Suarakita.org- Sepakbola identik dengan olahraga keras. Di olahraga ini, hantaman dan tekel adalah sesuatu yang sulit untuk dihindarkan. Atmosfer yang keras membuat pesepakbola dituntut untuk memiliki kondisi fisik yang prima. Tidak mengherankan jika bentuk tubuh pesepakbola terlihat lebih macho ketimbang pemain catur, misalnya.
Di Amerika, beberapa artis pria telah menyatakan secara terbuka bahwa dirinya adalah penyuka sesama jenis atau homoseksual. Melihat lingkungan yang mendukung: kebebasan berpikir dan berekspresi, membuat mereka menemukan orientasi seksual yang berbeda ketimbang pria kebanyakan.
Banyak yang menentang, karena dianggap tidak sesuai kodrat, tapi mereka melakukan pembelaan. Orientasi seksual adalah hak setiap orang, dan setiap orang tidak pernah terlahir secara sempurna. Orientasi seksual bergantung pada hormon ketika manusia itu lahir. Ia sendiri tidak pernah bisa memilih akan jadi apa saat ia terlahir, pun dengan kedua orang tuanya.
Tapi, tidak begitu pemikiran mayoritas masyarakat. Menjadi homoseksual kerapkali dianggap sebuah kesalahan yang menyalahi norma. Pria dipasangkan dengan perempuan, begitu pula sebaliknya. Menjadi seorang homoseksual sangat rentan terhadap tindakan kekerasan dan diskriminasi.
Pun di sepakbola. Jarang pesepakbola yang mengaku secara terang-terangan bahwa dirinya seorang homoseksual.
Ketua Asosiasi Pesepakbola Profesional Inggris (PFA), Ritchie Humphreys, menuntut sepakbola untuk lebih memberikan lingkungan yang nyaman bagi pemain gay agar mereka bisa bermain lebih lepas. Dari 4 ribu anggota PFA, tidak ada satu pun dari mereka yang mengaku sebagai seorang gay.
Di Piala Dunia 2014, tidak ada satu pemainpun yang secara terbuka mengakui dirinya sebagai seorang gay. Wajah dari sepakbola adalah heteroseksual dan heteronormatif. Maksud dari heteronormatif adalah sebuah anggapan bahwa orang dengan heteroseksual adalah hal yang normal. Namun, di luar dari itu, mereka menganggap orientasi seksual lain sebagai sesuatu yang tidak normal.
Pesepakbola gay yang terbuka, hanya bisa diitung dengan jari. Salah satunya adalah bekas pemain LA Galaxy, Robbie Rogers. Ia sering dikaitkan pada masa-masa dimana suasana homophobic berlangsung begitu agresif di ruang ganti. Secara kelembagaan, ini bisa diartikan bahwa sepakbola sama sekali tidak perduli terhadap pemain gay.
Dari paparan di atas, dapat diasumsikan bahwa sepakbola menjadi satu dari beberapa benteng pertahanan terakhir dari intoleransi terhadap gay. CEO Stonewall (pendukung gerakan LGBT), Ben Summerskill menyebut sepakbola sebagai “institusi homphobic”.
Saat ini, tahun 2014, adalah masa di mana sepakbola mengalami perubahan yang sama dengan ekonomi, sosial, perubahan budaya, bahwa seluruh masyarakat telah mengalami dan menikmati, termasuk dalam hal ras, jenis kelamin, dan gender.
Lewat globalisasi dan komersialisasi, sepakbola tak seperti dulu lagi. Di satu sisi, penghapusan batas antara orang dan uang telah membuka peluang bagi talenta muda yang bermain di Asia, Amerika Selatan, dan Afrika untuk dapat memenuhi mimpi mereka dengan bermain di Eropa. Imigran generasi ke dua dan ketiga, telah dapat membela negara tempatnya hijrah. Contohnya adalah Mario Balotelli. Ia menjadi pusat perhatian di timnas Italia karena memiliki warna kulit yang gelap. Sedangkan orang tua Balotelli adalah imigran dari Ghana.
Akulturasi ini memiliki dampak terhadap sepakbola yang dianggap ekslusif, kasar, dan memiliki imaji sebagai olahraga para preman. Kini, sepakbola tidak dipusatkan pada kekerasan. Para pemain impor membawa pemikiran mereka sendiri. Ada yang bermain dengan anggun dan berteknik, ada juga yang penuh dengan taktik dan strategi.
Di luar lapangan, perubahan secara krusial juga terjadi. Dimulai dari David Beckham yang tampil di majalah gay Inggris, Attitude, hingga Cristiano Ronaldo yang meluncurkan pakaian dalam. Mereka menjadi teladan bagi para fans dan memberitahu mereka bagaimana seorang pria berperilaku.
Hadirnya pesepakbola pesolek ke publik membuat ke-metroseksual-an atau penampilan mereka diterima oleh fans. Meski menjadi kultur yang marjinal pada awalnya, gaya metroseksual kini menjadi hal yang mainstream.
Sepakbola identik dengan lingkungan yang penuh dengan para pria. Stadion, kerap kali menjadi saksi bisu bagaimana mereka, sesama pria saling merangkul, memeluk, dan mencium. Anehnya, ini menjadi hal yang biasa dan tidak dipersoalkan oleh publik.
Homophobia memeroleh penghinaan yang sama seperti halnya rasisme. Survey terbaru dari Stonewall menemukan bahwa mayoritas fans sepakbola di berbagai negara seperti Inggris, Brasil, India, Meksiko, Israel, dan Amerika Serikat akan merasa lebih nyaman jika seorang pemain sepakbola di timnas, lebih terbuka soal identitas seksualnya.
Manajer Arsenal, Arsene Wenger, pernah mengungkapkan pemikirannya mengenai hal ini. “Aku pikir sepakbola hadir untuk melahirkan kebahagiaan, kegembiraan dan pengalaman positif pada manusia, tanpa memandang dari mana asal mereka, apa warna kulit mereka, agama apa yang mereka anut, dan bagaimana orientasi seksualnya,” tegas Wenger.
Wenger menambahkan, akan lebih baik jika empat atau enam orang sengaja membeberkan identitas seksualnya kepada publik agar orang-orang memaklumi hal itu, dan tidak membicarakannya lagi. Namun, ini yang menjadi masalah. Jika ada gay yang mengakui hal ini ke publik, secara tidak langsung akan menurunkan nilai komersial dari klub itu sendiri. Secara tidak langsung, pengakuan ini akan menjadi kerugian bagi klub.
Sepakbola memang belum siap untuk pemain bintang (yang) gay.
Sumber: panditfootball.com