Search
Close this search box.

Paduan Suara dan Orientasi Seksual

Oleh : Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- Saya ingin berbagi pengalaman saya selama bergabung dalam paduan suara di kampus saya.

Pada awalnya, sebagai seorang gay tentu saya ingin sekali mendapatkan tempat yang bisa menampung “bakat” dan minat saya. Dan mengingat atmosfir di perguruan tinggi sangat berbeda dengan semasa di SMA yang bisa berleha-leha tanpa tugas. Sehingga saya benar-benar membutuhkan tempat untuk bisa melepaskan stres.

Diawali dengan audisi kecil yang diadakan oleh panitia saat itu, saya pun mencoba untuk ikut dan ternyata saya lolos. Masih ingat waktu itu saya membawakan lagu dari Celine Dion yang berjudul To Love You More dengan aransemen versi Glee.

Satu tahun bergabung di kelompok yang hampir setiap hari bernyanyi ini tentu membuat saya nyaman. Selain karena hobi saya bisa tersalurkan, di sini orientasi seksual saya tidak menjadi masalah. Bahkan sang pelatihnya pun seorang gay, dan ada beberapa teman saya juga yang mengaku gay pada saya. Kami semua begitu nyaman dengan lingkungan yang ada. Suasana yang tak mungkin kami dapatkan jika kami bergabung dalam Rohis kampus.

Namun apa sebenarnya yang membuat Paduan Suara menjadi seolah-olah “sarang” bagi LGBT. Ternyata akhir-akhir ini saya baru menyadarinya. Di paduan suara, tidak ada batasan bahwa laki-laki harus bertingkah seperti mainsteam-nya. Dengan kata lain, tidak adanya batasan dalam berekspresi dalam paduan suara. Semuanya begitu bebas lepas dan tidak ada yang merasa dirugikan. Bahkan saya tak jarang usil untuk ikut-ikutan bernyanyi bersama perempuan menggunakan falsetto[1]saya.

Dalam paduan suara kita ditentukan atau diberi label berdasarkan suara kita. Ada Sopran untuk suara tinggi perempuan, Alto untuk suara rendah perempuan, Tenor untuk suara tinggi laki-laki, dan ada Bass untuk suara rendah laki-laki. Namun ingatkah kalian dengan Kurt Hummel yang diperankan oleh Chris Colfer dalam serial Glee? Dia adalah seorang laki-laki yang memiliki suara lebih tinggi dari seorang Tenor. Atau bisa dikatakan suaranya setara dengan Alto pada perempuan. Atau dari dalam negeri, kalian tahu tentang Boy Sopranos? Kelompok didikan Erwin Gutawa yang terdiri dari tiga orang anak laki-laki yang memiliki tingkat suara Sopran. Atau ada juga salah satu personil Pentatonix, Mitch Grassi, yang juga sama memiliki suara unik.

Di kalangan perempuan pun, tak aneh jika mendengar ada perempuan yang memiliki suara yang lebih rendah dari batasan mereka yaitu Alto. Ada Mariah Carey yang bisa mencapai nada-nada rendah dengan begitu baik, begitu pula Beyonce. Ada juga Aretha Franklin, Nina Hagen, dan Nete Sangalo yang bisa mencapai nada G2 yang mana nada itu hampir mustahil dicapai oleh perempuan pada umumnya. Juga ada Ana Carolina yang warna suaranya seperti seorang Tenor.

Saya juga menemukan adanya kebudayaan unik dari Alaska. Yaitu tarian yang menirukan gerak gerik beruang kutub dan kemudian para perempuannya bernyanyi dengan suara yang rendah setingkat dengan Tenor pada laki-laki. Pada awalnya saya mengira memang laki-laki yang sedang bernyanyi namun ternyata seorang perempuan.

Di Eropa, kategori-kategori out of the box ini sudah ada klasifikasinya. Pada laki-laki yang bersuara lebih tinggi dari Tenor biasa disebut dengan Counter-Tenor. Pada anak-anak ada yang disebut Male-Sopranos. Pada perempuan yang memiliki suara lebih rendah dari Alto bisaa disebut Contralto.

Nah, dalam paduan suara sendiri, suara-suara unik seperti itu sangatlah dibutuhkan. Selain jarang adanya, suara-suara unik seperti itu bisa menjadi nilai lebih dalam suatu pertunjukan paduan suara atau juga vokal grup. Karena keunikan yang ditampilkan biasanya bisa memukau penonton.

Jadi, berbeda dari mainstream bukan berarti sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang buruk. Orang-orang yang saya sebutkan di atas sudah membuktikannya. Dengan keunikan yang mereka miliki, justru mereka mampu berkarya lebih dan bisa berprestasi.

Kenapa kita harus malu dan minder dengan ‘kelebihan’ kita? Toh itu anugrah. Ya kan?

 

*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung.

 

Catatan kaki

[1] Falsetto adalah suara ‘palsu’. Dengan kata lain bukan suara yang kita gunakan untuk bicara. Falsetto digunakan untuk mencapai nada yang tinggi.