Suarakita.org- Menjadi pekerja yang memiliki orientasi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) berarti berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau menjadi bagian dari arus utama, yakni heteroseksual.
Ketika seorang LGBT berpendidikan tinggi, mereka mempunyai ruang lebih besar untuk menjadi diri sendiri dan menemukan tempat kerja yang sesuai dengan orientasi dan pemikiran mereka. Hal itu disebabkan oleh berkualitasnya kemampuan dan keterampilan mereka sehingga mencari pekerjaan sesuai tidak pernah menjadi masalah.
Hal yang berbeda menimpa pekerja LGBT dari kalangan pendidikan rendah di mana mereka memiliki ruang sempit untuk mengekspresikan diri, di mana urusan mendapat pekerjaan yang bisa mendukung orientasi mereka sulit dicapai. Alhasil, merahasiakan jati diri menjadi satu-satunya pilihan agar bisa mencari nafkah.
Fakta tersebut dirangkum dalam sebuah penelitian berjudul ‘Identitas Gender dan Orientasi Seksual: Mempromosikan Hak Asasi, Diversitas dan Persamaan di Dalam Dunia Kerja’ yang dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang bekerjasama dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Berikut ini kutipan wawancara reporter CNN Indonesia, Yohannie Linggasari, dengan peneliti PSKK UGM Dewi Haryani Susilastuti via surel.
Bagaimana riset yang dilakukan ILO dan PSKK UGM tentang pekerja LGBT?
Penelitian ini terdiri dari dua komponen. Pertama, survei yang melibatkan anggota serikat buruh. Kuesioner dalam survei ini bertujuan untuk melihat persepsi dan perilaku anggota serikat buruh di Jakarta terhadap pekerja LGBT. Komponen ke dua meliputi penelitian kualitatif yang melibatkan pekerja LGBT yang tergabung dalam berbagai organisasi LGBT di Yogyakarta, Jakarta, Kupang dan Pontianak.
Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman kaum LGBT di dunia kerja. Latar belakang pekerjaan mereka sangat bervariasi. Ada yang bekerja di salon, di restoran, di cafe, di toko swalayan, di bank, di kantor swasta, di lembaga swadaya masyarakat, ada juga pegawai negeri sipil.
Ada disonansi kognitif di kalangan responden dalam kaitan sikap dan perilaku mereka terhadap LGBT. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa mereka cukup toleran terhadap LGBT, tetapi pada tataran perilaku, mereka keberatan mempunyai teman sekerja atau atasan LGBT.
Apa saja diskriminasi yang dirasakan para pekerja LGBT?
Mereka sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi kerja yang homophobic dan karena lingkungan umumnya tidak ramah terhadap kaum LGBT.
Sudah adakah kesadaran dari pihak perusahaan mengenai kehadiran mereka?
Perusahaan tahu bahwa LGBT itu ada di perusahaan. Akan tetapi mereka memandang LGBT sebagai kelompok yang melenceng dari norma-norma sosial yang ada. Pendekatan yang sering dipakai oleh perusahaan atau organisasi buruh adalah kegiatan yang sifatnya “siraman rohani”, dengan harapan para pekerja LGBT ini akan kembali ke “jalan yang normal”.
Adakah diskriminasi yang dilakukan perusahaan terhadap pekerja LGBT? Kalau ya, apa saja?
Diskriminasi di dunia kerja terhadap pekerja LGBT itu sangat bervariasi, mulai dari ketika mereka masih mencari dan melamar pekerjaan hingga sudah bekerja. Iklan untuk mencari pekerja sangat diskriminatif terhadap LGBT, misalnya, “Dicari laki-laki dan perempuan”.
Iklan seperti ini tidak memberi ruang bagi mereka yang berada di luar oposisi biner laki-laki atau perempuan. Upaya mencari kerja di kalangan LGBT juga diperberat dengan terbatasnya pendidikan banyak LGBT.
Dalam proses rekrutmen, terutama di bagian wawancara, pekerja LGBT harus berhadapan dengan pewawancara. Dalam banyak kasus lamaran mereka ditolak karena mereka pewawancara bisa melihat penampilan mereka, tahu atau menduga bahwa mereka gay, lesbian atau transgender.
Bagaimana diskriminasi yang dirasakan pekerja LGBT setelah memperoleh pekerjaan?
