Oleh Okty Budiati*
Suarakita.org- Saya mengenal sosoknya sudah sejak masa kanak-kanak. Saat itu saya memang seakan ditempatkan pada posisi sebagai seorang kakaknya yang kebetulan Ia, Jeni (bukan nama asli), adalah anak tunggal. Ia dibesarkan dalam kondisi keluarga yang memiliki standar hidup tinggi dan dapat dikatakan sebagai salah satu masyarakat kelas mapan dalam strata sosial.
Jeni kecil yang saya ingat cenderung pendiam namun sudah memiliki sikap-sikap ‘tomboy’, dimana kegemarannya dalam bermain cenderung pada fisik ketimbang dandanan ala ‘perempuan’. Meski demikian, orangtuanya tetap mentransformasi penampilan Jeni menjadi perempuan, dari segi pilihan warna pakaian hingga aktivitas seperti mengikutsertakan les piano, balet, dan sebagainya.
Pada perayaan seremonial biasanya saya bertemu Jeni hingga akhirnya kami terpisah saat memasuki masa remaja. Saya sendiri tidak lagi tinggal di Jakarta sedang Jeni masih menetap di Jakarta. Kami pun sudah cukup berjarak dalam menjalin komunikasi. Saya hingga kini sebenarnya lupa apa yang menyebabkan hubungan persahabatan kami yang lebih bersifat kekeluargaan menjadi terputus.
Hingga suatu waktu, pada momen tak terduga, saya diharuskan untuk kembali dan tinggal di Jakarta, saya pun kembali bertemu dengan Jeni. Sejak itulah kami kembali bersama dan di saat itulah saya mengetahui bahwa Jeni adalah seorang lesbian. Jeni mengajak saya berkumpul dengan komunitas dan kekasihnya. Komunitasnya lebih banyak gay ketimbang lesbian.
Kekasihnya pun saat itu cukup dekat dengan saya dan tidak jarang bertanya pada saya seputar aktivitas Jeni. Meskipun saya tidak terlalu bisa menjawabnya karena saya sudah sangat lama tidak bertemu dengan Jeni.
Ketika Jeni mengutarakan jiwanya pada saya bahwa Ia seorang lesbian, meski tanpa Ia menjelaskan, saya pun cukup mengerti dan memahaminya. Kemudian Jeni meminta saya untuk tidak mengutarakan jati dirinya pada orangtua dan keluarga besarnya yang kebetulan beberapa Om dan Tantenya Jeni tinggal di rumahnya. Saya pun memilih menyimpan rahasia ini hingga kini demi kenyamanan diri Jeni. Meski terkadang saya merasa sedih, bagaimana seseorang harus menyimpan jiwanya dalam realita hidupnya, lalu dimana hak hidupnya? Saya tidak bisa membayangkan keadaan Jeni dengan perjuangannya itu. Tapi saya tahu, Jeni orang yang kuat dan pejuang hidup.
Bertahunan saya tidak lagi bertemu dengannya hingga beberapa bulan terakhir, saya mencoba mengontak dia. Jeni saat ini sudah tidak lagi tinggal di Jakarta, karena pekerjaan dia mengharuskannya menetap di Sumbawa. Tapi jika ada waktu untuk berlibur, Ia akan menghabiskan masa di Jakarta.
***
“Jen, apa kabar? Met milad (ulang tahun – red) ya…, gimana keadaanmu dan keluarga? Sekarang lagi di Jakarta atau di pulau seberang?”, tanyaku pada Jeni lewat sosial media.
“Hei, Mbak Oik. Aku lagi di Jakarta. Makasih ya ucapannya. Mbak Oik sekarang tinggal dimana?”, jawab Jeni pada kiriman inboks facebook.
“Aku sekarang tinggal di Lenteng. Mainlah kalau ada waktu. Om dan Tante sehat ya? Kucingmu masih ada?”, lanjutku masih dalam inboks.
“Sehat tapi Papa minggu lalu sempat opname. Aku sekarang lagi nemani kontrol. Aku mungkin lama di Jakarta sekalian nungguin Papa. Mbak Oik ketemuan yuk? Aku main ke sana ya kalau ada waktu. Kucingku masih ada… Hehe…”, jawab Jeni lagi.
Setelah beberapa kali melakukan percakapan melalui inboks facebook, kami pun melanjutkan percakapan melalui media whatsaap.
“Jen, Oom dan Tante apa sudah tahu dirimu?”, tanyaku.
“Hmm… Belum mbak. Keluarga dan keluarga besar belum tahu. Aku juga gak mau bilang…”, jawab Jeni.
“Jen, aku boleh tau gak, sejak kapan kamu akhirnya menemukan jiwamu seorang lesbian dan memilih menjalaninya meski dalam beberapa kondisi kamu harus menyimpannya sebagai rahasia pribadi?”
