Search
Close this search box.

[CERPEN]: ORGANMU ORGANKU

ORGANMU ORGANKU
Oleh: Kupret el-Kazhiem*

Suarakita.org- Jenis kelamin Tuhan apa ya? Masa sih Tuhan bergender? Apakah Tuhan jantan dan betina sekaligus? Kalau iya, ada jeda waktu untuknya bertransisi dari jantan ke betina, pun sebaliknya. Atau jangan-jangan, malah berkelamin ganda sehingga butuh dioperasi agar hanya memiliki satu jenis saja. Baiklah, barangkali dia hanya sosok androgini. Kadang ada pria bersemayam di jiwanya, kadang pula perempuan. Lucu sekali bila Tuhan berkepribadian ganda, tapi logis juga. Mungkin ketika bumi dilanda peperangan maka kejantanannya membara, dan ketika manusia didera lapar berkepanjangan maka dia mengharu biru bak perempuan. Tetapi mengapa perempuan yang melulu gampang menangis, sedangkan pria menjadi si gagah perkasa yang pantang melelehkan air mata? Bukankah itu cuma label yang sekian lama disematkan oleh kita? Ibarat pasang-memasang gambar di buku Taman Kanak-kanak. Lantas apa? Bisa saja dia cuma si queer yang masih bingung memutuskan mau jadi pria atau perempuan?

Lagi-lagi nasibku mirip orang-orang yang mulai mempertanyakan Tuhan, selalu saja dihadapkan oleh tembok-tembok pertanyaan. Ya. Mengapa pilihannya cuma laki-laki dan perempuan? Andai saja ada yang lain. Sangat membingungkan kalau ada dua, seperti masyarakat yang pusing mau menentukan pemimpin mereka ketika kandidat dalam pemilu hanya diikuti dua kubu. Butuh pilihan alternatif. Begitu juga dengan jenis kelamin. Ah, tapi bagaimana yang jenis alternatif mau ada, toh alat kelamin disediakan dua saja? Oh, tapi bukankah dia tidak beranak dan diperanakkan? Berarti mustahil memiliki alat kelamin. Namun anehnya, dia yang tak berkelamin bisa menciptakan manusia dengan kelamin. Kemudian menasihati orang-orang supaya jangan main-main dengan kelamin. Gara-gara Tuhan tidak berkelamin, lantas imajinasinya tentang bentuk kelamin hanya sepasang? Lagian dari mana imajinasi itu datang, atau kepada siapa dia menyontek?

Jawaban yang kutahu biasanya amat klise; manusia adalah karya cinta Tuhan, citra dirinya yang agung. Namun nahas, sang mahacinta enggan mendengar doa dari cinta yang terlarang. Aku tidak peduli dia seperti itu, tapi banyak orang ketularan dirinya. Bukan semata enggan, bahkan jijik dan murka, tak terkecuali orangtuaku. Mereka tidak sanggup menerima jalan cintaku. Mereka bilang tidak normal.

Hukuman pertama kuterima dari ayah ketika sedang menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi. Badanku dibalur bekas sabetan rotan. Aku menangis, tapi bukan menangisi apa yang telah kuperbuat, melainkan karena sakit yang luar biasa. Aku tidak bisa menyangkal kecantikan Intan, teman sekolah sekaligus tetanggaku. Aku tidak bisa mengelak karena memang kenyataannya begitu. Semua terjadi tiba-tiba, aku terpukau dan hasratku berdesir. Sebuah perasaan susah dilukiskan yang kuanggap sebagai ‘cinta’ mengalir dalam darah. Ketika kami hanya berduaan selagi duduk di taman dekat tempat bimbel, aku kelepasan menyentuh pundak dan merangkulnya. Kemudian mendaratkan kecupan di rekah bibirnya. Kusadari Intan terkejut setengah mati, tapi dia langsung berlari meninggalkanku. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana kutahan perasaan suka padanya sejak kelas dua SMU. Kontan Pak Braja berang dan mendatangi ayah. Rupanya Intan telah mengadu. Mereka menuduhku telah melecehkannya. Tanpa ba-bi-bu, ayah menghardikku. Dia juga memarahi ibu yang dianggapnya tidak becus mendidikku.

