Search
Close this search box.

[CERPEN]: Hai, Adam!

Oleh: Andris Wisatha Aries Putera*

Suarakita.org- Hai, Adam! Lama tak jumpa. Apa kabarmu, sayang? Semoga sehat-sehat saja. Ah, pastilah kamu sehat, lihat saja dirimu: kamu tambah berotot! Apa kamu ikut kelas gym? Aku ingat sekali bahwa kamu tak bias hidup tanpa mengemil, tak peduli apa kata orang lain. Seandainya aku punya mesin waktu, pastilah kuseret dirimu denganku untuk mengarungi masa-masa dimana kamu bertubuh sangat berisi.

Dari mimik wajahmu, kuterka kamu lupa denganku. Atau mungkin kamu pura-pura lupa? Apa karena tragedi waktu itu maka kamu tak mau lagi mengingatku? Oke, oke, memang aku agak sedikit berbeda sejak pertemuan terakhir kita enam tahun lalu. Mungkin ini bisa mengingatkanmu padaku: Kita bertemu pertama kali saat SMP dan kamu biasa memanggilku ‘Babon’ karena badanku yang kelewat besar untuk ukuran anak-anak belasan tahun. Sudah ingat? Belum juga? Oke nama lengkapku Brama Yakshadiputra.

Ingat sekali saat pertama kali kita kenalan dan kamu seenak jidatmu memanggilku “Babon”. Ingin rasanya kujambak rambut panjangmu itu sampai kamu botak sebelah. Ternyata siapa sangka kita jadi sahabat? Ke kantin, bolos sekolah, bahkan sampai mengusili guru pun kita lakukan. Untung saja kita tak pernah ke toilet bersama. Hahahaha!

Persahabatan kita ternyata tak putus begitu saja saat kita beranjak SMA, Adam. Ah lihat! Benar kan sekarang kau mulai mengingatku! Oh, tapi wajah dan tubuhmu masih ragu apakah aku Bram yang dulu atau bukan. Mungkin ini bisa mengingatkanmu, Adam: aku bersandar di bahumu saat mantan pacarku di SMA memutuskan hubungan denganku, setelah sebelumnya ia menampar pipiku dengan keras. Masih terekam di ingatanku saat kuceritakan itu, matamu merah sekali. Aku hanya bisa menangis saat itu. Jujur saja, yang kutangisi bukanlah karena kata-kata kasarnya atau tamparannya yang agak menyakitkan.. er.. sakit sekali sih! hehehe. Tapi tamparan itu bukanlah hal yang kutangisi saat itu. Bukan, Adam. Aku justru menangis bahagia bisa menyandarkan kepala dan masalahku di pundakmu. Rasa nyaman yang belum pernah kualami sebelumnya dengan siapa pun. Aku menyadari bahwa selama ini, kaulah cinta yang kucari, tidak peduli bahwa kita berdua adalah pria.

Beberapa hari setelah itu, aku semakin intens menghubungimu. Aku jadi jauh lebih sering menanyakan kabarmu lewat pesan-pesan singkat. Aku yakin sekali telepon genggammu bahkan harus kamu ubah jadi mode silent karena pesan-pesanku terus berdatangan. Hahahaha. Jantungku serasa turun ke perut sementara jiwaku rasanya terbang ke langit setiap balasanmu masuk ke dalam telepon genggamku. Terasa aneh memang saat aku tahu bahwa aku jatuh cinta padamu, Adam, sahabat terbaikku. Mungkin kau akan mengatakan bahwa kalimatku ini agak menggelikan, tapi aku selalu ingin memeluk tubuhmu saat mataku ingin terpejam.

Tak sampai seminggu kemudian aku menyatakan perasaanku padamu, dan kau anggukan kepalaku sebagai jawaban. Senyummu saat itu begitu mempesona, Adam. Aku begitu beruntung bisa memiliki pria sepertimu. Ingatkah kamu saat kita nekat naik motor berdua menuju Bandung ketika hari liburan semester tiba? Dingin yang menerpa tak bisa menghentikanku tertawa saat aku memelukmu dan kamu yang tak henti-hentinya melemparkan guyonanmu yang tak begitu lucu. Ah masa-masa itu, Adam, aku sungguh ingin mengulangnya kembali.

Sudahkah kau ingat, Adam? Dinginnya Bandung membuat kita lupa akan segala tabu. Aku tak akan pernah lupa momen itu, Adam. Momen dimana peluh kita saling tertukar dan tubuh kita menyatu. Gelegak jiwaku kepadamu semakin memacuku untuk terus melakukannya, Adam. Jari kita saling terpaut, wajah kita saling mendekat, dan hidungku semakin bisa mencium aroma wangi rambutmu. Kita tak saling berucap kata, namun bibir kita menempel dan berujar makna. Aku menyayangimu, Adam, dan Bandung bukanlah saksi terakhir penyatuan kita. Aku ingin terus melakukannya hanya denganmu.

