Oleh : Firmansyah*
Suarakita.org- Berbicara mengenai perjuangan untuk mencapai kesetaraan hak kelompok LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender), tidak terlepas dari peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Telah banyak advokasi yang dilakukan para aktivis LGBT dalam menyuarakan pendapat mereka, namun seakan tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk mengakomodasi tuntutan tersebut.
Mungkin butuh waktu lama bagi pembuat kebijakan untuk mengerti bahwa menurut DSM1 homoseksual bukanlah sebuah kelainan mental. Mungkin kini saatnya bagi para aktivis LGBT untuk mengubah advokasi mereka ke dalam bahasa yang lebih dimengerti oleh para pembuat kebijakan, seperti melalui pendekatan ekonomi.
Sebuah studi yang dilakukan oleh The Williams Institute, University of California, Los Angeles pada akhir tahun 2014 menjelaskan mengenai hubungan antara inklusi LGBT (LGBT inclusion) dan pembangunan ekonomi (economic development). Penelitian ini dilakukan di 39 negara emerging markets2 termasuk Indonesia dengan fokus utama untuk mencari tahu apakah terdapat hubungan yang signifikan antara inklusi LGBT dan pembangunan ekonomi.
World Bank mendefinisikan inklusi sebagai Proses meningkatkan kemampuan, kesempatan, dan martabat manusia yang mengalami keadaan tidak menguntungkan yang berhubungan dengan identitas mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat (World Bank, 2013). Nilai inklusivitas pada penelitian ini diukur melalui Global Index on Legal Recognition of Homosexual Orientation (GILRHO)3.
Nilai GILRHO didapatkan melalui tiga tahapan, yaitu: (1) menentukan tipe peraturan yang dimasukkan kedalam perhitungan hak-hak LGBT, (2) mendapatkan informasi yang reliable mengenai eksistensi peraturan tersebut pada tiap negara, dan (3) memberikan nilai angka pada tiap peraturan.
Nilai GILRHO berada pada angka 8 menunjukkan bahwa negara tersebut tidak mengkriminalisasi perilaku homoseksual, adanya aturan mengenai larangan diskriminasi terhadap homoseksual di lingkungan kerja, pasangan sejenis memiliki hak untuk menikah dan melakukan adopsi, dan nilai 0 untuk negara yang tidak memiliki semua kategori tersebut.
Sedangkan untuk pembangunan ekonomi diukur melalui pendapatan domestik bruto (PDB) riil per kapita atau nilai barang dan jasa yang diproduksi di suatu negara dibagi dengan populasi negara tersebut.
Setelah kita mengetahui pengukuran yang dipakai pada penelitian tersebut, tiba saatnya untuk mengetahui hasilnya. Dari hasil regresi nilai GILRHO dan PDB per kapita, dengan menambahkan variabel kontrol berupa variabel-variabel dasar makroekonomi seperti populasi, tingkat pengangguran, modal, perdagangan internasional, dan sumber daya manusia, didapati bahwa setiap terjadi penambahan hak-hak kelompok homoseksual di suatu negara, terjadi peningkatan pendapatan per kapita sebesar $320.
Apakah hasil penelitian ini menjamin bahwa dengan semakin terciptanya inklusi LGBT, maka pendapatan per kapita masyarakat suatu negara akan meningkat sebesar nilai koefisien tersebut? Jawabannya tidak. Namun kita bisa berfikir secara rasional bahwa variabel-variabel makro ini didapati dari penggambaran mikro pada kesehariannya. Dengan semakin terciptanya inklusi LGBT, maka kelompok ini semakin bebas untuk mengembangkan dirinya, mendapatkan pendidikan yang layak, meningkatkan intelektualitas mereka, dapat bekerja dan menaikkan produktivitasnya, dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat dan negara.
Apakah kita cukup puas dan sejahtera dengan pendapatan per kapita Indonesia di sekitar $5.000 per tahun? Jika tidak, maka bertanyalah kepada Pemerintah anda mengapa tidak ada aturan mengenai hak-hak kelompok LGBT di negara kita? Jangan-jangan kita terjebak menjadi negara middle-income karena banyaknya deadweight loss4 yang terjadi akibat diskriminasi yang dilakukan kepada kelompok LGBT.
Catatan Kaki:
1 Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, sebuah buku manual yang digunakan pada bidang kedokteran dan psikologi klinis untuk menggolongkan apakah sesuatu tergolong penyakit mental. Diterbitkan oleh American Psychiatric Association.
2 Emerging market country didefinisikan sebagai “Suatu negara dimana masyarakatnya sedang mengalami transformasi dari sistem perekonomian terpimpin menuju pasar bebas, dengan meningkatnya kebebasan ekonomi, mengalami integrasi bertahap dengan Global Masterpiece dan member lain dari GEM (Global Emerging Market), besarnya pertumbuhan kelas menengah, terjadi peningkatan standar hidup, stabilitas sosial dan toleransi, sejalan dengan meningkatnya hubungan dengan institusi multilateral” (Kvint, 1999).
3 GILRHO merujuk pada hak-hak kelompok LGB, sedangkan pengukuran mengenai hak-hak kelompok transeksual menggunakan Transgender Rights Index (TRI).
4 Deadweight loss adalah kondisi ekonomi yang terjadi akibat pasar yang tidak efisien, sehingga menyebabkan kesejahteran masyarakat (society welfare) tidak maksimal.
Referensi:
Badgett, M.V. Lee, Nezhad, Sheila, Waaldijk, Kees & Rodgers, Yana van der Meulen (2014). The relationship between LGBT inclusion and economic development: An analysis of emerging economies. Los Angeles, California: The Williams Institute.
The World Bank (2013). Inclusion matters: The foundation for shared prosperity. Washington, D.C.: World Bank.
* Penulis merupakan mahasiswa Manajemen UI angkatan 2011, penikmat seni, dan treasurer Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia (SGRC UI).