Ayah termasuk orang berpengaruh di kompleks perumahan, dia memimpin kepengurusan masjid. Gara-gara kejadian itu, dia mundur dari kegiatannya lantaran merasa malu akibat rumor tentangku. Sejak itu, setiap kali sehabis beribadah, dia buru-buru pergi. Kuakui itu adalah kesalahanku. Namun, aku tidak rela dikatakan anak salah didik. Ibu menasihatiku bahwa, kelak perempuan akan menjadi ibu. Semua perempuan mendambakan fase hamil dan melahirkan, dan semua itu cuma bisa terjadi ketika aku melewati jenjang pernikahan dengan seorang laki-laki. Aku ingin protes pada ibu yang telah sekian tahun membesarkanku sebagai perempuan. Mengapa cinta harus dibatasi. Bukankah cinta itu membebaskan. Aku berhak merasakan cinta, dan jika ternyata kepada sesama perempuanlah cintaku berlabuh, tidak masalah bagiku.

Namun ibu lebih dulu membenamkanku dengan dogma. Masih kuingat ucapannya, “Perempuan membutuhkan laki-laki sebagai imamnya.”

Saat itu hatiku langsung berharap agar ada perguruan tinggi negeri di daerah lain yang membuatku pergi. Toh mereka tidak akan kesepian karena masih ada dua adikku yang akan merawat dan menjaga hingga lanjut usia. Tapi tidak ada universitas yang mau menerimaku, alias ujian perguruan tinggi negeri tidak meluluskanku. Walhasil ayah memasukkanku di swasta yang tidak jauh dari rumah. Alasannya supaya bisa mengontrolku.

“Mempunyai anak perempuan itu lebih sulit dari anak laki-laki. Harus dijaga terus, meleng sedikit bisa salah jalan.” kata ayahku setiap kali kedatangan tamu. Pembicaraannya selalu dibawa ke persoalan keluarga, dan kata-kata itu tak pernah luput dia ulangi.

Para lelaki memang gemar mengonsepsikan apa pun. Di genggaman mereka keteraturan dipenjara, dan semua perangkat diciptakan untuk mengekang perempuan. Bahkan, buah-buah pikiran Tuhan yang menjadi firman telah kerasukan laki-laki berabad lamanya. Siapa lagi yang menjadi kayu bakar neraka paling banyak kalau bukan perempuan? Tapi perempuan pula yang akan ditempatkan di surga sebagai pelayan nafsu laki-laki. Gila! Ini sih standar ganda yang dijadikan iming-iming agar perempuan selalu taat pada aturan mereka. Kepalaku mendidih mendengarnya.

Tiba masaku masuk dunia kampus. Tidak ada bedanya dengan sekolah jika kuliah cuma pagi dan pulang sore. Lantas kuikuti kegiatan kemahasiswaan. Di situ aku merasa lebih bebas. Padahal, ada kekhawatiran kuat bila ayah mengetahui tentang kesertaanku menjadi relawan di komunitas yang mendukung kesetaraan dan penerimaan luas masyarakat terhadap LGBT. Tugasku beraneka ragam tergantung jenis kegiatan apa yang akan diselenggarakan. Saat itu mataku menangkap sosok perempuan bercelana jeans lusuh yang notabene kutahu dia seniorku. Setiap ada acara diskusi di markas besar, sebuah kontrakan sederhana untuk mahasiswa, dia tidak banyak bicara. Sementara yang lain sibuk berargumen. Suatu hari dia menyapaku. Kami berkenalan. Dia ingin dipanggil Andre tanpa embel-embel kakak, mbak, atau yang lain.

Setelah hari itu, kami bertemu lagi di kantin. Tadinya aku sungkan menyapa, tapi Andre tampak duduk sendirian. Telinganya sedang asyik dijejali musik. Langsung saja kursi di depannya kuhuni.

“Hai.” sapaku.

Dia menurunkan salah satu penyuara kupingnya dan menatapku datar.

“Maaf mengganggu.” ujarku yang tiba-tiba disergap kecanggungan.

“Baru makan?”

“Agak telat. Lagian nggak ada dosennya juga.”

“Jurusan apa?”

“Biologi.”

“Kakak, eh, kamu?”

“Sospol.”

“Nggak ada kuliah?”

“Sebenarnya sudah tinggal skripsi doang, tapi malas kalau di kos terus.”

“Hebat, sebentar lagi wisuda.”

“Wisuda itu sama saja pelantikan para pengangguran. Jadi, apa hebatnya?”

Aku diam sembari pamer cengiran.

“Kok sendirian? Nggak bareng teman-teman?”

“Siapa?” selidikku.

“Anak baru kan biasanya lagi getol cari jati diri dan pertemanan. Hobi nongkrong dan bikin geng.”

