Oleh : Aimee Vanne*
Suarakita.org- Pagi ini terasa dingin sekali. Tidak seperti biasanya. Matahari juga belum menunjukan seluruh wajahnya. Hanya sedikit cahaya yang sekilas menerangi langkahku. Mungkin Matahari memberikan waktu.
Kupercepat langkahku. Walau urat-urat kaki serasa mau putus, karena hak sepatu yang bertinggi 25 cm ini, sungguh menyiksa tapi seakan tak terasa lagi. Ini memang rutinitas setiap pagi pulang ‘kerja’. Terlalu muluk kusebut ‘kerja’.
Ya, ini memang pekerjaanku, menjual diri atau lebih sering disebut ‘nyebong’.
Tak usah dipertanyakan! Akan kuceritakan semua.
Aku seorang waria. Namaku Isabella, nama yang kuciptakan sendiri, karena mustahil kupakai nama pemberian orangtuaku. Mana mungkin aku nyebong dengan nama Mukhsin. selain jadi bahan tertawaan, nama itu juga tidak komersil di kalangan waria.
Aku terlahir dalam keluarga miskin dengan dua orang saudara. Adikku yang pertama Marni, berusia 14 tahun dan si kecil Murni masih berumur 7 tahun. Mereka berdua menjadi tanggung jawabku setelah ayah yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan wafat 4 tahun lalu. Sedangkan ibu yang sakit-sakitan bekerja serabutan, kadang-kadang menjadi tukang cuci di rumah tetangga. Sungguh prihatin nasib keluargaku.
Aku sendiri tahun ini genap berusia 17 tahun. Usia yang seharusnya masih dalam bangku sekolah. Kuputuskan berhenti sekolah saat duduk dikelas 2 SMP, selain karena tidak ada biaya, aku lebih merelakan Marni untuk terus bersekolah. Sedangkan Murni si bungsu belum menginjak lingkungan sekolah padahal umurnya telah cukup untuk itu. Entahlah kapan dia bisa sekolah.
Azan subuh berkumandang. Kupercepat langkahku, tinggal sedikit lagi sampai dirumah. Aku tak mau kepulanganku disambut warga yang akan sholat subuh ke masjid. Aku malu berpapasan dengan mereka. Aku pernah dicibir karena itu dan lonte kesiangan jadi sebutanku. Aku berjanji tak mau terulang lagi.
Akhirnya sampai juga. Cepat-cepat kubuka pagar bambu yang telah reot dengan pelan-pelan kututup agar bunyinya tak terdengar kuat. Kubuka pintu dan masuk. Ibu dan Murni masih tidur. Sedangkan Marni sedang sholat di ruang tamu. Aku bangga padanya, walau masih kecil sholat lima waktu tak pernah ditinggalkan. Aku masuk dalam kamarku yang sumpek, hanya berukuran 2×3 meter. Rumah kami sangat kecil, hanya mempunyai dua ruangan. Satu ruang tamu yang hanya berisi perabotan seadanya. Sedangkan ruang kamar disekat menjadi dua ruang untuk berbagi. Tak mengapa yang penting kami bisa tidur dengan nyenyak.
Kucopot rambut palsu berwarna coklat kemerahan, baju seksi dan beha yang isinya sumpalan kaos kaki, berganti kaos oblong dan celana pendek. Segera kuhapus dandanan menor. Dalam hitungan menit aku telah berganti sosok dari Isabella kembali menjadi Muksin.
“Kak, sudah pulang?” Marni dengan masih mengenakan mukena menghampiriku.
“Kak…”, suara Murni terdengar berat untuk melanjutkan kata, atau tak tega. Sudah dari minggu lalu dia mendapat peringatan untuk segera melunaskan uang sekolah tapi aku belum memberikan uang padanya.
“Kamu ditagih uang sekolah lagi ya?” tanyaku.
“Iya Kak, cuma tinggal Marni yang belum lunas,malu aku Kak…”, suaranya lirih.
Kuambil tas yang tadi kupakai,tas tangan wanita full dengan payet. Untung tadi aku dapat dua orang tamu.
Tamu yang pertama seorang pemuda berusia 25-an, setengah mabuk. Mungkin baru pulang dari klub malam. Ketika mobilnya lewat aku sedang berdiri di ‘lobby’, hahaha… itu sebutanku buat tempat mangkalku di emperan toko.
“Hai cantik… kosong ya?” Sapanya genit. Kuhampiri mobilnya.
“Iya, mau bayar berapa?” Tanyaku langsung, malas basa-basi.
“Aku cuma punya uang 100 ribu, dah habis tadi pake minum… boleh gak?”
Hmm…, pikirku tidak mengapalah, hitung-hitung buat pelaris daripada nanti disabet waria yang lain. “Ok deh, tapi jangan lama-lama ya, lagi kejar setoran nih”, kataku sambil naik ke mobilnya.
Dalam mobilnya tercium aroma pengharum bercampur alkohol berbaur. Ada sebotol minuman keras di samping jok mobilnya.
“Mau minum ?” tanyanya menggoda.
