Oleh: SULFIZA ARISKA*
Suarakita.org- LI WEI memasak spaghetti dengan cinta. Ia merebus pasta dengan kematangan al dente* yang sangat sempurna. Saat menumis bawang putih, cabe rawit, udang, dan paterseli; keharumannya mengalahkan farfum Bvlgari. Ketika pasta disajikan dengan tumis itu, kelezatannya tidak ada duanya sebagaimana cintanya yang ia bawa mati.
Lima jam sebelum hilang, Li Wei menuturkan pengakuan yang membuat langit retak. “Aku mencintai Zhang Yong sebagaimana aku cinta memasak spaghetti,” tuturnya sambil memamerkan foto-foto mesra bersama kekasihnya. “Ia berasal dari keluarga peranakan Tionghoa yang tinggal di Italia. Kami berjumpa di Piazza San Marco dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bila berkeringat, bau ketiaknya mengingatkanku pada aroma spaghetti,” jelas putra tunggal kami itu.
Kami tidak keberatan Li Wei jatuh cinta di usia yang masih sangat muda. Bukankah cinta tidak mengenal usia? Kami juga tidak risau kelak Li Wei akan meninggalkan kami dan memilih jalan hidupnya sendiri. Kami sadar. Li Wei bukanlah sepenuhnya milik kami. Dirinya putra Sang Hidup yang rindu menjadi dirinya sendiri**. Tapi yang tidak bisa kami mengerti, Li Wei jatuh cinta pada sesama laki-laki.
Mata kami terbelalak menatap lima lembar foto yang diserahkan Li Wei. Jemari suamiku, Wang, gemetar. Dadaku berdebar kencang. Foto pertama, Li Wei bersama kekasihnya mengayuh gondola dan mengarungi laguna. Masih wajar. Foto kedua, sang kekasih merangkul bahu Li Wei dengan latar belakang Trevi Fountain. Tampak bersahabat. Foto ketiga, sang kekasih merangkul pinggang Li Wei di sisi sebuah pilar Panthenon. Mulai aneh. Foto keempat, sang kekasih mencium pipi Li Wei—mungkin diambil dengan selfie. Mulai tidak wajar. Foto kelima dan terakhir, sepasang laki-laki itu bercumbu dalam satu selimut. Benar-benar kurang ajar! Bagaimana mungkin kami bisa menerima penghinaan ini? Sebelum foto-foto itu singgah di tanganku, Wang telah merobek semuanya menjadi kepingan-kepingan kecil.
“Kurang ajar!” bentak Wang.
“Aku mencintainya, Papa,” ujar Li Wei tenang dan tanpa emosi. Tampaknya, ia telah lama mempersiapkan diri menghadapi reaksi kami.
“Cinta tai kucing!” sanggah Wang sambil bangkit dari duduknya. Tiga detik kemudian, telapak tangannya yang kasar dan lebar, menyambar pelipis Li Wei. Pemuda berusia enam belas tahun itu tumbang ke lantai. “Minggat dari rumah ini. Dan jangan pernah kembali sebelum kamu mengubah ucapanmu.”
Li Wei bangkit dari lantai pualam. Sambil menyeka darah segar yang menitik di ujung bibirnya, ia melangkah ke mulut pintu. Ia tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuh dan dua lembar uang sepuluh ribu di saku kemeja putih. Aku tidak bisa mencegah, berharap Li Wei akan berbalik, dan—sebagaimana Wang—ingin Li Wei menarik ucapannya yang membuat langit retak.
***
Hari itu. 13 Mei 1998. Li Wei melangkah pergi. Ia tidak pernah kembali. Ia tidak pernah pulang ke rumah ketika Natal ataupun Tahun Baru Imlek sebagaimana kebiasaannya. Jenazahnya pun tidak pernah ditemukan. Sampai hari ini.
Meskipun demikian, Li Wei kadang-kadang berada di rumah dengan cara yang jauh lebih sulit kami mengerti daripada cinta sejenis. Ia datang bersama kabut senja, menguak pintu yang terkunci. Menggoyang-goyang semua lampu gantung. Lalu, terdengar kesibukan di dapur.
