Oleh : Hartoyo*
Suarakita.org- Majelis Ulama Indonesia (MUI), tertanggal 31 Desember 2014 telah mengeluarkan satu fatwa No. 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Dalam fatwa tersebut baik homoseksual maupun hubungan tanpa ikatan perkawinan (secara heteroseksual – red) dianggap sebagai perbuatan haram sehingga harus dihukum.
Bagi homoseksual selain dihukum juga layak “direhabilitasi” menjadi heteroseksual. Bahkan jika korbannya seorang anak, maka hukuman bagi pelaku (baik yang homoseksual maupun heteroseksual) dihukum mati.
MUI sebenarnya bukan kali ini saja membuat fatwa yang semangatnya homophobia (membenci homoseksual), pada 11 Oktober 1997 MUI juga mengeluarkan sebuah fatwa tentang “Kedudukan Waria” yang berisi bahwa Waria sebagai sesuatu yang haram yang diharuskan “dikembalikan” menjadi laki-laki yang dianggap “normal”.
MUI sebagai lembaga masyarakat sipil berbasis agama (Islam) tentu menjadi hak setiap masyarakat untuk memberikan pendapat atau pandangan tentang sesuatu hal. Apalagi MUI lembaga agama, tentunya mengeluarkan fatwa haram memang sebuah keniscayaan lembaga tersebut. Bahkan ketika MUI mendorong fatwa tersebut untuk diadopsi oleh pemerintah, itu juga sebagai sesuatu yang wajar saja dilakukan. Karena kebebasan dan keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam kebijakan negara memang dibolehkan dalam UU No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sehingga apa yang direkomendasikan oleh fatwa MUI kepada pemerintah untuk menghukum homoseksual maupun waria sesuatu yang “sah” dalam sistem demokrasi di Indonesia. Karena semestinya seperti itu sebagai masyarakat dan warga negara. Karena itulah indikator “sehatnya” sistem demokrasi bekerja dalam suatu negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia setiap warga negaranya untuk berpendapat.
Karena Indonesia sebagai negara demokratis, tentu apa yang dilakukan oleh MUI dapat juga dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya. Sebenarnya fatwa bukan hanya otoritas MUI saja, organisasi Nahdatul Ulama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia mempunyai satu perangkat organisasi yang bernama Bahtsul Masail yang bertugas mengeluarkan fatwa juga. Fatwa yang dikeluarkan oleh NU juga sering direkomendasikan kepada pemerintah untuk diadopsi. Itu juga sesuatu yang sah-sah saja dialam demokrasi ini.
Karena MUI organisasi masyarakat sipil dan kelompok Lesbian,Gay,Biseksual dan Transgender (LGBT) juga merupakan bagian dari masyarakat sipil, keduanya mempunyai hak yang sama dalam aspek kehidupan apapun. Bahkan ketika MUI mengeluarkan fatwa haram bagi LGBT, sebenarnya kelompok LGBT yang muslim khususnya juga punya hak yang sama mengeluarkan fatwa “mengharamkan” fatwa MUI ataupun membuat fatwa lain yang lebih ramah dan memberikan perlindungan pada LGBT. Bagi penulis, otoritas fatwa atau tafsir agama ada pada masing-masing umat Islam.
Fatwa “dilawan” fatwa menurut penulis juga bagian proses demokrasi dalam beragama. Bukankah fatwa MUI juga tidak selalu sama dan sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan oleh NU? Perbedaan-perbedaan pandangan soal hukum Islam sebenarnya sudah ada dalam sejarah Islam. Dan fatwa selalu lahir dalam kepentingan dan politik kekuasaan. Tidak ada fatwa yang lepas dari kepentingan politik itu. Karena fatwa tidak lahir dalam ruang hampa, dia berkonteks.
Seperti yang penulis sampaikan di atas, MUI bukanlah lembaga negara sehingga fatwa yang dikeluarkan juga tidak mengikat pada warga negara. Tak perlu takut dihukum atau dipenjara ketika tidak mengikuti aturan fatwa MUI.
Begitu juga, karena MUI bukan representasi ulama dan umat Islam di Indonesia, maka fatwa yang dihasilkan juga bukan “kewajiban” untuk diikuti oleh ulama atau umat Islam Indonesia. Sehingga, tak perlu takut berdosa ketika tidak mengikuti fatwa MUI. Jadilah umat yang kritis karena Tuhan mencintai itu!
Sehingg setiap umat Islam, boleh mempercayai dan mengikuti fatwa MUI tetapi juga boleh mengabaikan fatwa tersebut. Semua menjadi otoritas masing-masing umat ataupun ulama manapun. Itulah ajaran Islam yang demokratis, memberikan kebebasan dan otoritas setiap ulama maupun umat terhadap pandangan keagamaan yang diyakininya. Menurut penulis, itulah mengapa ajaran Islam sesuai dengan semangat demokrasi di zaman sekarang ini.
Sebagai seorang gay muslim, membaca dan meyikapi fatwa MUI tentang hukuman pada homoseksual bukan sesuatu yang perlu saya kuatirkan berlebihan. Bagi saya, sebagai aktivis LGBT, justru fatwa ini mendorong saya untuk memberikan tawaran lain kepada pemerintah, kebijakan seperti apa untuk perlindungan dan pengakuan hak-hak LGBT di Indonesia.
Tentu untuk melahirkan sebuah kebijakan yang ramah pada LGBT bukan hal yang mudah, kelompok yang pro dan kontra pada LGBT akan terus “bertarung” dalam ruang publik.
Tapi perbedaan pandangan apapun itu, Indonesia mempunyai payung hukum tertinggi, UUD 45, yang menempatkan setiap warga negara setara, baik di depan hukum maupun dalam hubungan sosial. Sehingga posisi MUI sama setaranya dengan organisasi gay,lesbian ataupun waria di Indonesia. Apalagi meyangkut keimanan, tak ada jaminan bahwa anggota MUI lebih mulia dari seorang gay,lesbian ataupun waria. Wallahualam, hanya Tuhan yang mengetahui itu!
*Ketua Suara Kita