“Kalau kukilas balik, sepertinya bisa dibilang hampir seumur hidupku aku menjadi seorang lesbian. Tapi, aku baru benar-benar mengenal jati diriku saat usiaku sekitar 20 tahun-an. Saat itu pertama kalinya, melalui seorang kawan lama, aku diperkenalkan dengan wanita-wanita berambut pendek sepertiku, yang mereka sebut butch/butchy. Namun, sejak aku bekerja, kurang lebih umur 24 tahun, aku sudah tidak peduli lagi dengan label. What I understand is that I adore women. Saat ini usiaku 32 tahun.”, jawab Jeni.
Setelah Jeni mencoba menjelaskan perjalanan hidupnya dalam menemukan kediriannya itu, kami melanjutkan berkomunikasi melalui teks whatsapp. Kami melanjutkan percakapan ringan seputar reuni keluarga dan keinginan kami untuk saling bertemu secara fisik bukan media sosial tapi rencana itu tidak pernah terlaksana. Saya sendiri disibukan dengan kondisi anak saya yang masih batita dan Jeni masih harus menjaga Papanya yang kondisinya cukup kurang baik saat itu.
Hingga akhirnya suatu hari, Jeni berkabar bahwa Ia telah kembali di Sumbawa. Jeni mengirimkan beberapa foto tempat tinggal dan aktivitasnya di Sumbawa, serta keadaan di tempat pekerjaan yang sering membuatnya kehabisan waktu untuk bersosial dengan komunitasnya selain dengan relasi kerjanya.
Saya sendiri tidak tahu, apakah tempat Jeni bekerja mengetahui kediriannya. Jika Jeni pun menutupi identitasnya di lingkungan kerjanya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana luka-luka yang harus Ia rajut hingga menjadi sebuah kenyamanan hidup. Meski dalam beberapa percakapan setelah Jeni berada di Sumbawa. Saya menemukan kerinduan seorang manusia yang ingin hidup dengan kejujurannya, sebuah kesepian yang saya tahu dan tentunya dirasakan oleh kawan-kawan LBGT saya pada umumnya. Meski perasaan itu sering divisualkan dalam bentuk aktivitas yang “bahagia dan kreatif”, tapi tentu sebagai seorang manusia, perasaan terkurung atas sosial yang masih cenderung melakukan sikap diskrimasi dengan berbagai sudut pandang yang menurut saya ngawur, kenapa saya katakan ngawur, karena selalu menempatkan LBGT dengan pasal agama atau pun budaya peradaban manusia.
Tak jarang kengawuran itu dipicu karena ketabuan itu sebenarnya lebih pada sifat egoisme manusia atas pikirannya yang menganggap pendapatnya adalah kebenaran, yang menjadikan manusia lain menjadi sebuah kesalahan. Hal ini jelas mengurung bahkan mematikan hak hidup LBGT, mereka tetaplah seorang anak manusia yang terlahir dengan hak hidup kemanusiaannya dan sudah seharusnya memilki hak untuk memperjuangkan eksistensinya dalam sosial.
Sebagai penutup salah satu pengalaman saya yang lain tentang LGBT, yang tentu pada sosok Jeni yang tidak lain adalah bagian dari keluarga besar saya sendiri, saya hanya ingin menyampaikan perasaan saya pada Jeni, bahwa kamu tidaklah sendirian. Masih ada saya yang akan tetap menjadi kakakmu dan kawan-kawan LBGT yang saya yakin mengalami kompleksitas hidupnya, dan saya yakin akan terbuka dengan kehadiranmu di antara mereka.
Jika pun suatu hari kamu, Jeni, menemukan ruang yang menutup gerak hidupmu, saya akan tetap menerimamu seperti kita masih kanak-kanak dulu. Saya pun masih tetap menyimpan sebuah foto kita yang masih kanak-kanak, yang pernah kamu kirimkan melalui facebook tanpa sebab, dan saya tahu, itu menjadi salah satu bentuk kerinduaanmu sebagai seorang anak manusia.
Saya teringat sebuah pesan yang disampaikan oleh almarhum Bapak saya sebelum meninggal: “Hiduplah dengan niat dan jalani keyakinanmu meski masyarakat menyingkirkan pilihan hidupmu. Selama kamu hidup dengan keyakinanmu, hatimu akan tenang, dan itu akan jadi tabunganmu saat kamu pulang nantinya…” Ya, Jeni, pesan itu sekarang saya sampaikan padamu melalui tulisan ini, juga pada seluruh LBGT di bumi semesta ini. Perjuangkanlah hak hidupmu karena atas apapun penghakiman manusia, Tuhan bukanlah penghukum yang kejam. Kekejaman itu hanya ada dalam diri manusia sendiri.
Lenteng Agung, 13 April 2015
*Penulis adalah seorang ibu rumahtangga yang gemar menari dan menulis. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di rumah, berkumpul bersama anak-anaknya.