Search
Close this search box.

[CERPEN]: Ibu dan Anak

Oleh: Aris Kurniawan*

Suarakita.org- Menjelang subuh ngungun itu Ramzi pergi meninggalkan rumah. Menjinjing jaket dan ranselnya Ramzi melangkah berjingkat menyeberangi ruang tengah, membuka pintu depan perlahan-lahan, dan menyelinap keluar dari sana menerobos remang subuh penuh kerumun embun. Ia merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama tinggal di sini. Apalagi yang diharapkan jika ibu, perempuan yang menjadi tempatnya melabuhkan kegelisahan dan kerinduan yang dipupuknya bertahun-tahun di kota besar, tak menginginkan kepulangannya?

Ramzi merasa tak perlu pamit. Maka ia hanya menggumam dengan hati getir, “Maafkan aku, ibu. Sebaiknya aku pergi saja bila kedatanganku hanya memperbesar kekecewaanmu.” Sebelum menyelinap keluar, sejenak dipandanginya potret ibu yang tengah duduk memangku dirinya. Tak ada sosok bapak di sana. Konon bapak meninggalkan ibu ketika Ramzi dalam kandungan perempuan berparas ayu itu. Belakangan Ramzi tahu, bapaknya tak pernah jelas.

Ia menatap potret yang merekam kebahagiaan sekaligus kesenduan itu seakan itulah kali terakhir ia akan memandang potret itu. Geletar perasaan asing menjalari benak Ramzi. Ia membuang napas berat seperti menepis ingatan kelam yang mendadak berkerumun di kepalanya. Mata Ramzi lalu beralih ke pintu kamar ibu yang rapat terkatup. Ramzi tahu ibu di dalam tak tidur, atau kalaupun tidur tidak sepulas hari-hari sebelum kabar tentang pekerjaannya singgah di telinga ibu.

Ramzi sama sekali tak mengira akan menghadapi kenyataan serunyam ini. Semula ia merencanakan ini akan menjadi kepulangannya yang terakhir; ia tak akan kembali ke kota. Ramzi ingin tinggal menetap di kampung sunyi menemani ibu. Bukankah Ramzi anak ibu seorang? Satu-satunya kebanggan ibu? Kepada tetangga ibu selalu bercerita dengan bangga bahwa Ramzi di Jakarta bekerja sebagai guru ngaji buat anak-anak pejabat. “Lihatlah, berkat Ramzi rumah tua peninggalan kakeknya ini dipugar dan dibangun menjadi bagus seperti istana.” kata ibunya berbinar-binar. Berkat Ramzi pula ibu mewujudkan keinginannya berangkat ke tanah suci. Sebelum berangkat Ibu menggelar syukuran dengan mengundang tetangga sekampung ke rumah. Tanpa henti ibu memuji-muji diri sendiri memiliki anak seperti Ramzi.

Sekarang keinginan Ramzi menetap di kampung menemani ibu sepertinya harus ditimbang ulang. Bayangannya untuk melamar Narti dan membentuk keluarga kecil dengan perempuan yang dipacarinya sejak di pondok pesantren itu, membuka toko kecil atau usaha percetakan dengan uang yang dikumpulkannya selama bertahun-tahun bekerja di kota, rasanya bakal berantakan. Ibu, seperti yang dilihatnya, sejak kepulangannya tiga hari lalu tak mau bicara padanya kecuali menggumam. Perempuan yang beranjak tua itu merasa sangat malu dan dibohongi.

“Kenapa kamu melakukan pekerjaan seperti itu, Ramzi? Kenapa kamu bohongi ibu?” ibu bertanya dengan suara bergetar hebat. Sesudahnya ibu bagai air yang membeku. Itu terjadi tiga malam lalu ketika Ramzi baru beberapa menit tiba di rumah. Air mata mengalir lekas di kedua pipinya yang mulai keriput. “Sia-sia selama ini ibu mendidik kamu,” kata ibu bagai mengutuk. Kalimat itu serupa vonis yang membuat Ramzi terhempas dan mendapati sekujur tubuhnya lemas lunglai. Kabar gembira yang hendak disampaikannya membeku di rongga dadanya yang mendadak terasa sesak.

Memang jauh-jauh hari Ramzi menyadari bahwa lekas atau lambat ibu pasti akan mengetahui apa yang dikerjakannya di Jakarta. Tetapi tak mengira akan seburuk ini. Waktu itu Ramzi membayangkan ibu akan bisa menerima penjelasannya dan kemudian memaafkannya.