Aku dan Wang menyaksikan piranti memasak melayang-layang tanpa ada tangan yang memegangnya. Kompor gas menyala. Pasta jenis spaghetti, bawang putih, udang jerbung, botol minyak zaitun, dan daun peterseli***; berpindah-pindah tempat dalam sekejap. Aroma tumis menguar lantang. Terakhir, spaghetti terhidang di meja makan.
Dokter dan psikolog menduga kami mengalami delusi. Kami pun menjalani berbagai terapi. Tapi, tidak ada satupun terapi yang bisa mengusir Li Wei. Ia selalu datang setiap malam.
“Tidak ada orang yang bisa memasak spaghetti tanpa wujud fisik,” tutur psikolog terakhir yang kami datangi. Ia benar-benar putus asa menatap kami dan spaghetti masakan Li Wei yang terus-menerus kami bawa setiap sesi terapi.
“Saya pecinta masakan Italia dan tergila-gila pada spaghetti,” tutur Dokter terakhir yang kami jumpai. “Tapi, baru kali ini saya mencicipi spaghetti dengan cita rasa paling juara.” Dokter ini tidak banyak membantu, tapi terang-terangan minta dibawakan spaghetti masakan Li Wei.
Li Wei tidak pernah menampakkan wujudnya. Kamarnya yang selalu kubenahi, tetap tidak berubah. Bila kau menaruh setangkai mawar di meja belajarnya, maka bunga itu akan tetap berada di sana, hingga mengering, lapuk, hancur, dan menyatu bersama serbuk-serbuk debu.
***
Li Wei terus datang untuk membanting pintu, menggoyang lampu gantung, dan memasak spaghetti. Keluarga dan para kerabat menyarankan agar kami membangun makam untuk Li Wei.
“Memang sangat berat,” tutur sepupuku, Wen Fu, ketika aku bertamu ke rumahnya untuk mengungsikan kepedihanku. Wen Fu juga kehilangan putra tunggalnya, Li Qiang, pada hari yang sama. “Aku merasakan kepedihanmu.”
Persoalannya, Wen Fu masih sempat mengucapkan kalimat terakhir yang indah sebelum Li Qiang menghilang. Wen Fu melambaikan tangan dan mengatakan “Wo ai ni****, Li Qiang.” Li Qiang balas melambaikan tangan dan menyahut, “Wo ai ni, Mama.” Sedangkan diriku? Alih-alih mengucapkan kata-kata manis pada Li Wei, aku turut geram dan membenarkan sumpah serapah Wang. Itu yang membuat hatiku masih terasa dirajang sampai sekarang.
Wen Fu melanjutkan. “Namun, makam Li Wei harus segera dibangun. Agar roh Li Wei tenang dan tidak kembali pulang hanya untuk memasak spaghetti.”
Atas saran Wen Fu dan dukungan keluarga, kami membangun makam untuk Li Wei. Makamnya terletak di sisi makam anggota-anggota keluarga kami yang hilang pada Mei 1998. Semuanya makam tanpa jenazah. Di pusara mereka, terpendam barang-barang pribadi almarhum. Pada pusara Li Wei, kami tidak lupa memendam piranti untuk memasak spaghetti.
Kedatangan Li Wei untuk memasak spaghetti terhenti sementara. Hati kami pun mulai tenang. Untuk melepas kepenatan kronik yang membengkak di otak kami selama bertahun-tahun, aku dan Wang berlibur ke Tiongkok dan beberapa negara di Eropa.
Akan tetapi, alangkah kagetnya kami. Ketika kami kembali ke Tanah Air dan menjejakkan kaki di halaman rumah, pintu rumah terkuak lebar. Dari arah dapur, aroma bawang putih dari tumis untuk spaghetti, menendang-nendang indra penciuman. Tepat ketika menginjakkan kaki di dapur, semangkok spaghetti hangat melayang lima senti di depan hidung kami dan mendarat di daun meja. Alih-alih menenangkan diriku, Wang morosot ke lantai dan terbaring lemah serupa setangkai bunga yang layu terlalu cepat.
