Search
Close this search box.

[KISAH] Panggil Aku Bu Guru

Oleh: Dheandra Gunarti*

Suarakita.org- Namaku Mohamad Dachary Lahmudin S.pd, dengan nama kecil yang singkat Gun. Aku terlahir sebagai seorang laki laki di Desa Huntu, Desa kecil di ujung Provinsi Gorontalo, pada 8 Agustus 1983 dari keluarga sederhana.

 

Masa kecil yang indah bila dikenang, bersama kelurgaku aku hidup sebagaimana biasa anak kecil, suka bermain, bercanda, tapi mungkin aku agak beda. Karena aku bertingkah laku seperti anak perempuan. Mama dan Omaku membiarkan ini terjadi, karena mereka sangat menyayangi diriku, tapi perlakuan kasar datang dari oknum Om dan Tante aku yang memang melarang aku seperti ini. Karena budaya kami dan keluarga aku memegang teguh Islam Muhammadiyah yang sangat keras dan taat.

 

Aku ingat di suatu ketika, pada hari Jum’at. Biasa bagi umat Islam untuk sholat berjamaah di Mesjid. Aku diajak Tante Cici, adik mamaku, untuk sholat. Saat sholat itu aku tidak memakai pakaian laki-laki sebagaimana anak laki-laki. Aku dipakaikan mukena. Aku pun ikut sholat dengan memakai mukena. Sampai di rumah, pamanku (adik mamaku) memukul aku dengan kayu. Aku menangis keras. Dalam hati ini aku melawan, aku harus memperjuangkan ini (kebebasan berekspresi – red) suatu hari nanti.

 

Cerita bergulir, perlakuan kasar yang aku dapat semakin menjadi. Setiap sekolah yang aku lalui, baik SD, SMP dan SMU, teman-teman selalu menghina aku, mencaci aku, dibilang banci atau bencong. Dengan sabar aku lewati semuanya.

 

Tahun 2001 aku masuk perguruan tinggi Univeristas Gorontalo di Limboto. Di universitas itu aku mengalami kekerasan fisik dan batin. Aku dihina, dibilang banci, bencong. Aku pernah didorong hingga terjatuh saat senam bersama. Tidak ada yang menolongku saat itu. Sungguh sedih sekali hatiku. Di situ aku tidak tahan lagi. Aku langsung menghadap ke Kepala Jurusan dan meminta uangku dikembalikan. Namun tidak dikasih. Kemudian aku keluar dari univeristas itu.

 

Tahun 2002 aku kembali melanjutkan kuliah. Kali ini aku kuliah di Universitas Ichsan Gorontalo. Di sini aku mengalami kekerasan fisik yang lebih parah. Aku pernah dilempari kayu penghapus dan diteriaki sebagai pembawa sial oleh seniorku di kampus. Aku tidak tahan. 22 Februari 2002, aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan hijrah ke Pulau Jawa. Tujuanku satu , aku mau mencari teman yang sehati dengan aku.

 

Petualanganku pun di mulai. Surabaya adalah kota pertama di Pulau Jawa yang aku datangi. Setelah di Surabaya aku tur menjelajah kota-kota si Jawa; Malang, Semarang, Jakarta dan Yogyakarta. Di Yogyakarta, aku sempat berjualan ikan di pasar Beringharjo. Aku lakukan itu demi sesuap nasi.

 

Pada tahun 2005 aku kembali ke Gorontalo lagi, atas bujukan Mama dan Oma. Kali ini aku masuk kuliah di Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Aku ambil jurusan D2 Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak (PGTK). Awal kuliah, Aku kembali menerima perlakuan buruk. Karena aku memakai pakaian wanita, berambut panjang dan alis dicukur rapi. Tapi aku tetap bertahan demi Mama. Demi membahagikan beliau.

 

Alhamdulilah, aku wisuda tahun 2008. Karena pendidikan aku cuma D2, aku putuskan lanjut kuliah , tambah 2 tahun lagi , tapi jurusan beda dari awal kuliah lalu. Kali ini aku ambil jurusan S1 Bimbingan Konseling (BK).

 

Pada pertengahan kuliah , aku ikut pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), tepatnya tahun 2009, dan alhamdulilah aku lulus!

 

Betapa senang Mama dan seluruh keluargaku, tapi cemoohan belum selesai. Dari keluarga dan teman-teman aku, mereka menghina aku. katanya begini, “Ada nggak guru seorang waria?” Aku sabar dan aku tetap mengurus keperluanku untuk jadi pegawai negeri sipil (PNS).

 

Dheandra Gunarti Alias Pak Gun Mengajar Siswa-siswanya (Foto: Facebook Dheandra)
Dheandra Gunarti Alias Pak Gun Mengajar Siswa-siswanya
(Foto: Facebook Dheandra)

Pada saat awal masuk mengajar aku mendapat cacian dan hinaan. Bahkan anak didikku meneriaki aku, “Pak Guru Banci”. Aku tetap Sabar, aku bimbing anak itu lebih baik lagi dan sekarang Alhamdulilah dia sudah kelas 4 SD dan sudah menghormati aku sebagai mantan Guru TK-nya dulu.

 

Lima tahun sudah aku bertugas sebagai Guru TK. Perlakuan buruk alhamdulilah sudah mulai berkurang . Mereka sudah menerima aku, bahkan kalau aku mau urus pindah ke daerah asalku, Desa Huntu, Orang Tua siswa malah menahan aku. Dan aku semakin sayang dengan lingkungan sekolahku .

 

Tapi ada yang mengganjal hatiku. Kapan aku bisa dipanggil Bu Guru? Kapan aku bisa pakai rok dan berhijab? Berpakaian sesuai dengan hatiku ? Kapan?

 

Karena baju aku yang laki-laki hanya baju dinas sekolah, lainnya baju wanita semua. Intinya semua harus diperjuangkan, karena mungkin aku adalah satu dari seribu orang di Indonesia yang bernasib sama seperti aku .

 

Memperjuangkan ini tidak mudah, mungkin butuh waktu 100 tahun. Mengingat negara kita , adalah negara yang mayoritas Islam. Tapi kalau hanya didiamkan , bagaimana nasib adik-adik kita di 100 tahun kemudian? Apa mereka masih sembunyi-sembunyi seperti aku ?

 

Tidak! Mereka harus merdeka di mata hukum negara kita, Indonesia. Biarlah hanya aku yang mengalami ini, dikenal sebagai Guru TK dengan nama Pak Gun di siang hari dan di malam hari dikenal sebagai waria bernama Dheandra Gunarti.

 

Mungkin walau hanya sampai 50 tahun aku perjuangkan hak-hak LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) tapi nanti pada saat usiaku ditutup, setidaknya aku bisa puas mengetahui seluruh waria yang bekerja sebagai seorang guru, perawat atau kantoran sudah bisa berekspresi sesuai dengan keinginan sendiri. Amin.

 

*Penulis adalah alumni Pelatihan Jurnalistik Komunitas LGBT Sulawesi yang diadakan oleh Suara Kita. Sehari-hari penulis berprofesi sebagai guru TK di Gorontalo. Penulis juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Waria Indonesia Gorontalo (IWIG).

 

Editor : Teguh Iman

Top of Form

Bottom of Form