata itu mengingatkanku pada seseorang yang memberiku alasan untuk membunuh”.
“…Saya tidak paham” Kata sang anak.
“Sudahlah, ayo ikut aku…. Kamu harus aku sembunyikan dulu sebelum serdadu yang lain melihatmu dan membantaimu”.
Diangkat kembali senjatanya, diragkulnya anak itu dan berjalan tertatih menjauhi peperangan. Sambil sesekali bersembunyi, bertemulah mereka dengan sebuah rumah kecil tak jauh dari kota itu yang telah hancur karena peperangan, didobraknya pintu sambil menatah Diujung rumah itu, terdapat tempat tidur usang. Rumah itu telah ditinggalkan penghuninya untuk mengungsi karena peperangan namun cerita rumah itu terlihat jelas di dinding rumah. Perabotnya masih lengkap, terlihat si pemilik rumah begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah.
Beberapa foto usang masih berjajar rapi di meja samping tempat tidur, sepertinya rumah itu milik sebuah keluarga kecil dengan empat anak lelaki. Semua masih tergambar jelas dalam bingkai-bingkai foto yang tak sempat ikut mereka ungsikan.
Direbahkannya sang anak di tempat tidur dan ditaruh senjatanya tak jauh dari tempat tidur itu pula.
Rudolf mengambil air dan kain untuk membersihkan luka anak itu.
“Sepertinya, kamu harus dibawa ke dokter nak…” Kata Rudolf.
“Mana mungkin? Sedangkan kita sedang berperang” Kata sang anak.
“Kamu mau percaya padaku? Untuk mengabil peluru yang ada di kakimu?” Kata Rudolf.
“Kalaupun aku tidak percaya, kamu pasti sudah membunuhku dari tadi”.
Rudolf mengambil pisau, pisau itu dibakar di atas lilin.
“Gigit kayu ini nak…”.
Rudolf mulai menusukkan pisaunya ke dalam luka untuk mengambil peluru yang tertancap di kaki anak tersebut. Tangannya memegang erat tangan Rudolf, begitu deras mengalir keringat di seluruh tubuhnya. Teriakan yang tertahan, mengerang namun tetap berusaha untuk menahan rasa sakit yang dialami. Setelah semua selesai.
“Kamu kuat nak…” Kata Rudolf.
“Kenapa kamu mau menolongku, sedangkan kamu mempunyai kesempatan untuk membunuhku”.
“Tidak usah kau pikirkan, nanti saja aku ceritakan jika kamu sudah pulih… tidurlah dulu”.
Di tariknya selimut menutupi tubuh anak itu, dan Rudolf mengusap kepalannya sambil menatap tajam dan anak itu juga menatap tajam Rudolf. Tatapan yang begitu mendalam.
Sejenak Rudolf menghela nafas dan berjalan ke ujung ruangan, di taruhnya tikar di lantai dan mulailah dia merebahkan tubuhnya. Tapi tida tak bisa tidur, matanya terus saja tak mau terpejam, tak sadar air mata Rudolf menetes…. yah…. air matanya menetes, air mata yang selama ini seperti tidak mungkin dikeluarkan oleh seorang yang berdarah dingin dan telah membunuh ratusan bahkan mungkin dibuan nyawa, air mata itu benar-benar sangat langka.
Ingatanya kembali tertuju di masa jauh sebelum berperang, di sebuah kerajaan yang saat itu masih terlihat damai. Tak kan pernah dia lupakan ketika Rudolf muda, yang memulai karir sebagai prajurit masi berlatih di padang rumput. Saat itu memang dia ingin berlatih sendirian dengan segala kemampuanya yang masih minim.
DAR!!!
“Aduh….”.
Rudolf terkejut, karena tiba-tiba pelurunya mengenai seorang anak muda yang tidak sengaja sedang berada di hutan seberang padang rumput. Pelurunya tak mengenai sasaran namun justru mengenai anak itu.
Matanya persis seperti anak yang hendak dibunuhnya tadi, begitu memelas…. tajam dan….. sangat dalam.
“Maaf… aku sedang berlatih menembak” Kata Rudolf.
Ditatihnya anak itu ke rumahnya dan dipanggillah dokter untuk mengobati.
“Tidak apa… apa… cuman goresan” Kata dokter, sambil membalut luka akibat tembakan.
“Siapa namamu, nak?” Kata Rudolf.
“Alex, terima kasih sudah menolongku”.
“Aku Rudolf, justru aku yang seharusnya meminta maaf karena sudah melukaimu”.
“Ah… hanya luka kecil, kata dokter cuman luka lecet kan?.
“Berapa umurmu, Alex?”.
“19 Tahun, pak”.
“Lalu apa yang kamu kerjakan dihutan itu?”.
“Saya sedang mencai kayu bakar…. ah… saya lupa, ibu pasti cemas mencariku”.
Alex memaksakan diri untuk berdiri, namun rasa sakit membuatnya rubuh. Rudolf menangkap hingga diapun tersungkur, kedua mata mereka menatap tajam. Tiba-tiba Jantung Rudolf berdegub kencang, entah apa yang ada dalam pikiranya saat itu.
Hari berganti hari, Rudolf dan Alex sering bermain bersama. Bercengkrama di padang rumput, berlari-lari kecil atau bermain di telaga di pinggiran kota. Tubuhnya yang basah karena bermain air, mereka merebahkan diri di bawah pohon rindang di pinggir telaga yang begitu bening oleh sinar mentari sore itu. Terlihat kuning keemasan dan begitu indah, di sisi telaga itu dipenuhi dengan bunga-bunga penuh dengan warna-warni.