“Aku menjadi gembel dan mungkin tidak bisa pulang dan bertemu lagi dengan ibu seandainya aku tidak melakukan pekerjaan ini,” Inilah kalimat yang telah dirancangnya sebelum pulang.

“Aku tidak punya keahlian apa-apa, tidak ada cara lain untuk bertahan. Bukankah Gusti Allah membenci hambanya yang berputus asa dan tidak berusaha mempertahankan karunia hidup yang diamanahkan, Ibu? Tentulah Gusti Allah tidak hanya memaklumi keadaan ini tapi juga meridlai. Toh pekerjaan ini tidak merugikan siapa pun. Kalau pun ini tetap sebagai sesuatu yang salah, tentulah tidak semua kesalahan ada padaku. Pemimpin negeri ini yang tidak mampu menyediakan pekerjaan yang layak bagi warganya, merekalah sumber kesalahan.” Tetapi semua kalimat pembelaan yang telah disiapkannya ini tak pernah terlontar. Menatap air muka ibu yang begitu marah dan kecewa membuat hatinya kecut.

Ibu memang tak pernah telat menyiapkan sarapan dan membuatkan kopi untuk Ramzi. Mencucikan baju-baju Ramzi. Tapi semua dilakukannya tanpa kata-kata dan ekspresi wajah yang menyobek-nyobek perasaan Ramzi. Ibu menggumam bahwa Ramzi telah menghidupnya dengan kotoran. Semua oleh-oleh yang ia bawa hanya digeletakkan di dapur tanpa pernah disentuhnya. Begitu pula uang pemberian Ramzi, ibu kembalikan dengan meletakkanya di meja. “Haji ibu tidak sah, Ramzi!” ibu menggumam begitu tanpa keinginan mendengar apa pun penjelasan Ramzi sebagai pembelaan.
**
Ibu
Ramzi, anakku, aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan ini padamu. Terus terang aku memang benar-benar kecewa dengan apa yang kamu lakukan. Ini membuatku teringat lagi betapa sulit rasanya menerima dan memaafkan diriku sendiri. Aku tahu kamu tidak bermaksud seperti itu. Kamu mungkin ingin berkata, begitu susah mendapatkan pekerjaan. Kau tidak punya keahlian apa-apa selain mengajar mengaji.

Dari kecil, sejak masih dalam kandungan bahkan aku memang selalu membisikkan kalimat-kalimat pujian ke telingamu untuk menghibur dan melupakan nasib buruk kita. Aku tidak pernah tahu siapa bapakmu. Karena begitu banyak laki-laki yang meniduriku. Ini semua karena buah kenakalanku yang suka membangkang pada kakekmu. Aku pergi dari rumah untuk mengejar mimpiku jadi pemain sinetron.

Di kota aku malah terlunta dan menjadi gembel jika tidak menjual diri di pub-pub dangdut murahan di daerah Daan Mogot. Bertahun-tahun aku menjalani hidup penuh lumpur. Ketika suatu hari untuk kesekian kali mendapati diriku hamil aku memutuskan tidak menggugurkannya dan pulang ke rumah kakekmu. Melahirkan dan mendidikmu sebaik-baiknya. Untuk menebus kekeliruanku aku bertekad menjadi anak yang manis bagi kakekmu. Dengan selaksa ketabahan aku menjadi ibu sekaligus anak yang baik bagi kakekmu. Tentulah aku pun akan menjadi istri yang baik bagi bapakmu seandainya dia ada. Aku tahu iam-diam kamu mungkin telah tahu belaka betapa bapakmu tidak pernah jelas. Dia hanya satu dari sekian laki-laki yang meniduriku. Oleh karena itu aku tak pernah sampai hati menceritakannya padamu.

“Didiklah anakmu baik-baik, Warsini.” kata kakekmu. Kamu dikarunia fisik yang sempurna: kulitmu putih bersinar, wajahmu rupawan, dan tubuhmu bagus menawan. Mungkin setampan itulah bapakmu. Aku dan bapakku, kakekmu itu, mendidikmu supaya menjadi orang saleh. Hanya aku dan kakekmu. Ibuku, nenekmu itu, tak pernah kukenal. Menurut kakek, ibu meninggalkan kakek dan memilih kembali ke komunitasnya, jadi biduan dangdut, ketika aku berusia dua tahun.

Usaha kami tidak sia-sia. Kamu tumbuh menjadi anak yang tampan lagi saleh. Dengan tekun kamu belajar di pesantren dan menjadi guru ngaji selulus dari sana. Dan aku paham, manakala kakek meninggal, kebutuhan hidup tak lagi tercukupi hanya mengandalkan dari upah mengajar ngaji sehingga mau tak mau kau pun keluar dari desa dan pergi ke Jakarta mengikuti ajakan kawanmu yang menjanjikan pekerjaan bagus bergaji besar.

