Suarakita.org- Banyak binatang yang melakukan tindakan atau aksi homoseksual. Namun apakah memang binatang-binatang ini homoseksual? Mellisa Hegenboom mencoba untuk menjawabnya.
Persaingan sangat ketat terjadi di antara monyet-monyet Jepang saat musim kawin tiba di musim dingin. Tapi bukan karena alasan yang mungkin Anda pikirkan. Kenyataannya monyet jantan tidak hanya bersaing dengan pejantan-pejantan lain untuk mendapatkan monyet betina, tapi mereka juga bersaing dengan monyet-monyet betina untuk mendapatkan pasangan.
Di beberapa populasi, perilaku homoseksual di kalangan betina bukan hal yang aneh, bahkan bisa disebut sebagai norma. “Satu betina menunggangi betina lain, menggosokkan alat kelaminnya … yang lain mengambil posisi seperti joki (yang tengah menunggang kuda),” kata Paul Vasey dari Universitas Lethbridge, di Alberta, Kanada, yang melakukan kajian terhadap perilaku monyet-monyet ini selama 20 tahun.
Di mata kita, perilaku mereka sepertinya sangat mesra, mata kedua binatang saling bertatapan ketika kawin, sesuatu yang tidak mereka lakukan di luar musim kawin. Perpasangan ini bisa berlangsung selama satu pekan.
Ketika sedang tidak kawin, para betina berada dalam kelompok yang sama dan akan membela satu sama lain untuk mencegah pesaing datang menghampiri.
Sudah diketahui sejak lama bahwa ada manusia yang homoseksual dan perilaku itu juga amat biasa di dunia fauna, mulai serangga hingga mamalia. Jadi apa yang terjadi sebenarnya? Bisakah binatang disebut homoseksual?
Selama ini homoseksual pada binatang dianggap sebagai anomali sampai Bruce Bagemihl menerbitkan buku berjudul Biological Exuberance pada 1999. Ia memaparkan banyak contoh yang membuat banyak ilmuwan lain akhirnya mengkaji homoseksualitas pada binatang. Topik ini akhirnya bukan topik sampingan lagi.
Teori evolusi Darwin
Persoalannya adalah hanya beberapa yang secara jelas menunjukkan tindakan homoseksualitas, selebihnya sulit dipastikan karena memang sekilas tak banyak beda antara binatang jantan dan betina.
Selain itu, kalau kita mencermati teori evolusi yang dikemukakan Charles Darwin, maka homoseksualitas pada binatang bukan “tindakan cerdas” bagi mereka untuk bertahan hidup.
Bukankah binatang-binatang ini harus mencari pasangan agar punya keturunan agar spesiesnya bertahan di muka bumi ini? Kalau mereka memutuskan untuk mencari pasangan sejenis, jelas mereka akan punah.
Tapi kenyataan menunjukkan ada binatang yang memang cenderung homoseksual dan ini bukan karena kesalahan -dalam arti terjadi sekali dua kali kemudian selesai- tapi sebuah hal yang biasa terjadi.
Contohnya kera Jepang tadi. “Banyak kera betina yang bermesraan dengan betina lain sementara yang jantan sibuk sendiri … jadi harus ada penjelasan mengapa monyet-monyet betina seperti itu,” kata Vasey.
Tim pimpinan Vasey menemukan bahwa kera-kera betina menggunakan variasi posisi yang jauh lebih banyak dibandingkan kera-kera jantan. Dalam kajian 2006 tim ilmuwan ini mengatakan mungkin saja banyaknya posisi tersebut digunakan untuk memaksimalkan sensasi yang ingin diperoleh. “Dia (kera betina) juga bisa melakukannya dalam konteks hemoseksual sama mudahnya dengan dalam konteks heteroseksual, jadi perilakunya bertebaran,” jelas Vasey.
Jadi Vasey tidak serta-merta menyimpulkan bahwa kera-kera ini homoseksual karena kera-kera betina yang ia teliti juga tertarik secara seksual dengan kera-kera jantan.
Menjaga kelangsungan
Dalam beberapa kasus, ada juga alasan evolusioner yang bisa menjelaskan mengapa binatang melakukan tindakan homoseksual, misalnya lalat buah jantan.