Kontan aku terbahak dan dia tersenyum. Jujur saja amat memikat. Namun, kucoba menebak apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Mungkin di matanya, aku adalah gadis lugu dengan mata bulat berbingkai kacamata hitam. Rahangku besar sehingga daguku jauh dari runcing. Kulitku tidak seperti bunyi iklan di televisi yang mengandalkan kecantikan dengan satu kata: putih.

“Ada apa?” tanyanya mengejutkanku. “Kok melamun?”

Kepalaku langsung menunduk lantaran kepergok bulat-bulat.

“Ah, nggak.”

Kemudian Andre pamit meninggalkanku. “Aku duluan ya. Ada sedikit urusan di bagian keuangan. Mau ke atas dulu. Sampai ketemu di akhir pekan.”

Susah payah aku berkelit lidah di depan ayahku agar diizinkan mengikuti kegiatan aksi damai itu. Kupakai alasan yang paling ampuh, yaitu acara halaqah mahasiswi di masjid kampus. Hampir saja aku melompat kegirangan, tapi kutahan sampai kaki benar-benar sampai di lokasi pertemuan.

Wajah-wajah berseliweran saat rombongan kami beraksi. Ada pula yang bergeming penuh perhatian, atau sekadar melengos. Semua tampak jernih di hadapanku, dari cibiran hingga menertawakan. Aku berutang terima kasih kepada mereka atas momen pribadi yang patut kuabadikan. Kegembiraanku hanyut oleh yel-yel. Kuhirup sejuknya pagi. Langkahku semakin ringan. Detas demi detas menjadi dentang. Hanya hasrat dan rasaku yang menyembul kian tak terbendung. Tepat di saat mataku menemukan pandangannya. Kulihat perempuan berparas ayu dan bertubuh sintal. Rambut legamnya diurai angin dan menggodaku untuk memiliki.

“Andre.” bisikku. Tanpa ragu aku menghampirinya.

“Hai.” sapanya.

“Seru ya.” sahutku.

“Iya, tapi banyak yang tersinggung. Pada melipir pergi takut disangka ikutan.”

“Harga diri hetero terlanjur tinggi sampai sulit ditandingi.”

“Untung kita masih sama-sama homo sapien.”

“Kasihan banget dong yang sudah erektus dari tadi.”

“Ha ha ha ….” tawanya pecah cekikikan.

Beragam reaksi yang datang tidaklah mengherankanku. Daripada lantang berkoar untuk saling menghargai cara hidup masing-masing insan, tapi di dalam diri hanya priyayi-priyayi tumpul tak bernyali. Untuk sebuah aksi nyata, kenapa tidak?

“Kenapa wajahmu tampak murung?” tanya Andre saat kami berjalan pulang.

“Aku tidak bisa menumpahkan segala yang menyesakkan dada ketika di rumah.”

“Kadang kita sering melindungi tempurung kepala dengan banyak aksesoris, termasuk rambut, agar sebuah organ di dalamnya tetap tenang. Organ yang hanya berpikir tiga hal; seks, seks, dan seks. Memangnya salah? Padahal, perempuan atau laki-laki sama saja. Tapi mengapa sesuatu yang alamiah itu dicap najis?”

“Ya. Aku paham.”

“Terima kasih.”

“Kamu tahu nggak …,”

Kalimatku mandek ketika Andre langsung menatapku serius. Tapi mata itu justru mendorongku bicara tanpa ragu.

“Aku menganggap sebagai ironi jika disebut najis, apalagi kerap dipadankan dengan hawa nafsu. Istilah itu sangat ambigu karena tubuh kita sendiri yang memilikinya. Lalu orang-orang hanya membicarakan tentang cara berpakaian yang keperempuanan atau kelelakian? Apa kaitannya coba antara dandanan dan orientasi seksual?

Namun apa daya, kemudian kita berkilah raga ini milik Tuhan dan cuma dia satu-satunya yang berhak mengotak-atik. Andaipun benar begitu, setiap orang berhak menghiasi badan yang mereka tempati semau mereka. Sementara Tuhan justru gagal jadi juru rias gara-gara mengandalkan penyeragaman untuk model laki-laki dan perempuan. Parah sekali seleranya.”

Andre kembali tertawa. Kali ini aku agak tersinggung karena dia sedang menertawaiku. Tapi dia sanggup mencairkan suasana batinku dengan tawaran yang tidak mungkin kutolak.

“Bagaimana kalau kamu ke kosanku?”

Ada rasa aman yang perlahan merebak saat aku memasuki pintu kamarnya.

“Memangnya ayahmu bagaimana?”

“Apa?”

“Kan kamu sendiri yang mengeluhkan keadaan di rumah. Tersangka utamanya mengarah ke sosok orangtua lelaki.”

