Suarakita.org- Tingkat kekerasan terhadap perempuan, menurut laporan yayasan pemberdayaan perempuan PBB hingga hari ini masih tetap tinggi. Sudah saatnya kini untuk memerangi diskriminasi gender. Komentar Grahame Lucas.
Aksi kekerasan terhadap perempuan bukan masalah Utara-Selatan atau Barat-Timur. Melainkan sebuah fenomena global. Daftar aksi kekerasan, pelecehan seksual dan diskriminasi gender amat panjang, dan setiap hari bisa terus ditambah dengan fakta dan data baru.
Di era sosial media dan internet, kita bisa dengan mudah memonitor pola aksi kekerasan dan penganiayaan terhadap kaum perempuan. Juga sialnya, setiap hari kita bisa memantau makin banyak contoh dari kebiasaan yang mengerikan itu.
Walau di banyak negara hukuman bagi pelanggaran hak-hak perempuan makin berat, tapi nyaris tidak ada bukti bahwa perilaku pria terhadap perempuan juga mengalami perubahan, khususnya di negara dimana lelaki dianggap lebih berkuasa. Di India perkosaan massal sulit dituntaskan lewat jalur hukum. Di Nigeria, milisi Boko Haram menculik ratusan anak gadis yang dipaksa kawin dengan mereka. Milisi Islamic State di Suriah dan Irak memaksa perempuan lain agama atau beda mazhab jadi budak seks atau pelacur.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut kesetaraan hak perempuan sebagai melawan hukum alam. Di Saudi Arabia perempuan juga dilarang menyetir mobil. Penolakan mengakui hak-hak dasar kesetaraan gender ini ibaratnya sebuah undangan untuk melakukan kekerasan dan pelecehan.
Data lainnya juga sangat menggiriskan. Lebih 30 juta anak perempuan saat ini terancam mutilasi genital, sementara sekitar 140 juta lainnya sudah mengalami hal itu. Belum lagi masalah perkawinan di bawah umur, dimana anak perempuan yang belum dewasa dipaksa menikah dengan lelaki yang jauh lebih tua. Dampaknya adalah tingkat kematian ibu hamil dan ibu melahirkan amat tinggi, serta maraknya kekerasan dalam rumah tangga.
Jadi, melihat latar belakang seperti itu, tidaklah mengherankan jika statistik yang dilansir PBB amat memprihatinkan. Lebih 35 persen perempuan dilaporkan pernah sekali mengalami aksi kekerasan fisik atau seksual dalam hidupnya. Bahkan di sejumlah negara, menurut PBB angkanya naik jadi 70 persen.
Kampanye PBB melawan aksi kekerasan terhadap perempuan yang digelar setiap 25 November ditujukan kepada rakyat biasa dan komunitas lokal bertujuan meningkatkan kepedulian pada masalah ini. Media juga harus meliput dan memberitakan sebanyak mungkin kampanye tersebut. Perilaku harus diubah tanpa reserve.
Perempuan harus mendapat jaminan hak yang setara, peluang yang sama dengan lelaki dan dilindungi dari aksi kekerasan serta pelecehan. Sebab hal ini untuk keuntungan semua pihak. Riset membuktikan, warga di negara dimana perempuan diakui setara dengan lelaki, biasanya lebih makmur dan lebih bahagia.
Juga harus dicatat, jika aksi kampanye kesetaraan gender semacam itu didukung oleh pemerintah dan kalangan politik, perilaku masyarakat biasanya berubah menjadi lebih baik dan positif. Juga kampanye butuh dukungan kaum lelaki. Tidak ada salahnya, jika kaum lelaki juga bangga disebut sebagai feminis dan juga bertindak selaras.
Sumber: dw.de