“Sketsa Musim Semi”
Oleh: Sulfiza Ariska*
Suarakita.org- HANAMI telah menjelang. Ranting-ranting ramping sakura diselimuti gerimbun embun dan kelopak-kelopak mankai. Kabut pagi musim semi yang menyembunyikan Kyoto tak mampu membuat ingatanku padamu mengabur. Dengan Kojiki dalam pelukan, aku melangkah meninggalkan kuil, melintasi torii. Menjemput kenangan yang tak lapuk digerus waktu.
Kau tahu?
Pada pantulan cahaya di permukaan shinchi, sering kulihat dirimu menatapku. Dapat kucium wangi anyelir rambutmu, ranum kulit persikmu, dan lembut sentuhanmu. Kau pun percaya, kita memiliki jiwa yang tua. Hati telah berbicara, meski tubuh fana terlalu muda mengenal cinta. Bahkan, keheningan ke kuil pun, tak membuat waktu mampu menghapus senyummu di benakku.
“Bahkan, anjing bercinta pun tidak sedap dipandang, Nak!” tutur Biksu Kepala setiap dirimu mengilau di manik mataku. “Apalagi biksu yang dibakar hasrat bercinta.”
***
Takkan kulupa, sepuluh tahun yang lalu, dari jendela apato lantai tiga milik keluargaku, kau memanahku dengan silau pandangan pertama. Waktu itu, aku tengah menghabiskan libur musim semi untuk merawat taman di seberang apato. Kilaumu membutakan mataku. Malam menjadi teramat panjang. Dan terik siang tak lagi menggarang. Hingga kutemukan dirimu menguak gerimbun bunga daphne, peoni, dan lapis lazuli. Menghampiri diriku. Menyodorkan tabung minumanmu.
“Matahari terlampau terik, Miyamoto-san,” tuturmu dengan bahasa Jepang patah-patah. “Kenapa kau masih bertahan? Kulihat, kadang kau bekerja hingga sore menjelang.”
Tanpa canggung, aku merebut dan mereguk tabung minuman yang kausodorkan.
“Anoo!” serumu. Kaget dan kesal. “Kau belum menjawab pertanyaanku.”
“Apa kau tidak perhatikan?” dengusku sinis. “Aku merawat taman ini, sepanjang waktu, lebih dari seminggu, agar aku punya alasan untuk memandangmu.” Wajahmu langsung bersemu merah. Hari itu, kau menjadi milikku. Tanpamu, aku hanyalah boneka washi hampa jiwa.
Wajahmu mengingatkanku pada foto diri Yukio Mishima yang dimuat di majalah ketika Kamen no Kokuhaku—novel yang mampu meniup lepas topengku. Wajah yang selalu membuatku resah. Hingga damba menjelma nyata ketika cahaya purnama jatuh di kolam taman apato.
Kabut malam membuatmu terlihat melayang bagai selembar daun rapuh berwarna hijau pucat yang dipermainkan angin musim semi. Mulanya, aku hanya tertarik pada kecipak kakimu, menciptakan riak lembut, membuat pantulan bulan menghilang di permukaan kolam. Lalu, fokus mataku merayapi betismu yang berbulu tipis. Ada dahaga yang manggil tiba-tiba. Tubuhku bergetar. Gamang. Tak ubahnya putik cemara yang menggigil dijentik tetesan embun. Ketika tatapan mataku bertengger di paras wajahmu, kusadari, semua kilau purnama telah jatuh di bening matamu.
Aku terjatuh dalam terangmu. Kau menjawab desahku dengan gairah. Menuntun diriku menemukan lentera dalam semesta abu-abu. Di antara hangat gairah, kau mendesahkan haiku, membakar geloraku yang telah bara.
malam hanami
samurai mengecup yoro
meniti nirwana
Segalaku tumpah di padang sakura yang seketika bermekaran dalam misteri tubuhmu. Kau untuh untukku, meski kutahu, dari farfum beraroma lavender yang melekat di tubuhmu, kutemukan jejak lelaki asing yang telah mendahuluiku.