Diskriminasi yang dirasakan beragam. Misalnya, berupa komentar atau guyonan tentang LGBT. Misalnya: “Kalau enggak kemayu gimana?” Ada pula yang tidak mau duduk berdekatan dengan pekerja LGBT dalam pertemuan di kantor, bahkan tidak mau diajak salaman. Ditemukan pula bullying oleh kolega yang juga LGBT. Karena lapangan kerja untuk LGBT relatif terbatas sehingga tidak jarang kehadiran sesama LGBT membuat LGBT yang lain merasa terancam.
Para LGBT juga mengalami diskriminasi pada tahap evaluasi dan promosi. Pekerja yang diketahui atau dikenal sebagai LGBT sulit memperoleh evaluasi yang positif dan promosi sekalipun masa kerja mereka sudah cukup panjang.
Bagaimana dengan diskriminasi terhadap LGBT berupa kekerasan fisik?
Di kalangan LGBT, transgender yang paling sering menjadi sasaran kekerasan fisik. Jenis diskriminasi yang ekstrem ini salah satunya disebabkan oleh jenis pekerjaan mereka. Karena keterbatasan keterampilan dan tingkat pendidikan mereka, banyak kaum transgender bekerja sebagai pekerja seksual komersial. Sebagai akibatnya, mereka mengalami diskriminasi bertingkat – diskriminasi karena mereka transgender dan diskriminasi karena mereka pekerja seksual komersial.
Di beberapa daerah di Indonesia, pelacuran dianggap sebagai “mengganggu ketenangan” dan sering dijadikan sasaran penertiban Satpol PP. Para transgender pekerja seksual komersial ini takut terhadap penertiban Satpol PP. Ketika ada penertiban Satpol PP, reaksi pertama mereka adalah lari. Berdasarkan data dari grup diskusi, beberapa tahun yang lalu ada transgender yang ketakutan karena adanya penertiban Satpol PP.
Dia tidak bisa berenang akan tetapi karena dia tidak melihat jalan keluar, dia melompat ke sungai Kapuas dan akhirnya dia meninggal karena tenggelam. Kekerasan fisik di beberapa daerah penelitian juga dilakukan oleh anak laki-laki muda. Mereka berteriak-teriak sambil melempar batu kepada kaum transgender yang mejeng di pinggir jalan. Boleh jadi kekerasan fisik ini dipicu dengan semakin banyaknya jumlah, dan semakin bertambahnya visibilitas, kaum transgender. Ada kemungkinan kedua faktor ini dianggap sebagai ancaman terhadap dominasi heteroseksualitas.
Apa tantangan terberat para pekerja LGBT?
Pada intinya semua pekerja LGBT merasa bahwa mereka berada di persimpangan antara menjadi diri sendiri atau menjadi bagian dari arus utama yang ditandai oleh heteroseksualitas yang kental.
Mereka yang berpendidikan tinggi memiliki ruang yang lebih lebar untuk menjadi diri sendiri, artinya mereka bisa terbuka tentang orientasi seksual atau identitas gender mereka. Ini karena mereka mempunyai ketrampilan dan atau pendidikan yang memungkinkan mereka untuk pindah pekerjaan ketika mereka merasa bahwa lingkungan pekerjaan mereka tidak nyaman secara psikologis bagi mereka.
Sebaliknya, kaum LGBT dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah seringkali merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan pekerjaan mereka adalah dengan merahasiakan orientasi seksual atau identitas gender mereka. Akan tetapi ketidakterbukaan mereka tentang orientasi seksual atau identitas gender mereke membuat mereka merasa tertekan karena mereka merasa tidak jujur kepada diri mereka sendiri.
Sudah adakah perlindungan dari pemerintah terhadap pekerja LGBT?
Belum ada.
Perlukah ada peraturan khusus atau undang-undang untuk para buruh LGBT dalam rangka melindungi dan memenuhi hak mereka? Kalau iya, seperti apa?
Mungkin tidak perlu ada peraturan khusus. Yang diperlukan sekarang ini adalah peninjauan kembali peraturan yang sudah ada karena pada prinsipnya peraturan perburuhan yang sudah ada sekarang ini sifatnya anti diskriminasi, paling tidak semangatnya demikian, walaupun mungkin aplikasinya tidak sejalan dengan semangatnya. (utd)
Sumber: CNN Indonesia