“Kayaknya jurusan psikologi lebih tepat buatmu deh.”

“Ha ha ha, maaf, aku cuma menebak.”

“Ayahku mengondisikan keluarga sebagai perusahaan. Mungkin karena beliau adalah seorang pengusaha, makanya tidak bisa membedakan yang mana keluarga, yang mana lahan kerja. Dia mencengkeram anak-anaknya dengan kungkungan harta dan kesenangan. Dia adalah satu orang hebat yang harus dibutuhkan oleh orang lain disekitarnya. Yang terpenting bagi ayah, semua anggota keluarga harus mendengarkan kata-katanya dan patuh pada perintahnya. Lalu untuk menjalankan semua itu, beliau gunakan uang serta kekerasan. Uang sebagai tali kekang sedangkan kekerasan adalah cambuknya.”

“Astaga, apa yang dilakukannya padamu?” Andre mengambil posisi duduk tepat di sampingku yang tengah berbaring mengistirahatkan lelah atas sikap ayah. Bibirku spontan mengalirkan kisah tentang hukuman yang dia berikan atas perbuatanku kepada Intan.

“Jujur saja aku ingin menertawai ayahmu. Tingkahnya sungguh menggelikan dan–”

“Menjijikkan?!”

“Ya. Maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti.”

“Alangkah indahnya bumi ini kalau setiap orang mau saling mengerti dan menghargai satu sama lain. Naif ya?”

“Bukan, tapi polos.”

Giliranku yang melebarkan tawa.

“Itu jujur. Kamu polos,” ucapnya seraya menyentuhkan telapak tangan di pipiku. “Tapi sangat bersemangat menghadapi risiko apa pun. Untungnya ada bakat penasaran dalam dirimu yang rindu akan pencarian.”
Dia mengusap lembut wajahku. Kurasakan jemarinya seperti cawan api hendak melalap taman surgaku.

“Aku senang bisa mengenalmu.”

“Aku … juga.” dibuatnya lidahku kelu nan gagap oleh belaian di kening dan rambut.

“Kamu ngapain?” tegurku. Namun, aku pun menunggu.

“Nggak. Dagumu memang lebar.”

“Terus?”

Sebuah kecupan di bibir menyentakku.

“Aku menyukainya.” ungkapnya sementara sistem limbikku masih tersihir oleh sengatan mendadak itu. Lamat-lamat mantranya merembes ke area hipotalamus, bahkan membanjiri amigdalaku. Bisa jadi punyaku sengaja diciptakan Tuhan tidak simetris. Dunia pun tiba-tiba hening.

“Lakukan lagi.” sahutku getir. Bibirmu mulai berbicara di bibirku secara perlahan. Di antara kepedihan dan kenangan, cinta pun hadir sendiri tanpa harus kuminta Tuhan merestui. Aku berserah diri merangkul erat. Disusupi aroma tubuhmu yang kuhirup, dan cumbu yang tak putus itu mengantarkan jerit namamu.

Tiga bulan berlalu cepat bila hidup dihiasi cinta. Namun, sehari pun terasa lambat ketika dirundung sepi. Hari ini tiada kabar darinya. Kamar kosannya dikunci. Resah merisak hati. Aku panik. Jawaban dari pemilik kosan, dia pulang ke kampung halaman karena ada urusan penting menyangkut keluarga. Lantas mengapa dia tidak menelepon atau mengirimi pesan? Bahkan akun jejaring sosialnya tak lagi aktif. Kucoba menghubungi semua aplikasi komunikasi di telepon genggamnya. Sama saja nihil hasil. Aku tidak bisa menerima kenyataan dadakan ini. Apakah Andre benar-benar mencampakkanku?

Jelang akhir tahun, gelaran wisuda dilaksanakan. Kendaraan tamu dan undangan memenuhi parkiran. Tapi ajang ini bukan untukku. Entah berapa lama lagi. Sejak Andre memudar dari kisahku, semangatku ikut raib. Tak ubahnya zombie yang melahap pagi dan sembunyi di senja hari. Ingar-bingar manusia tidak menggubrisku. Yang kuinginkan adalah mencari namanya di papan pengumuman. Siapa tahu dia ada di sana sebagai calon sarjana. Aku berharap harapan itu masih ada. Sayangnya, aku tidak berdaya menerobos kerumunan orang yang memenuhi teras auditorium. Siapa mereka? Para mahasiswa yang berharap mendapat motivasi agar cepat lulus dengan melihat daftar kelulusan?