“Siapa?”
“Pamanku,” jawabmu pahit. Matamu berkaca-kaca. “Dia yang memintaku pada keluargaku. Menyekolahkanku di Negeri Sakura ini. Agar aku memiliki masa depan secerah matahari terbit. Tak kuduga, ada sekuntum racun tersembunyi dibalik janji palsunya, dan aku harus membayar terlalu mahal.”
“Gomennasai,” bisikku sambil melumat bibirmu. Berharap didihku melepuhkan pilu yang melibat hatimu bagai benalu.
Kutahu, pamanmu tengah menjalani tugas belajar di Sekolah Pascasarjana Kajian Wilayah Asia dan Afrika Universitas Kyoto. Ia pintar sekali menaklukkan hati anak-anak. Dan selalu menjadi buah bibir kedua adikku. Bagaimana mungkin pria manis itu berhati iblis?
Sejak purnama jatuh di kolam taman apato, dahaga seribu gurun yang mengendap dalam jiwaku, kau tuntaskan. Kita menyatu setiap bertemu. Di futon pamanmu; meja kayu yang baru dibuat ayahku, minshuku di kaki gunung Kamakura; pemakaman Adashino; hutan bambu Kuil Gion; hingga hotel di puncak Eroshima.
Tentunya, apato-ku di Fuchu, Tokyo, yang digunungi buku, menjadi tempat yang paling hangat. Kau yang mencintai buku; selalu tenggelam di tatami dengan setumpuk koleksiku. Erotic art of Gekko Hayashi, Genji Monogatari, dan The love of the Samurai menjadi pematik titik api di tubuhmu. Waktu tiga puluh menit membaca sanggup mengubah dirimu menjadi yoro yang jatuh cinta pada ronin. Aku memasukimu dari senja hingga gelap menjelma terang.
Bersamamu, aku merasa memiliki semua cahaya. Aku pun membagi impianku di masa depan. Usai meraih gelar sarjana jurusan Teknik Sistem Ekologi Daerah dari Universitas Pertanian dan Teknologi Tokyo, aku akan memperluas sayap perusahaan keluargaku ke seluruh penjuru Asia, khususnya Indonesia. Membelikan orangtuamu rumah di Semarang. Meski ayahmu veteran 1945, ia hanya dianugerahi bintang jasa yang takkan mampu mencegah gubukmu berguncang ketika hujan badai menerjang. Membantu menyekolahkan adik-adikmu. Melihat dirimu mengabdi pada negerimu, membela bangsamu.
“Kenapa kau mau berkorban untukku?” tanyamu di kolam taman apato; sambil mengecup tato—sumpah samurai dengan huruf hiragana—di paha kiriku; pada malam puncak hanami di Kyoto. Beberapa kuntum sakura gugur di atas tubuh.
“Aku ingin membayar hutang perang yang diwariskan ayahku?” tuturku sambil membelaimu. “Ayahku juga veteran Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Tidak menutup kemungkinan, ayahku turut menghancurkan kampung halamanmu.”
“Kau tidak perlu dibebani masa lalu,” tuturmu. “Itu sejarah yang tak bisa kita hindari. Kita hanya memetiknya, sebagai pengalaman yang tidak pantas diulangi.”
Tutur bijakmu mengangkat batu besar yang menindih hatiku. Kita meniti nirwana hingga lonceng doa pagi dari kuil berdentang.
Sungguh, tak kuduga, esok harinya, menjelang senja, kudengar ketukan kasar di daun pintu rumahku, disusul jerit histeris ibuku. Dengan tergesa, aku meraih kimono, menyelimuti tubuhku yang masih dalam keadaan isi, tanpa mengikatnya dengan obi. Kulihat dirimu memegang sebilah pedang samurai yang diluluri darah kental. Kedua adik laki-lakiku menangis parau di balik punggungmu.