Masihkah kau lupa denganku, Adam? Baik akan kuingatkan lagi tragedi yang mungkin membuatmu pura-pura lupa denganku. Entah perbuatan kita yang ke-berapa yang membuatmu tiba-tiba saja datang dan menangis di hadapanku. Kau mengatakan bahwa orang tuamu akhirnya mengetahui hubungan kita, dan betapa marah telah menguasai ayahmu hingga ia memaki kedua orang tuaku. Jujur, saat itu aku kaget dan aku mendorong tubuhmu hingga jatuh, Aku menyesal, Adam. Sungguh. Maafkan aku, Adam.

Air matamu saat ini menunjukkan bahwa kau perlahan mulai mengingatku. Benar, ini aku Bram. Akan kuyakinkan kau lagi bahwa aku ini memang benar Bram, Adam. Ingatkah kau saat akhirnya kita memutuskan hubungan enam tahun lalu, Adam? Saat itu kamu bilang bahwa kamu takut melanjutkan hubungan denganku. Kamu takut melakukan hal itu lagi denganku. Kamu takut bahwa kamu tidak akan mampu mendampingiku, Adam. Jujur saja, saat itu aku marah sekali. Tanganku gatal ingin menamparmu, Adam, tapi tidak kulakukan. Aku akhirnya hanya mengelus pipimu sambil menangis dan berkata, “Aku memaafkanmu.” Sejak saat itu aku tak mau bertemu denganmu lagi, Adam.

Namun disinilah aku sekarang, Adam. Bertemu denganmu, mata ke mata. Janji yang kubuat untuk tidak bertemu denganmu lagi seumur hidup, kulanggar sudah. Aku tahu, kondisi sekitarmu saat ini bukan saat yang tepat untuk melepas rinduku padamu. Jakarta kacau balau. Serangan bioterorisme telah menghancurkan kota ini, Adam. Saat serangan teroris ini terjadi, satu-satunya yang terlintas di benakku adalah bertemu denganmu, Adam. Memastikan diriku bahwa kamu baik-baik saja. Aku berjalan berkilo-kilometer hanya untuk sampai ke depan rumahmu. Betapa senangnya hatiku saat kulihat dirimu. Sayangnya, kamu berlari menjauh, Adam. Kukejar dirimu sampai di Mall ini. Kulihat dirimu dan beberapa orang sibuk memalangi pintu Mall dengan berbagai benda yang kalian bisa temukan. Aku begitu terlambat mengejarmu, Adam. Kamu sudah berada di dalam gedung, dan di sinilah aku sekarang, menggedor-gedor pintu Mall, berharap suara gedorannya juga terdengar sampai hatimu, Adam. Lihat, orang-orang yang tak kukenal di sampingku ini juga membantuku menggedor-gedor pintu Mall ini. Aku yakin, perasaan rinduku padamu, Adam, terdengar juga oleh mereka.

Adam, kumohon bukalah pintu dan penghalang-penghalang ini. Tak tahukah kau bahwa aku menahan sakit hanya untuk bertemu denganmu? Tak tahukah kau bahwa aku ingin melepas rinduku padamu? Tak tahukah kau bahwa aku masih sangat mencintaimu? Aku ingin kita kembali seperti dulu, Adam. Ini aku, Babon-mu. Aku juga tahu bahwa kamu masih memiliki perasaanmu yang dulu padaku. Kumohon, Adam, aku ingin merasakan lagi hangatnya pelukanmu. Aku ingin melakukannya lagi dengamu.

Bukalah pintu ini, Adam. Aku hanya ingin menghilangkan rinduku. Aku hanya ingin memelukmu. Aku masih sayang kamu, Adam.

* * *

Seorang pria berdiri mematung di depan pintu Mall sementara rekan-rekannya terus saja memalangi pintu itu dengan berbagai benda: kursi-kursi, boneka manekin, bahkan alat-alat elektronik dari salah satu toko. Air matanya menetes. Meski samar-samar, ia mengenali salah satu dari sekian banyak zombie yang terus-terusan menggedor pintu Mall, mencoba masuk dan mengunyah penghuni-penghuni di dalamnya.
Zombie yang dikenalnya itu hanya mengeluarkan suara geraman kecil sedari tadi.

*Andris Wisatha Aries Putera. Kini aktif sebagai Social Media Strategist dan Copywriter at Upnormals Pingfans. sila kunjungi website Andris www.insemioticwetrust.wordpress.com 

 

Bagikan

Cerpen Lainnya