Aku menunggu sembari memerhatikan karangan bunga dibagi-bagi. Cinderamata berpindah tangan. Mata lensa menari-nari. Pemandangan ini tak kunjung menghiburku. Yang kucari hanya dirinya. Apakah setelah acara ini kami benar-benar berpisah. Hatiku menuntut kejelasan.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Pelan. Aku sangat akrab dengan aroma parfum itu. Tidak terlalu menyengat, tapi khas. Aku menoleh dan melihatnya dengan kebaya bermantel toga. Andre. Mataku deras berlinang. Kuhamburkan diri di pelukannya.

“Mengapa kamu pergi begitu saja?” tanyaku di sela isak.

“Maafkan aku. Maaf” katanya parau seraya mengusap punggungku.

“Andrea.”

Terdengar suara berat memanggilnya. Aku melihat sosok lelaki itu. Perawakannya tinggi. Matanya teduh juga dalam.

“Iya, Mas.”

Mengapa dia menyebutnya Mas. Siapa dia?

Sejenak Andre menatapku, lalu berpaling ke lelaki itu. “Kenalkan ini sahabatku, Kinan.”

“Gilang.” katanya menyodorkan tangan. Aku gemetar menjabatnya.

“Masuk yuk. Ayah-Ibu sudah di dalam.” kata lelaki itu.

Andre menatapku lagi dan tangannya menggamit jemariku. “Aku ke dalam dulu ya.”

Aku tidak ingin dia meninggalkanku lagi, tapi percuma saja aku menolak. Mereka berdua perlahan lenyap dari sudut mataku. Keruan tubuhku nyaris ambruk. Namun, aku masih sanggup menjauh dari tempat ini. Pandanganku tertunduk. Secarik surat yang dia berikan tadi masih dalam genggamanku.

Buru-buru aku pulang ke rumah.

Maafkan aku, Kinan.

Aku mendadak meninggalkanmu karena mendapat kabar ibuku sakit keras. Tapi bukan seperti itu kejadiannya. Ternyata mereka telah menyiapkan segalanya. Aku tidak berdaya. Mereka memintaku segera menikah. Bahkan memaksa. Perempuan seusiaku tidak baik jika masih sendiri. Bisa terjerumus dosa. Begitulah alasan mereka. Aku tidak mengenal siapa lelaki yang bersanding denganku, yang tiap malam memerkosaku. Yang kutahu dia bernama suami. Apa pun itu ternyata membuat jiwaku sekarat.

Jujur aku takut bertemu denganmu. Kamu pasti jauh lebih sakit menerima kenyataan ini. Aku mengejar tugas akhirku agar cepat lulus. Dengan begitu kita tidak lagi bertemu. Tapi aku sadar kalau aku cuma membohongi dirimu. Kinan, aku kangen kamu.

Ada jiwa yang mati di dalam lingkaran. Beranikah kita melintasinya? Tidak. Ada persinggungan yang menakutkan antara lingkaran dan lingkaran. Menahan kematian terus mengedar. Bilakah waktu akan sembuhkan? Meski cuma realitas semu. Hidup terus berlanjut sesakit apa pun itu. Sekali lagi, maafkan aku.

Air mataku kembali membanjir. Aku tidak percaya jika inilah akhir. Dirimu lenyap di arus manusia. Aku tak ingin merasa berpisah. Musim-musimku adalah kamu, yang siap kudatangi di antara adat kosmopolitan. Kenangan terindah dalam pelukan cinta selagi dirimu di pelukan malam yang jenuh. Kumohon jangan hapuskan aku.

07/04/2015

*Kupret el-Kazhiem, penulis cerita pendek

Glosarium
-Hipotalamus: Hipotalamus merupakan bagian kecil tapi penting dari otak. Ini berisi beberapa inti yang kecil dengan berbagai fungsi. Itu memainkan peran penting dalam sistem saraf serta sistem endokrin. Yang terhubung ke kelenjar kecil dan penting lain disebut kelenjar hipofisis.

-Sistem Limbik: Disebut pula otak Paleomammalian, yaitu satu set struktur otak termasuk hipokampus, amigdala, nukleus thalamic anterior, septum, korteks limbik dan forniks, yang mendukung berbagai fungsi termasuk emosi, perilaku, memori jangka panjang, dan penciuman.

-Amigdala: Salah satu bagian dari otak yang mengolah rasa takut, senang, cinta dan bersahabat. Termasuk ketika seseorang mengalami kondisi terangsang, amigdala menginstruksikan organ kelamin untuk bereaksi, seperti penis yang ereksi sekaligus mendorong menusia harus menyalurkan hasrat seksual mereka.

Bagikan