Pada 30 menit pertama dalam kehidupan mereka, mereka akan mencoba kawin dengan lalat-lalat lain, baik jantan maupun betina. Setelah beberapa waktu mereka belajar mengenali bau lalat betina dan setelah itu mereka hanya mau kawin dengan lalat betina.
Ada juga jenis kumbang jantan yang suka menunggangi jantan-jantan lain dan bahkan menempatkan sperma di punggung jantan yang mereka tumpangi. Ketika jantan ini “bermesraan” dengan betina lain, ada kemungkinan sperma tadi masuk ke kumbang betina ini. Jadi, proses pembuahan bisa dilakukan tanpa kontak fisisk secara langsung.
Dalam kasus ini, perilaku homoseksual sebenarnya ditujukan untuk memperbesar kemungkinan membuahi betina. Dengan kata lain perilaku homoseksual untuk mempertahankan kelangsungan keradaan spesies.
Bagaimana dengan burung albatros Laysan yang bertelur di Hawaii?
Biasanya satu pasang albatros “menikah” selamanya. Jantan dan betina akan kawin dan membesarkan anak bersama. Tapi dalam satu populasi di Pulau Oahu, 31% pasangan terdiri atas dua betina.
Keduanya membesarkan anak hasil hubungan dengan jantan lain, yang “diam-diam” sudah punya komitmen dengan betina lain namun secara diam-diam kawin dengan salah satu atau kedua betina itu. Sama seperti pasangan jantan-betina, pasanan betina-betina ini hanya bisa membesarkan satu anak dalam satu musim.
Marlene Zuck dari Universitas Minnesota di Saint Paul, AS, mengatakan pasangan betina-betina ini tak ideal untuk membesarkan anak, tapi jauh lebih baik dibanding membesarkan anak sendirian.
Mungkin betina yang sendirian membesarkan anak akan kesulitan bertahan hidup karena masih harus mencari makanan, selain membesarkan anak. Dan begitu “ikatan” antara pasangan betina-betina ini menguat, maka akan bertahan lama.
Bahkan ada keuntungan lain dari pasangan betina karena mereka telur mereka bisa dibuahi oleh kelompok jantan yang terkuat, dan meneruskan kekuatan itu kepada keturunannya walaupun si jantan kuat tadi sudah berpasangan dengan betina lain.
Tapi lagi-lagi perilaku ini tak bisa disebut sebagai 100% homoseksual karena mayoritas populasi di Pulau Oahu memang betina akibat dari imigrasi.
Jadi, betina tak mudah bisa menemukan jantan yang bisa diajak untuk menjadi pasangan. Kajian pada burung-burung lain menunjukkan pasangan sesama jenis memang akan muncul untuk merespons kurangnya jumlah jantan.
Ada banyak tujuan
Dalam situasi ketika rasio jantan-betina relatif sama, perilaku homseksual lebih jarang muncul. Dengan kata lain, burung albatros Laysan betina tidak akan memilih pasangan betina seandainya bisa menemukan albatros jantan.
Sejauh ini sepertinya tidak ada contoh yang benar-benar mengukuhkan hipotesis bahwa perilaku homoseksual memang ditemukan pada binatang. Selalu ada argumen yang mementahkan hipotesis tersebut.
Satu betina menunggangi betina lain, menggosokkan alat kelaminnya … yang lain mengambil posisi seperti joki (yang tengah menunggang kuda).” Paul Vasey
Bagaimana dengan bonobo?
Satu betina menunggangi betina lain, menggosokkan alat kelaminnya … yang lain mengambil posisi seperti joki (yang tengah menunggang kuda).”
Paul Vasey
Bonobos sering digambarkan sebagai keluarga ‘yang suka seks’. Mereka terlibat dalam kegiatan seks yang banyak -sampai ada julukan ‘jabat tangan bonobo’- dan itu mencakup perilaku homoseksual antara sesama jantan dan betina.
Seperti halnya dengan kera jepang, mereka menikmatinya, seperti dijelaskan Frans de Waalof Emory dari University in Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.
