Search
Close this search box.
Okky Madasari meyakini bahwa ketika dirinya menulis karya sastra harus bisa menggugah kesadaran pembacanya.
Okky Madasari meyakini bahwa ketika dirinya menulis karya sastra harus bisa menggugah kesadaran pembacanya.

Suarakita.org- Okky Madasari, penulis novel dan pemenang penghargaan sastra Katulistiwa 2012 melalui novelnya yang berjudul Maryam, dikenal melalui karya-karyanya yang sarat kritik sosial.

Melalui novel Maryam (2012), perempuan kelahiran 1984 ini mengungkap pengusiran warga penganut Islam Ahmadiyah oleh kelompok penentangnya di Nusa Tenggara Barat.

Dan tiga novel karyanya, Entrok (2010), 86 (2011) dan Pasung Jiwa (2013) yang masuk nominasi penghargaan tersebut, juga bergenre realis.

“Sejak awal saya percaya bahwa karya sastra itu seharusnya bisa menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat,” kata Okky Madasari dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan.

“Saya tentu membuat cerita bukan sekedar untuk senang-senang, bukan sekedar sebagai hiburan, atau justru sebagai pengantar tidur,” lanjut mantan wartawan ini.

Dengan kalimat bernada tegas, ibu satu anak ini meyakini bahwa ketika dirinya menulis karya sastra seharusnya bisa menggugah kesadaran pembacanya.

“Bisa memberi perspektif baru bagi pembaca, bisa melahirkan jiwa-jiwa baru bagi pembaca, sehingga kita bisa mengubah kondisi yang ada,” jelas Okky yang mengaku sangat dipengaruhi Pramoedya Ananta Toer ini dan karya-karyanya.

(“Keteguhan hati dan ketetapan sikap dan bagaimana kita memiliki posisi yang jelas dalam berbagai persoalan masyarakat,” ungkapnya lebih lanjut, tentang tauladan yang dia peroleh dari sosok Pramoedya Ananta Toer)
Dia mengakui karya sastra bekerja sangat pelan, sangat individual. Dia lantas mencontohkan ketika dia menulis buku Maryam yang dilatari pengusiran umat Islam Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat.

“Tidak bisa kemudian apa yang terjadi di sana kemudian dihentikan. Itu bukan tugas karya sastra,” tandas perempuan kelahiran Magetan, Jawa Timur, 30 Oktober 1984 ini.

Bikin mural puisi

Tiga novel karya Okky Madasari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Tiga novel karya Okky Madasari yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Bagaimanapun, sebagai penulis, Okky mengaku terkadang dihadapkan pada situasi yang membuat dirinya bertanya-tanya apakah pesan dalam karyanya sampai dan diterima oleh pembacanya.

Dengan nada suara agak tercekat, dia kemudian mencontohkan situasi batinnya ketika dia menulis novel Maryam yang berlatar pengusiran warga Islam Ahmadiyah.

“Itu saya tulis pada tahun 2012 dan sampai saat ini mereka masih tinggal di pengungsian yang sama. Nah itu kan melahirkan pertanyaan besar: ‘aduh, ada gunanya nggak sih (menulis novel tersebut)’, perlukah saya menulis ini, toh mereka masih berada di situasi yang sama,” akunya.

Tetapi, sambungnya cepat-cepat, “sastra bekerja dengan pelan-pelan dan dalam waktu yang tidak cepat.” Nada suara Okky kembali seperti sedia kala.

Di sinilah, akunya, menjadi tugas jurnalistik melakukan dorongan agar pemerintah melakukan memperhatikan nasib para pengungsi Islam Ahmadiyah tersebut.

“Yang saya lakukan adalah tetap menghadirkan sebuah cerita yang tentu memiliki dampak besar jika para pengambil keputusan itu membacanya,” katanya.

Di sisi lain, menurutnya, Okky tetap meyakini bahwa karya-karyanya mampu mempengaruhi para pembacanya. “Bagaimana mereka sekarang lebih bisa menerima perbedaan, misalnya.”

Ditanya apakah dia pernah “tergoda” untuk melangkah lebih jauh, misalnya unjuk rasa, ketika menyadari sisi “kelemahan” karya sastra, Okky mengatakan: “Selain menulis sastra, saya juga mencoba untuk menuangkan kegelisahan-kegelisahan saya melalui berbagai aktivitas.”

“Seperti waktu saya dan teman-teman Yayasan Muara, membuat mural-mural puisi di titik-titik strategis di Jakarta. Ada puisi Widji Thukul, puisi Rendra. Itu ‘kan cara membuat orang yang jauh dari membaca sastra, itu bisa seperti diingatkan,” ungkap istri Abdul Khalik ini.

Pada 2014 lalu, Okky juga menggelar acara Run to remember untuk mengingatkan masyarakat dan memotivasi anak muda untuk bergerak menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Sastra di dunia internet
Festival Sastra Asean atau Asean Literary Festival 2015, yang digelar pertengahan Maret lalu, mengungkit kembali isu sensitif di kalangan penikmat sastra yaitu tentang karya sastra anak-anak muda yang dilahirkan melalui media internet.

“Apakah digital media menjadi ancaman atau menjadi alat membantu mengembangkan sastra,” kata Okky, pendiri acara tersebut, tentang isu utama dalam diskusi-diskusi di acara tersebut.

Alih-alih mempertanyakan, Okky malah mendukung keberadaan karya sastra anak muda yang tumbuh dan berkembang melalui media sosial.

“Dunia digital sudah melahirkan banyak sekali penulis muda yang tidak bisa dipandang sebelah mata,” katanya.
Sejumlah penulis muda yang menulis di media sosial, kata Okky, karya-karyanya lebih cepat menyebar dan banyak dibaca oleh khalayak.