“Gak, makasih… takut mabuk”, tolakku.
“Hahaha… kalo mabuk pasti tambah cantik, aku Simon, nama kamu siapa?”
“Isabella”, jawabku.
“Wow! Nama yang cantik, kayak orangnya”, katanya sambil tertawa dan menyanyikan lirik lagu isabella yang pernah ngetop dulu di tahun 90-an.
Agak jengkel juga lihat tingkahnya tapi aku hanya diam. Mobil terus melaju dan berhenti di pinggir jalan sepi. Kubuka tasku dan mengambil kondom yang memang selalu menjadi alat kerjaku. Simon juga tidak tinggal diam. Secepat kilat dia membuka celananya. “Pindah ke belakang yuk… lebih santai”, katanya sambil lompat ke jok belakang.
Aku pun mengikutinya. Dan akupun segera menjalankan pekerjaanku. Tak sampai 20 menit aku selesai bekerja. Simon kelihatan puas melampiaskan nafsunya. “Wow! Kamu hebat cantik… aku puas banget”, suaranya sedikit terengah-engah.
Aku hanya tersenyum sambil merapikan rambut palsu yang agak berantakan. Mobil kembali melaju balik mengantarku kembali ke lobby. Sebelum turun Simon menyelesaikan transaksi atas kerjaku tadi.
“Ok cantik… Sampe ketemu lagi ya… bye“, sambil mencubit pipiku.
“Ok bye…”
Aku turun dan mobil kembali melaju pergi. Kurapikan pakaianku, kembali memoles wajah dan menambah gincu merah merona. Dan kembali berdiri di tempatku semula.
“Kak…”
Aku tersentak. Marni keliatan bingung melihatku melamun.
“Ini uang buat lunasin uang sekolah, sisanya buat kamu jajan”.
Uang pemberian Simon kini berganti tangan. Marni keliatan begitu senang, sambil memelukku. Pelukan hangat seorang adik yang membuat aku kuat menjalani hidup ini.
“Terima kasih Kak”, katanya senang.
“Iya…, sana siap-siap ke sekolah, ntar terlambat.”
“Iya Kak”, Marni pun berlalu. Kasihan dia harus berangkat ke sekolah pagi sekali karena harus berjalan kaki.
Terdengar suara batuk dari ruang sebelah. Ibu sudah bangun rupanya. Pasti ibu masih sakit karena kemaren asma ibu kambuh lagi. Kasihan ibu. Seandainya ayah masih ada… akh, sudahlah. Hidup harus terus berjalan, tidak harus mengeluh. Kulihat dalam tas masih ada uang 300-ribu. Uang dari tamu kedua semalam. Uang dari seorang pria separuh baya yang kutemui ketika lagi ‘break’ jam kerja.
Waktu itu aku bersama Bonita,waria setengah tua lagi asyik ngobrol di warung kecil di tempat mangkal. Bonita adalah rekan kerjaku. Walau usianya sudah 40an tapi masih tampak cantik dengan wajah mirip artis dangdut Rita Sugiarto. Body-nya juga sempurna bahenol karena suntikan silikon di bagian payudara dan bokong. Orangnya ramah banyak cerita lucu kalau ngobrol dengannya.
“Bella…, sutra laksamana yei, bala-bala dong”, (sudah laku kamu,bagi-bagi dong) canda Bonita genit.
“Iya mak, ntar eike(aku) jajanin”. Aku memanggil Bonita dengan sebutan mak untuk menghargai dia yang jauh lebih tua dariku.
“Cucok yei (bagus deh), eike belanda laksa (aku belum laku), gara-gara tuh, lekong rumpinawati(laki-laki reseh), udah jelong (jelek), mintanya ngesong gretongan (main gratis). Nit mewes eike cinnnn (gak mau gw ah)”. Selorohnya sambil tertawa-tawa girang.
Tiba-tiba datang mobil Avanza merah mendekat, Bonita segera menghampiri. Tak lama Bonita kembali dengan wajah cemberut. “Deyse mawar yei, tinta mawar akika, binan tualde (dia maunya sama kamu, enggak mau sama gue, banci sudah tua).
Aku segera bergegas berdiri dan menghampiri mobil itu. Terlihat seorang pria separuh baya, agak gemuk dan agak botak.
“Halo Om…”, sapaku genit sambil memainkan rambut. Itu adalah jurus yang kudapat dari Bonita.
“Masuk!” katanya pelan tapi ketus.Tak tunggu diam aku segera masuk. Tak seperti mobil Simon, mobil ini aromanya sangat harum, bau parfum mahal, tidak menyengat. Pria ini dandanannya sangah rapih, kemeja lengan panjang, sepertinya bos dengan arloji mahal dan cincin emas di jari-jarinya.
“Kemana?” Tanyanya ketus.
“Mau main di mobil ato ngamar?” Tanyaku sambil memegang telinganya. Lagi-lagi jurus dari Bonita.
“Ke hotel aja, tau tempatnya?” Katanya sambil mengibaskan tanganku.