“Pamanku nyaris memperkosa anak Nyonya,” tuturmu dengan ketenangan seribu kuil di pagi buta.
Karena pamanmu orang besar, kau langsung dijebloskan ke Penjara Kyoto. Tak lama setelah beritamu muncul di koran, puluhan orangtua di apato mengumpulkan petisi dan menggugat pengadilan. Berharap, kau dibebaskan.
Beberapa anak laki-laki yang dimangsa pamanmu, bersedia memberikan kesaksian. Sayang, hukum tetaplah milik orang besar. Kolega pamanmu, sesama pemangsa anak laki-laki, membayar sepuluh pengacara Internasional. Langit di ujung semi terasa runtuh di bahuku, saat hakim memutuskan kau dijatuhi penjara seumur hidup.
“Selamat tinggal, Miyamoto-san,” tuturmu usai persidangan. “Carilah laki-laki lain. Kau harus bahagia.”
“Hanya kau yang bisa membuatku bahagia!”
“Arigato gozaimasu,” ujarmu sambil membungkukkan badan, sebelum dua orang keamanan bersenjata menggiringmu serupa domba piara, menjauhiku.
Musim-musim menjadi hampa tanpa dirimu. Puluhan tubuh geisha dan aktor kabuki telah kureguk, tapi tak ada yang mampu menuntaskan dahaga. Aku seolah mencumbu angin. Melalap kenikmatan yang rapuh.
Seperti aliran sungai, waktu tidak pernah mengalir ke belakang. Aku tak bisa berharap masa lalu akan berulang. Banyak kemungkinan yang akan bermekaran. Mungkin kau sudah melupakan diriku. Mungkin pula kau menemukan cinta baru di jeruji penjara. Siapa yang tahu? Tapi, demi para dewa, sengatan mentari musim semi tak pernah bisa menghalau hangatmu.
Saat ini, di bawah rindang sakura, aku menyibak helai-helai lembaran Kojiki. Pakaian biaraku berkibar-kibar di belai angin. Entah mengapa. Semburan aksara kanji pada kitab di pangkuanku selalu berputar, bagai sapuan warna di tangan pelukis shunga, menyatukan kau dan aku, dalam sketsa musim semi.
Catatan:
[1] mankai: bunga yang mekar sempurna;[2] Kojiki: salah satu kitab suci Shinto;
[3] torii: gerbang kuil; [4] apato: apartemen; [5] ano: semacam jeda kalimat; [6] haiku: sajak tradisional Jepang; [7] gomennasai: maafkan; [8] futon: kasur tipis khas Jepang dan bisa dilipat; [9] minshuku: penginapan bergaya Jepang; [10] yaro: semacam gigolo dari aktor kabuki di zaman dulu; [11] ronin: samurai tak bertuan; [12] hiragana: aksara tradisional Jepang; [13] hanami: perayaan melihat (menghayati) mekarnya bunga sakura; [14] obi: sabuk kimono; [15] arigato gozaimasu: terimakasih; [16] geisha: seniman perempuan yang menghibur dengan tarian, nyanyian, percakapan, pembacaan syair, serta melayani makanan dan minuman; [17] kabuki: kesenian Jepang yang merupakan perpaduan tari dan drama. [18] tatami : tikar khas Jepang; [19] sinchi: kolam di halaman kuil; [20] Shunga adalah karya seni lukis erotis bergaya ukiyo-e. Menampilkan adegan percintaan. Di lain sisi, secara harfiah shunga berarti “gambar musim semi”, sedangkan “musim semi” dalam khasanah bahasa Jepang merupakan eufemisme dari seks.
*Sulfiza Ariska, Penulis cerpen pemenang penghargaan dalam festival sastra Internasional Ubud Writers and Readers Festival ke-11 di Bali. Tahun 2012 memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta.