Search
Close this search box.

Diskusi Publik:“ Peran Serta Negara Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap LGBTI di Indonesia”

Suarakita.org- Dalam rangka memperingati IDAHOT 2015, Rabu 20 Mei 2015 diselenggarakan diskusi publik dengan tema “ Peran Serta Negara Dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap LGBTI di Indoensia” yg diselenggarakan Forum LGBTIQ Indonesia.

Diskusi diadakan di Kafe Tjikini, Jalan, Cikini Raya no.17 Jakarta Pusat. Acara cukup meriah karena hampir semua tempat duduk yg disediakan panitia penyelenggara terisi penuh oleh peserta diskusi. Peserta yg hadir kali ini cukup beragam mulai dari penggiat HAM, beberapa reporter radio, dan mahasiswa.

Diskusi dibuka oleh Ibu Budi Wahyuni sebagai perwakilan dari Komnas Perempuan. Menurutnya Komnas Perempuan berusaha mengkritisi negara agar berperan aktif dalam menegakkan dan mengawal HAM dalam tiga area yaitu menghormati, melindungi dan mengembangkan. Beliau menilai bahwa pemerintah lebih sulit menerima keberadaan LGBT dibandingkan masyarakat pada umumnya terlebih kepada kelompok waria.

Dodo sebagai perwakilan dari LBH Jakarta menyampaiakan bahwasanya LBH sudah semenjak tahun 1970an menangani kasus terkait LGBT, dan semenjak tahun 2006 dalam perekrutan anggota LBH sudah memasukkan materi mengenai LGBT.Menurutnya , salah satu kesulitan dalam menangani kasus terhadap kelompok LGBT adalah susahnya mencari saksi mata ketika terjadi kekekerasan terhadap kelompok minoritas tersebut.

Koordinator Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Natalius Pigai mengatakan bahwa kebhinekaan seharusnya dipahami secara lebih luas, tidak hanya terbatas pada kebhinekaan suku, budaya, dan agama tapi termasuk juga kebhinekaan orientasi seksual.” Kebhinekaan haruslah mewadahi kelompok-kelompok minoritas yg salah satunya kelompok LGBT tersebut”, ujar Pigai tegas.

Pemerintah juga dinilai telah melakukan kriminalisasi melalui aturan- aturan yg telah dirancang oleh pemerintah. Dalam UU NO.44 Thn 1998 Pasal 4 Ayat 1 disebutkan bahwa kelompok LGBT dianggap sebagai golongan yg melakukan persenggamaan terlarang, yg berimplikasi pada penyamaan definisi terhadap suatu ativitas seksual dengan komunitas sosial dan jelas ini adalah suatu kekeliruan. Dan menurut Pigai rancangan UU tersebut dibuat tanpa bangunan akademik yg kuat. Pemerintah seharusnya melindungi dan respek terhadap kelompok LGBT, pemenuhan hak dan kebutuhan kelompok LGBT masih sangat kurang.

Ainul dari YLBHI mengatakan bahwa posisi pemerintah yg masih belum berpihak terhadap kelompok LGBT dan ini jelas tidak sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah seharusnya menghormati segala bentuk pilihan yg diambil oleh warga negara. Melindungi warga negara dari segala macam bentuk ancaman dan bahaya serta memfasilitasi warga negara untuk bebas menjalankan kehidupannya.

“Perjuangan terhadap kelompok LGBT harus lebih keras dari para pemangku jabatan sebagai garda depan pembela hak- hak kelompok minoritas”, tambah Upi sebagai perwakilan dari Arus Pelangi. Diskusi sempat ramai setelah Natalius Pigai meminta seorang repoter dari Radio Republik Indonesia agar tidak perlu takut ketika hendak menaikkan berita terkait dengan kasus- kasus ataupun kegiatan-kegiatan kelompok LGBT, mengingat bahwa radio tersebut adalah milik pemerintah dan keberpihakan pemerintah terhadap kelompok minoritas masih belum jelas dan cenderung mengekang warganya. “ RRI sebagai media jangan takut menaikkan berita mengenai diskusi ini , kalau takut, lapor kepada saya”, tegas Pigay. Sontak hal ini mendapat tepuk tangan dan riuh dari para peserta diskusi lain.

Pendapat lain juga datang dari Transmen Support Group yg diwakili oleh Fritz yg mempertanyakan posisi transmen yg tertarik kepada lak-laki (transgay) , apakah masuk ke dalam kelmpok LBT atau kelompok yg mana, mengingat bahwa transmen memilki orientasi seksual yg tidak sesuai dengan identitas gender mereka.

Sementara itu menurut Merlin isu- isu perjuangan LGBT sejak tahun 1990an sampai dengan sekarang masih belum beranjak, masih berkutat pada seputar isu yg sama yaitu kesetaraan, keadilan dan pemenuhan hak-hak kelompok . “Apakah negara masih akan terus tidak mendengarkan apa yg telah kita advokasikan?”, tanya Merlin.

Budi Wahyuni menyampaikan kerisauannya terhadap pejabat publik yang masih sangat minim pengetahuan mengenai seksualitas, hal ini ia sampaiakan terkait isu tes keperawanan pada anggota TNI. Menurut beliau harus dilakukan proses penyadaran yang sesungguhnya dan “tidak semu” melalui isntitusi- institusi pendidikan agar kemudian dapat meyakinkan pemerintah supaya memperlakukan semua warga negara secara adil.

Tema lain yg juga hangat diperbincangkan adalah mengenai penggunaan terma kelompok minoritas. Budi Wahyuni menyampaikan bahwa terma ini berimbas pada penanganan terhadap kelompok LGBT yag seolah- olah hanya berdasarkan pada rasa kasihan saja dan hal ini hanya masalah kalkulasi waktu saja, “ini kan minoritas sekarang , besok akan menjadi mayoritas” tegasnya. Hal ini ia sampaikan sebagai konteks pendapat pribadi dan bukan berpendapat sebagai pejabat negara. (Edy)
`