“Tau dong…, terus aja, nanti perempatan belok kiri, nanti bangunan ketiga masuk aja”, kataku memberi alamat penginapan melati tempat aku dan waria yang lain chek in.
Mobil melaju pergi meninggalkan lobby, aku lambaikan tangan kepada Bonita. Dia hanya tertawa-tawa kecil.
Sepanjang perjalanan dia hanya terdiam. Tanpa kata-kata. Pandangan hanya ke depan. Sibuk mengemudi.
“Om namanya siapa? Aku Isabella. Nanti mau main kayak gimana?” Tanyaku genit dan mencoba mencairkan suasana. Tapi sia-sia, tanpa respon. Huh! Bikin bete juga deh nih orang.
Tak lama mobil sudah memasuki parkiran, penginapan ini memang dirancang untuk menjaga privasi tamunya, jadi mobil langsung masuk dalam garasi yang terhubung langsung dengan kamar. Mobil berhenti dalam garasi dan langsung ditutup penjaganya. Kami turun dan masuk ke kamar. Tak ada kata-kata dia langsung naik ke ranjang. Sedangkan aku ke kamar mandi dulu untuk rapikan dandananku dan menambah parfum.
Ketika keluar dari kamar mandi aku langsung ikut naik keranjang. siap kerja.
“Om…, main sekarang ?” Tanyaku berbisik.
Dia memelukku erat sampai agak susah bernafas. Pelukannya hangat dan aroma nafasnya wangi permen mint.”Tidak…, Aku hanya perlu teman tidur. Kamu tidur aja sama aku”.
Aku hanya bengong.
Baru kali ini ada yang ngajak aku ngamar tapi tidak bekerja, hanya disuruh tidur. Aku menuruti saja apa yang dimintanya.Tak lama terdengar suara ngorok. Hmm… dia sudah tidur pulas. Tak kusadari aku pun ikut tertidur.
Aku terjaga karena susah bernafas tidur dalam pelukannya. Kulihat jam di dinding. Astaga! hampir subuh. Aku panik karena takut pulang kalo sudah pagi.
“Om…, udah pagi. Aku harus pulang”, kataku merengek sambil mengoyang- goyangkan badannya. Dia terbangun menatapku dan menguap. Dirogohnya dompet di saku celananya dan memberikan kepadaku.
“Ambil aja berapa yang kamu mau”, katanya sambil berpaling kearah dinding melanjutkan tidur. Kubuka dompet astaga begitu tebal dengan isi ratusan lembaran berwarna merah.aku bingung, tapi aku tetap hanya mengambil tiga lembar, sesuai dengan tarifku kalo kerja di hotel. Kuletakan kembali dompetnya dalam genggaman tangannya.
“Om, Aku ambil 300ribu ya, aku udah langsung mo pergi”, kataku singkat dan bergegas pergi. Aku harus cepat-cepat pulang, pikirku.
“Muksin udah pulang nak?” Suara batuk menyertai pertanyaan itu. aku tersentak dari lamunanku dan segera ke ruang sebelah menghampiri ibu yang masih berbaring di tempat tidur sedangkan Murni masih pulas di samping ibu.
“Ibu masih sakit? Obat kemaren masih ada?” Kuraba kening Ibu, masih panas. Kasihan Ibu, badannya juga semakin kurus.
“Udah lumayan, nanti siang Ibu udah mau kerja lagi, beras udah habis nak…”, kata ibu lirih.
“Gak usah kerja dulu, Ibu istirahat aja. Ini ada uang buat beli beras dan obat Ibu”, kataku sambil memberikan uang kerjaku dalam pelukannya.
Ibu hanya terdiam. Matanya berkaca-kaca, entah apa yang ada dalam benaknya. Bahagia atau sedih aku tak tahu.
Aku kembali ke bilikku. Kurebahkan diri menatap langit-langit rumah yang penuh dengan noda bocoran air hujan. Sekali-kali kupandang foto keluarga. Masih lengkap kami berlima; Ayah, Ibu, Aku, Marni dan Murni yang masih dalam gendongan ayah.
Seandainya ayah masih ada, hidup kami tak begini. Aku mungkin masih sekolah. Aku mungkin masih laki-laki. Aku mungkin tak pernah kerja. Aku mungkin tak pernah kenal Bonita. Aku mungkin tak menjelma menjadi Isabella. Banyak mungkin berseliweran dalam benakku. Tapi semua sudah terjadi. Semua sudah aku tapaki. Yang tetap harus aku lakukan adalah terus bertahan hidup untuk Ibu dan kedua adik perempuanku.
Mataku terasa ngantuk, samar-samar mulai buram memasuki alam tidur. Tapi ada satu pertanyaan terlintas dalam benakku.
“Mengapa harus aku…?” Dan aku pun tertidur.
*Penulis adalah alumni Pelatihan Jurnalistik Komunitas LGBT Sulawesi yang diadakan oleh Suara Kita. Saat ini penulis aktif di Ikatan Waria dan Gay Bitung (IWAGABI) di Sulawesi Utara.