Dua bulan kepergianmu tak ada kabar membuat kami cemas. Pada bulan ketiga kamu mengabari ibu telah mendapatkan pekerjaan itu: guru ngaji anak-anak pejabat. Ibu mana yang tidak senang mendengar kabar menggembirakan ini? Kamu memperoleh pekerjaan sesuai kepintaranmu. Aku memanjatkan puji syukur pada Gusti Allah yang telah memberi kemudahan pada jalanmu. Aku tak bisa membayangkan pekerjaan apa yang pantas kamu dapatkan selain menjadi guru ngaji. Kamu tidak mungkin sanggup menjadi kuli bangunan seperti halnya kawan-kawanmu yang berduyun-duyun berangkat ke Jakarta.

Aku bahagia bisa membuktikan pada orang-orang yang selalu menatapku sinis bahwa aku bisa mendidikmu menjadi orang yang lebih baik dari anak-anak mereka. Aku sungguh bahagia sampai dua pekan yang lalu ketika Daroji, kawan yang mengajakmu ke Jakarta datang dan mengabarkan sesuatu yang melebihi mimpi buruk. Kamu tidak menjadi guru ngaji anak-anak pejabat seperti yang kamu kabarkan pada ibumu. Kamu menjadi lebih buruk dari perkiraan yang aku bayangkan. Betapa malunya aku. Betapa kecewanya aku. Tetapi aku tidak mungkin membencimu. Aku hanya tidak bisa memaafkan diriku yang menjadi penyebab semua ini.
**
Anak
Aku tidak mengerti kenapa sampai aku dewasa ibu tak mau memberi tahu siapa ayahku yang sebenarnya. Kenapa dia menafikkan bahwa aku sering mendengar gunjingan orang-orang perihal asal usulku. Kawan-kawan sering meledekku sebagai anak tanpa bapak. Kenapa ibu selalu menghindar setiap aku bertanya soal bapak. Kenapa ibu selalu menganggapku seperti anak kecil yang cukup dengan penjelasan “Bapakmu pergi sewaktu kamu masih dalam kandungan.” Aku menyayangimu, ibu, tapi sekaligus membencimu. Jika aku selama ini menjadi anak saleh, menuruti keinginanmu tekun mondok di pesantren bertahun-tahun semata-mata untuk melarikan kebencian dan kekecewaanku, sekalipun aku selalu pulang saban dua atau tiga bulan menemuimu dan menghiburmu.

Kepergianku ke Jakarta bukan semata untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Menjadi guru ngaji bukan cita-cita yang kubawa dari kampung halaman. Pekerjaan tersebut hanya kulakoni beberapa lama. Aku bosan berpura-pura. Aku ingin menjadi diriku. Aku berpindah pekerjaan dengan memanfaatkan ketampanan rupaku dan keindahan tubuhku. Ini tidak terlalu sulit bagiku sekalipun aku baru kali itu ke Jakarta. Selama ini secara diam-diam aku berkenalan dengan seseorang, mungkin dia malaikat, yang mengatakan bahwa dengan kesempurnaan fisik yang aku miliki aku bisa mendapatkan pekerjaan yang mendatangkan uang secara mudah.

Begitulah, aku tidak pernah tertarik menjadi guru ngaji. Melainkan menjadi pemain sinetron. Tetapi rupanya menjadi pemain sinetron pun tidak seenak yang dibayangkan orang. Karena berbulan-bulan aku hanya jadi pemain figuran yang honornya tak seberapa Hanya saja dari sinilah aku menemukan jalan yang mulus untuk mencapai pekerjaan yang jauh lebih menyenangkan: menjadi penghibur bukan hanya bagi perempuan-perempuan kesepian tapi juga lelaki-lelaki yang menyukai jenis mereka sendiri.

Aku mendapatkan cukup banyak uang dengan pekerjaan ini. Aku mengumpulkan penghasilanku karena sadar tidak boleh seterusnya hidup di wilayah ini. Bukan cuma karena usia semakin jauh dan tidak diminati lagi pelanggan, melainkan aku ingin menikah dengan Narti dan tinggal di desa. Tapi kini, aku tahu aku harus kembali dan mengubur impian itu, mungkin untuk sementara.

Gondangdia, Februari 2015.

*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005), Lari dari Persembunyian (Komunitas Kampung Djiwa, 2007).

Bagikan