“Nah, yang seperti ini tidak bisa kita menganggap remeh lalu mengatakan ini ‘Ah ini ‘kan karya internet’.”

Justru sebaliknya, lanjutnya, dirinya dan kawan-kawannya kemudian memberi ruang agar karya-karya “internet” (“yang berkualitas, tentu saja,”kata Okky) seperti itu diakomodasi dalam festival sastra tersebut.

“Dan akhirnya bisa menjadi bagian penting dari produk budaya zaman ini, karena internet adalah sesuatu yang tidak bisa kita abaikan,” tandasnya.

Penulis muda tidak mendapat tempat
Ditanya apakah ini artinya selama ini para penulis muda –yang menuliskan karya-karyanya di media sosial ini– kurang mendapat tempat di dunia sastra Indonesia kontemporer, Okky mengatakan “betul sekali”.
Seraya menyebut beberapa nama penulis muda yang beberapa diantaranya masuk nominasi sebuah penghargaan sastra, Okky mengatakan: Masih jarang sekali kesempatan yang membuat mereka diketahui “apa yang mereka pikirkan di balik karya-karyanya.”

Yang terjadi kemudian, katanya, tampilnya kembali para penulis lama melalui karya-karyanya. “Ada istilah 4 L: Lu lagi, lu lagi, lu lagi, lu lagi,” ujar Okky dan disusul tawa kecil.

Situasi seperti inilah yang tidak dia inginkan terulang lagi dalam festival sastra yang digelarnya itu. “Kami ingin memberi peluang sebesar-besarnya kepada mereka yang masih belum mendapat kesempatan.”
Tetapi bukankah tidak semua karya sastra anak-anak muda tidak semua berkualitas? Tanya saya.

“Memang tidak terlalu banyak, tapi setidaknya karya-karya penulis yang berkualitas sudah coba kita hadirkan dalam dua tahun penyelenggaraan Asean Literaly Festival,” katanya.

“Memang jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi saya pikir harus selalu ada, akan selalu ada dan tetap akan kami hadirkan dalam festival ini dari tahun ke tahun,” kata Okky.

Rahasia menulis produktif
Sebagai novelis, Okky Madasari dikenal sebagai penulis produktif, yang ditandai kelahiran empat novelnya dalam rentang waktu empat tahun.

“Dalam rentang empat tahun itu, saya memang sangat fokus menulis novel,” aku lulusan jurusan Hubungan Internasional, UGM, Yogyakarta ini.

Walaupun dia mengerjakan novel-novel itu sambil menyelesaikan kuliah pasca sarjana di Universitas Indonesia, dia mengaku tidak disibukkan kegiatan lain seperti bekerja.

Rahasia lainnya? Tanya saya. “Saya membuat bagaimana menulis itu sebagai sebuah kebutuhan utama saya setiap hari. Jadi saya menulis hampir separoh waktu saya setiap hari.”

Lainnya? “Konsistensi dalam mengelola perhatian, dalam mengelola energi dan tenaga. Karena novel ini sebuah karya yang ditulis dalam waktu satu atau dua hari. Dalam kasus saya, menulis novel itu dibutuhkan tiga bulan.”

“Nah, bagaimana kita mengatur, mengelola emosi, energi, perhatian kita untuk tetap menulis novel itu,” ungkapnya seraya menambahkan, internet merupakan “godaan” besar konsentrasinya dalam menyelesaikan novelnya.

Membaca novel pemenang Nobel
“Barangkali saya akan lebih dini berkenalan dengan sastra,” jawab Okky saat saya tanya: apa yang akan dia lakukan jika dia diberi kewenangan untuk mengulang waktu.

Dia kemudian mengungkap pengalaman masa kecilnya di kota Magetan, Jawa Timur, yang disebutnya sulit mengakses karya-karya sastra berkualitas, karena “tidak ada toko buku, perpustakaan dan buku-buku bagus yang saya kenal.”

“Sementara di sekolah, tidak didorong untuk membaca sastra. Paling hanya kutipan-kutipan satu paragraf yang ada di buku pelajaran,” akunya.

Walaupun kemudian dia mendapatkan akses lebih besar terhadap dunia sastra, saat kuliah di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Okky mengaku belum mempunyai perhatian dan kesadaran untuk membaca karya sastra.

“Baru saat saya di Jakarta, saya menjadi wartawan, saya menghabiskan seluruh waktu saya untuk membaca karya sastra,” jelas pengagum karya-karya penulis Rusia, Leo Tolstoy.

Namun demikian, akunya, rentang waktu keintimannya dengan bacaan sastra itu “masih belum cukup”. “Tentu banyak sekali karya (sastra) yang belum sempat saya baca,” katanya.

“Jadi barangkali jika saya bisa mengulang waktu, saya mau memulai membacanya (karya sastra) mulai sekolah dasar.”

“Saya pikir, kalau saya bisa membacanya sejak sekolah dasar, saya bisa menghasilkan karya yang lebih bagus,” kata Okky dan kemudian tertawa kecil.

Seraya menunjuk koleksi buku-bukunya di rak, Okky lantas berkata bahwa dirinya belum membaca semua buku-buku miliknya, diantaranya adalah buku-buku pemenang Nobel sastra dari tahun ke tahun.

(“Kadang ‘kan kita membeli buku, karena saya ingin membaca seluruh buku-buku Nobel sastra. Kami sudah memilikinya, tapi belum semuanya sempat terbaca, karena kendala waktu dan energi juga,” katanya.)

Mengapa dia ingin menuntaskan membaca buku-buku sastra peraih Nobel sastra, Okky berkata: “Proses ketika saya intens membaca karya sastra itu yang memberi pengaruh saya terhadap kemampuan saya menulis karya sastra.”(Heyder Affan)

Sumber: BBC Indonesia