Search
Close this search box.

unduhanOleh : Nursyafira Salmah*

Suarakita.org- “Bir lesbian? ini menjijikkan”, begitulah sepenggal kalimat yang terucap dari bibir Adele Exarchopoulos, pemeran utama dalam film Blue is The Warmest Color. Scene yang terjadi di dalam sebuah bar lesbian ini menjadi sebuah penekanan betapa Adele melakukan penolakan dalam dirinya sendiri bahwa ia beridentitas seksual sebagai lesbian. Adegan ini terjadi setelah Adele merasakan “ada yang beda” dalam dirinya saat teman perempuannya mencium bibir Adele di sebuah tangga di sekolah. Film ini menggambarakan sebuah proses perkembangan identitas yang runut mulai dari “who am I” sampai “this is me”.

Film ini mampu membuat penontonnya berpikir keras mengenai sebenarnya apa identitas pemeran-pemeran dalam film ini. Seperti bermain tebak-tebakan. Mulai dari keputusan Adele untuk menjalin kekasih dengan teman laki-lakinya dan bahkan berhubungan seks, hingga imajinasinya berhubungan seks dengan seorang perempuan berambut biru yang hanya berpapasan dengannya di jalan. Emma, seorang lesbian berambut biru yang akhirnya menjadi ‘cermin’ bagi Adele untuk berkaca akan identitasnya. Emma adalah orang yang berperan sangat signifikan bagi Adele dala melakukan perbandingan serta toleransi identitas bahwa “saya lesbian”.

Segelintir kajian adegan dalam film ini membuka pintu bagi kita untuk tenggelam lebih jauh kedalam identitas seseorang. Menurut Teresia Iswarini, pembicara dalam diskusi film Blue is The Warmest Color di Suara Kita, setiap individu itu terdapat tahap perkembangan identitas dalam dirinya. Tahap perkembangan identitas itu digambarkan oleh Teresia Iswarini dengan tangga berikut,

teresa

Tangga di atas bisa membantu kita dalam mengkaji bagaimana sebuah identitas berkembangan dalam diri Adele dan Emma sebagai pemeran utama film ini. Menurut Teresia Iswarini, tahap “kebingungan” akan identitas dalam diri Adele digambarkan melalui bagaimana raut wajah Adele saat harus berhadapan dengan kenyataan eksplorasi identitasnya.

Pertama, kebingungan Adele terlihat saat Adele merasa risih dengan imajinasinya berhubungan seksual dengan Emma, yang bahkan saat itu hanya berpapasan saja dengan Adele di jalan dan mereka berdua hanya melakukan kontak mata. Kedua, saat dimana Adele dicium bibirnya oleh teman sekelas perempuannya. Disana Adele merasakan ada yang berbeda dalam dirinya hingga keesokan harinya mereka berdua bercumbu di kamar mandi sekolah. Namun, teman Adele mengakui jika apa yang ia lakukan adalah hal yang tidak serius. Tangis mata Adele menggambarkan penyesalan sekaligus jawaban atas kecenderungan orientasi seksual Adele selama ini.

Tahap kebingungan dilanjutkan dengan tahap “perbandingan” akan identitasnya. Di dalam film, terdapat sebuah adegan dimana Adele diajak oleh temannya bernama Valentin untuk masuk ke dalam gay bar. Di dalam film diperlihatkan bagaimana mata Adele bereksplorasi dengan pemandangan romansa cinta sejenis yang digambarkan dengan beberapa adegan ciuman. Sebuah pemandangan yang masih tabu di mata Adele. Hingga akhirnya Adele mengikuti langkah teman-teman pasangan lesbian menuju lesbian bar. Pencarian jati diripun dimulai.

Tahap perbandingan identitas cenderung singkat digambarkan dalam film ini hingga pada titik dimana teman-teman dekat Adele sendiri mencacinya dengan sebutan “lesbian slut (pelacur lesbian)” karena mereka memergoki Adele berjalan dengan Emma, seorang gadis tomboy sepulang sekolah. Namun, dari beberapa kali interaksi yang dilakukan Adele dengan Emma, disana Adele mulai mengkaji identitasnya dan mulai berada dalam tahap “toleransi” identitas sebagai perempuan yang memiliki kecenderungan orientasi dengan perempuan juga.

Tahap perkembangan identitas Adele terus berjalan dalam pengaruh dan dukungan dari kekasihnya Emma. Walaupun film ini menyajikan dan menonjolkan lebih kepada sisi romansanya, tetapi secara tersirat diperlihatkan bagaimana Emma menjadi aktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan identitas Adele. Emma digambarkan sebagai orang yang menghadirkan “penerimaan” dan “kebanggaan” dalam diri Adele sebagai lesbian. Dimulai dari keikutsertaan mereka di dalam sebuah parade LGBT, yang menyadarkan Adele bahwa banyak orang-orang seperti dirinya dan itu bukan hal yang aneh dan salah. Bahkan Adele terlihat nyaman untuk berciuman di depan khalayak ramai dengan Emma. Segalanya berproses hingga Adele bisa berbaur dengan teman-teman Emma dalam perayaan keberhasilan hasil lukisan Emma. Adele bisa diterima dan dibanggakan teman-teman Adele sebagai sumber inspirasi hasil karya Emma. Selain itu, menurut Teresia Iswarini

Namun tahap perkembangan identitas final, yaitu “sintesis” hanya bisa dijelaskan dari keberadaan sosok Emma dalam film. Emma sudah merasa yakin dengan identitasnya sebagai lesbian. Bahkan ketertarikan Emma terhadap tubuh perempuan ia visualisasikan dalam bentuk karya seni bercita rasa tinggi. Ketertarikan Emma pada seni lukis dengan fokus tubuh perempuan menghadirkan betapa Emma sudah memaknai identitasnya secara filosofis. Emma sudah bangga dengan itu dan menurut Teresia Iswarini, Emma sudah merasa solid atau sudah merasa “tinggi” dengan identitasnya.

Kesimpulan mengenai perkembangan identitas yang penulis kaji dalam film ini adalah. Setiap individu memiliki aktor di luar dirinya yang memiliki pengaruh dalam perkembangan identitas seseorang. Mengacu pada contoh tersebut, kita bisa merefleksikan dengan gagasan Goffman (dalam Jenkins, 2008) “impression management strategies” dalam konstruksi identitas. Hal tersebut mendramatisir hubungan antara self image dan publik image (Jenkins, 2008). Pengelolaan kesan untuk menarik perhatian menjadi aspek performatif identitas dan menjadi pembuktian fakta bahwa identifikasi adalah aspek rutinitas kehidupan sehari-hari.

Dibalik segala wacana tentang identitas Adele dan Emma, wacana peran dan hubungan hadir di dalam film ini. Emma hadir sebagai sosok lesbian yang sudah mengadopsi nilai-nilai maskulin. Beberapa adegan memperlihatkan betapa nilai serta peran heteronormatif masih bekerja dalam pasangan homoseksual. Adele yang melakukan peran domestik seperti memasak, mencuci piring, sedangkan Emma lebih cenderung melakukan peran publik seperti pengambilan keputusan.

*Nursyafira Salmah adalah mahasiswa FISIP Universitas Indonesia yang sedang meneliti transgender female to male. Penulis juga pernah magang di Suara Kita.