Dalam tulisannya di majalah Scientific American tahun 1995, dia menggambarkan bonobo betina sepertinya sangat menikmati rabaan dari betina lain pada bagian alat kelamin. “Mereka mengeluarkan suara-suara yang mungkin adalah ekspresi orgasme,” kata De Waal.
Tapi seks bagi bonobo punya peran yang sangat penting: menguatan ikatan sosial.
Bonobo junior menggunakan seks dengan kera-kera lain yang dominan di satu kelompok, untuk memungkinkan diangkat menjadi anggota penting di kelompok tersebut.
Dua jantan yang selesai bertarung kadang melakukan saling sentuh alat kelamin -yang dikenal dengan istilah ‘adu penis’- untuk meredakan ketegangan. Yang agak lebih jarang, mereka juga berciuman, melakukan fellatio (aksi merangsang alat kelamin), dan mengelus alat kelamin jantan lain. Sementar bonobo-bonobo muda memanfaatkan seks dan pelukan untuk menghibur satu sama lain.
Jadi, seperti halnya seks pada manusia, binatang memanfaatkan seks untuk mencapai banyak tujuan. Tapi jika tujuan akhirnya adalah mendapatkan keturunan, mereka akan mencari pasangan lawan jenis.
Mungkin saja perilaku-perilaku ini lebih tepat disebut sebagai “biseksual”.
Para ilmuwan sejauh ini berpendapat bahwa hanya ada dua spesies yang memperlihatkan perilaku homoseksual sepanjang hidup, bahkan ketika ada pasangan lain jenis yang tersedia, yaitu manusia dan satu lagi adalah domba piaraan (Ovis aries).
Tidak akan pernah ditemukan?
Statistik memperlihatkan dalam satu kelompok domba, hingga 8% jantan lebih memilih kawin dengan jantan lain, meski di sekitar mereka tersedia betina yang subur.
Pada 1994 diketahui bahwa otak-otak pejantan ini berbeda dengan pejantan lain. Bagian otak mereka yang disebut hypothalamus –yang mengontrol pelepasan hormon seks- lebih kecil dibandingkan hypothalamus domba heteroseksual.
Temuan ini senada dengan hasil kajian Simon LeVay pada 1991 yang menyebutkan bahwa ada perbedaan struktur otak antara gay dan pria-pria yang tertarik dengan wanita.
LeVay berpendapat gen yang sama -yang membangun perilaku homoseksual pada domba jantan- juga bisa membuat domba betina menjadi lebih subur atau meningkatkan hasrat mereka untuk kawin. Saudara betina dari domba jantan yang homoseksual bisa menghasilkan lebih banyak keturunan dibanding jumlah rata-rata. “Jika memiliki dampak yang menguntungkan bagi betina, gen itu memiliki efek lebih penting bagi domba jantan dan gen itu akan tetap berada di sana,” kata LeVay.
Kecenderungan homoseksual domba jantan seumur hidup hanya terlihat pada domba peliharaan. Tidak jelas apakah hal yang sama juga terjadi pada domba liar, namun jika penjelasan LeVay benar maka tampaknnya tidak terjadi pada domba liar. Domba ternak dengan hati-hati dikembangbiakkan oleh para petani untuk menghasilkan betina-betina yang bisa beranak secepat mungkin, yang mungkin meningkatkan jumlah jantan yang homoseksual.
Jadi LeVay dan Vasey tetap berpendapat hanya manusia yang tercatat sebagai ‘homoseksual sebenarnya’. “Kasusnya bukan adanya bonobo lesbian atau bonobo gay,” kata Vasey. “Yang tergambarkan adalah banyak binatang yang senang untuk terlibat seks dengan rekan sesama jenis kelamin.”
Kita mungkin tidak akan menemukan binatang yang jelas-jelas homoseksual seperti yang ditemukan pada manusia. Tapi kita bisa memastikan bahwa akan ditemukan banyak binatang yang tidak mengikuti kategori orientasi seksual secara tradisional.
Itu karena mereka menggunakan seks untuk memuaskan banyak keperluan, mulai dari sekedar untuk kenikmatan hingga mendapatkan keuntungan yang bersifat sosial.
Dan itu berarti siap untuk fleksibel ketika menentukan pasangan.
Sumber: BBC Indonesia