“Barangkali ada barang Li Wei yang belum dimakamkan,” ujar Wen Fu ketika aku menumpahkan kebingungan dan ketakutanku padanya. “Sesuatu yang berharga.”
“Tidak ada,” bantahku. “Sungguh. Bahkan, potongan kuku Li Wei di hari terakhirnya, turut kami pendam dalam makamnya.”
“Kamu yakin?” tanya Wen Fu. Mata adikku itu menerobos jiwaku. Membuat kau tidak bisa menutupi pertengkaran di hari terakhir itu.
“Tidak, Wen Fu!” sahutku sambil menghambur ke pelukan Wen Fu. Airmata yang selama ini membeku di kedalaman hatiku, tiba-tiba mencair dan membanjir laksana gletser. Peristiwa pertengkaran itu mencurah sudah.
Wen Fu mendengarkan tuturku dengan tenang. Setelah kubagi peristiwa itu, aku mulai menemukan kedamaian. Dan semakin damai ketika Wen Fu mengatakan, “Aku sudah lama mengetahui Li Wei gay. Tapi, selebihnya Li Wei anak yang baik. Zhang Yong juga pemuda yang baik. Bagiku, dosa ataupun surga-neraka—semuanya Tuhan yang menentukan.”
“Jadi, kamu mengenal kekasih Li Wei?”
“Ya, aku mengenalnya. Malah, hubungan kami cukup dekat. Tahun lalu, Li Wei pernah membawanya ke rumahku untuk merayakan Tahun Baru Imlek. Mereka seolah memiliki tubuh dan wajah yang sama. Hanya ‘satu’ yang membedakannya. Bila kau bertemu dengan Zhang Yong, kau pasti tahu.”
Wen Fu melanjutkan, “Barangkali ada barang yang pernah dititipkan Li Wei pada Zhang Yong. Sesuatu yang berarti bagi Li Wei. Bagaimanapun, benda titipan tetaplah milik pribadi Li Wei. Aku akan menelepon Zhang Yong. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita perbaiki.”
Tiga hari kemudian, Zhang Yong terbang ke Jakarta dan menyambangi rumah Wen Fu. Andai Wen Fu tidak memberi tahu diriku lebih dulu, aku pasti mengira Li Wei yang kembali pulang. Hanya ‘satu’ yang membedakan Zhang Yong dengan Li Wei. Sebelum menghilang, Li Wei pun pernah mengatakan pada kami. Entah bagaimana, setiap Zhang Yong berkeringat, ketiaknya beraroma dengan spaghetti. Tajam dan gurih.
Zhang Yong mahir berbahasa Mandarin dan bahasa Indonesia dengan logat Jawa. Menurut Zhang Yong, orangtuanya lahir di Madiun. Pada masa maraknya anti-China tahun 1960-an dan tuduhan PKI pada warga peranakan, kedua orangtuanya terbang dan menetap di Italia. “Mama-Papa mengajarkan bahwa Tanah Air saya tetap Indonesia,” tutur Zhang Yong.
Selanjutnya, Zhang Yong melepaskan cincin berlian dari jari manisnya—dari lehernya. “Barangkali, cincin ini yang ditunggu Zhang Yong,” tuturnya sambil menyerahkannya ke tanganku. Suaranya berat, membendung hujan air mata.
Pada cincin itu, terjalin nama Li Wei dan Zhang Yong dalam aksara kaligrafi China.
Menjelang senja, kami memendam cincin tersebut di pusara Li Wei. Dan, berakhirlah kedatangan Li Wei hanya untuk memasak spaghetti! […]
Catatan:
*al dente: matang, tapi belum terlalu lembek
**digubah dari Khalil Gibran: Anakmu bukanlah milikmu. Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu menjadi dirinya sendiri…
***diadopsi dari resep masakan ‘spaghetti aglio olio’
majalah Femina No. 43/XXXVIII 6-2 November 2010
*SULFIZA ARISKA Pemenang unggulan sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Tahun 2014, ia terpilih sebagai penulis emerging Indonesa dalam Ubud Writers and Readers Festival di Bali.