Alex merebahkan kepalanya di perut Rudolf, [entah kenapa]. Rudolf mulai megusap-usap rambut Alex yang keriting, Alex membalikkan badan dan ditatap[lah] mata Rudolf mereka saling bertatapan tajam.
Pelan-pelan Alex mendekatkan diri ke Rudolf, nyaris tak lagi ada jarak untuk saling menatap. Tangan Alex mengusap pipi Rudolf, berlahan menyentuh bibirnya. Jantung Rudolf berdegup tak beraturan, matanya menutup dan mereka beradu mulut. Dalam, dan semakin liar, tangan Rudolf mulai membelai tubuh Alex. Namun secara tiba-tiba Rudolf mendorong keras tubuh Alex.
“Jangan…. Apa yang kamu lakukan?” Rudolf mendorong Alex hingga tersungkur.
Dia terkejut dan hanya bisa menatap Rudolf tanpa mengeluarkan sepatah katapun, aku lagi yang bisa diungkapkan Alex.
“Gila kamu…” Kata Rudolf sambil mencoba berlari dari Alex.
Alexpun tak mau diam, dipegang tangan Rudolf.
“Rudolf…. tunggu, maafkan aku, aku juga tidak tahu apa yang terjadi” Kata Alex terbata-bata.
“Kamu sinting… kamu gila” Kata Rudolf.
Tiba-tiba Alex memeluk Rudolf dari belakang dan sekuat tenaga Rudolf melepaskan ikatan tangan itu.
“Rudolf…. Jangan tinggalkan aku, tolong”.
Enam bulan sejak kejadian itu, adegan yang tak bisa di lupakan. Bahkan Alex, yang saat telah enam bulan pula dihindari tapi ingatanya masih saja berfantasi liar. Apa yang terjadi, kenapa harus Alex?.
Semakin Rudolf berusaha melupakan, semakin kuat melekat dalam ingatannya. Ingin dalam sekali Rudolf memeluk erat dan mencium Alex dengan sepenuh hati, membuka semua baju dengan liar dan bermainlah dia dalam angan-angan dan fantasi yang membabi-buta tentang Alex. Tetapi, kenapa harus Alex?.
Telah enam bulan dia menghindar dari Alex, tetapi dia tidak bisa melarikan diri dari fantasi liarnya dengan Alex. Bahkan semakin kuat ingatan dan fantasi itu bergelayut dalam otaknya.
Ada panggilan dari kerajaan bahwa Rudolf menjadi salah satu eksekutor tembak mati terhadap orang-orang yang dianggap membangkang oleh raja, mereka yang dianggap sebagai pengkhianat kerajaan yang rumornya ingin menundukkan sang raja yang dianggap diktator dan telah menghisap darah rakyatnya yang sedang kelaparan.
Menurut rumor yang beredar, pengkhianatan itu melibatkan keluarga kerajaan. “Ah… toh itu bukan tanggung jawabku, tanggung jawabku mengapdi dan berbakti pada kerajaan” begitu yang Rudolf pikirkan saat itu.
Beberapa orang di taruh berjajar sambil tangan diikatkan ke tiang dengan kepala di tutup oleh kain, regu tembak bersiap mengambil posisi dan salah satunya adalah Rudolf. Sementara rakyat hanya menatap tak jauh dari proses eksekusi itu.
“Bersiaaap…. ” Komandan Eksekusi bersiap memberi perintah.
“Lawan Sang Raja…. Lawan Sang Raja…. Lawan Sang Raja Diktator” Teiak orang-orang yang akan di eksekusi.
“….Tembaaak”
DAR!!!!
Komandan eksekusi telah berteriak, dan memberi perintah, darah mulai bercucuran dari dada para tersangka yang dianggap telah berkhianat oleh sang Raja, Sang Raja hanya menatap dari singgasana yang telah disiapkan.
“Inilah penghakiman bagi siapa saja yang telah berkhianat bagi sang raja…” Riuh sekumpulan penduduk yang menyaksikan eksekusi itu tanpa bisa berbuat apapun, beberapa wanita menangis sambil berpelukan dengan beberapa orang disampingnya.
Tersangka diperiksa satu persatu dan mulailah berlahan-lahan penutup kepalanya dibuka oleh petugas.
Alex…. adalah salah satunya.
Rudolf hanya bisa tercengang, seseorang yang selama ini ada di otaknya, dan dianggap telah mengisi hidupnya terbujur kaku sebagai seorang tersangka dan dialah yang mengeksekusi.
Tak ada yang bisa diungkapkannya, tak ada yang bisa disampaikan. Untuk bertereakpun dia tak sanggup, matanya hanya menatap nanar wajah Alex diantara para tersangka, tanganya bergetar. Tak sanggup dia untuk berjalan…. entah apa yang akan dilakukan, sepertinya langit telah runtuh.
Alex… adalah hidupku, seseorang yang pernah hadir dan mengisi hari-hari yang terlampau singkat, yang memenuhi dengan fantasi gila tentang telaga di pinggir kota itu yang kini telah mati di tangannya sendiri.
Rudolf….. yang mencintaimu tanpa mengerti arti cinta.
*Oriel Calosa,Koordinator Komunitas Sobat Semarang