Search
Close this search box.

[CERPEN] Sarah

Oleh Kalamita*

Suarakita.org- Namaku Sarah. aku bukanlah seorang penulis, apalagi bermimpi akan menjadi penulis besar. Bahkan aku sendiri tidak terlalu yakin, apakah mampu menulis dengan baik. Namun kini harus mulai menulis, dengan melatihnya setengah jam sehari, seperti membuat catatan harian yang akan dibaca sendiri, dan, jika beruntung, dibaca oleh orang lain. Beginilah ceritanya…

 

***

 

“Hei, jangan berisik! Main kok musti teriakan! Bandel sekali anak-anak ini!”

Keluhan rutin yang terlontar dari rumah di sebrang. Teriakan milik wanita lanjut usia dengan wajahnya yang penuh dengan ukiran keriput serta rambut yang tertimbun uban. Seorang tetangga yang paling rajin mengurusi suara gaduh anak-anak bermain. Entah apa yang mengganggunya, atau mungkin dia memang memiliki kebencian akan diriku.

Ah… Kenapa memikirkan dapur kehidupan tetangga. “Fadlan, tolong mainnya jangan terlalu berisik ya, atau kalian bermain di dalam saja. Mama sudah buatkan cemilan untukmu dan temanmu…” Pintaku pada anakku, yang kini telah berusia tujuh tahun, dan baru masuk sekolah dasar kelas satu.

“Ya Ma… Sebentar lagi!”, balas Fadlan. Sebuah kalimat yang rajin diungkapkan jika diminta untuk berpindah main. Begitulah perilaku bocah. Dunia anak-anak yang penuh petualangan dalam teka-teki permainan, meskipun tidak semua orang menyukainya. “Nah, gitu. Didik anakmu yang benar, jangan nanti besarnya seperti dirimu!”, lanjut tetanggaku itu. Aku hanya membalasnya dengan senyuman getir…

 

***

 

“Fadlan, nanti Mama akan pulang malam lagi. Kamu tidur sama mbok Warti ya. Mama sayang kamu.” Setelah berpamit dan mengecup keningnya, seperti biasanya, aku memberikan wejangan kepada mbok Warti. Mbok Warti adalah pembantu kami, dia telah menjadi bagian dari keluarga ini sejak Fadlan masih bayi berusia tiga bulan. Kehadirannya sangat membantu diriku. Terutama setelah suamiku menikah lagi dengan wanita lain, aku pun disibukan pada dual aktivitas.

 

***

 

Malam merambat begitu perlahan di kafe ini. Tubuhku membeku seperti boneka tolol dalam buaian pendulum waktu. Saat menghabiskan tetesan terakhir kopiku, mendadak kedua bola mata ini tertuju pada tubuh rapuh meski sinar wajahnya merebak sesuatu yang membuat hati menjadi teduh. Tak kuasa, kakiku tergelitik untuk singgah di meja bar itu…

“Apa kabar?”, tanyaku.

Pria rapuh  bergeming.

“Namaku Sarah…”, lanjutku untuk suatu percakapan semu.

“Aku baik, aku Kemal. Kau mau minum apa? Biar kupesankan sekalian.”, jawabnya dengan suara tegas dalam intonasi yang lembut.

“Kopi hitam saja, dan sedikit dicampur whisky. Mereka sudah hafal minumanku.”, jawabku.

 

Kami pun berpindah bloking yang remang, larut dalam cairan penghangat tenggorokan pada bangku kesendirian masing-masing. Percakapan melankolia bercampur, membingkai tepat di atas ruang kami duduk, terlena. Tanpa terasa, jam menunjukan pukul dua belas lewat tiga puluh lima menit.

“Maaf Kemal, aku harus pulang, sudah janji pada anak untuk tidak bermalam di luar. Mungkin lain kali kita bisa ketemu lagi”.

“Ah, boleh minta nomermu saja? Biar aku mudah menghubungimu…”, pintanya. Sambil memberikan kartu namaku, berpamit, kembali ke rumah.

“Hati-hati Sarah, sampai ketemu lagi…”

 

Pukul tujuh kurang lima belas… Secepat kilat, aku menuju kamar mandi, aku kesiangan, sesudahnya, sambil berdandan menuju ruang makan.

“Fadlan, hari ini kamu ada acara periksa kesehatan di sekolah kan? Kamu ok?”, tanyaku sambil menyiapkan roti selai untuknya.

“Siap dong Ma. Aku kan kuat. Mama nanti bisa jemput aku pulang sekolah?”, pintanya.

“Mama usahainn ya… Mama belum tahu. Kamu tahu, ini hari besar buat Mama. Kalau sukses, kita jalan-jalan! Ajak mbok Warti juga…”, rayuku seperti biasa, dan, berhasil juga.

 

Hari ini di salonku cukup bising dan penuh kejutan meski begitu tidak menyurutkan semangatku untuk tetap berkreasi dan memberi semangat pada para karyawan. Maklum, setelah bertahun lamanya, akhirnya salonku menerima pesanan sebuah pernikahan untuk seorang anak konglomerat di Jakarta yang namanya cukup tenar. Ini akan membantu menaikan nama salonku juga, yang berarti, kesejahteraan buat keluarga besarku di rumah dan di salon.

“Ita, salon kutinggal sebentar, mau jemput Fadlan. Tolong cek kebutuhan dengan detail. Sekitar jam lima sore aku balik lagi”.

“Siap, mbakku yang cantik.., secantik bidadari dari negeri khayangan, jangan kuatir, semua pasti beres!”, jawab asisten setiaku. Seorang waria bernama Lolita.

“Ok. Cinta deh sama jari lentikmu yang baik hati itu, Ita!” Gegasku sambil tersenyum.

 

Setibanya di sekolah, tepat beberapa saat sebelum bel sekolah berbunyi. “Ma, tadi aku dapat susu karna gak nangis pas disuntik.” Hmm… Anak yang kuat dan tegar. Meski kesedihan tetap menyelimuti taman hatiku yang sering membuat otak dan nadiku kaku seperti es batu.

“Fadlan, setelah mandi dan makan, kita ke salon ya. Mama janji mau kembali ke salon jam lima sore. Sekarang sudah jam setengah empat sore. Semoga gak macet deh jalannya…” Tanpa membalas dengan kalimat, wajahnya mengumbar riang layaknya bocah mendapat lolipop. Setibanya di rumah, Fadlan langsung bergegas sambil memanggil mbok Warti dan bercerita penuh semangat jika dia akan diajak olehku ke salon.

 

Kring… Kring… Bunyi selular meruak dari lubang retsleting tasku. “Ya, halo. Ini siapa?”, tanyaku.

“Ini aku, Kemal. Masih ingat? Apa kau sibuk hari ini?” Seketika waktu mendadak beku sejenak.

“O… ya, ini Sarah, ini nomermu? Apa kabarmu?”

“Aku baik… Ya, ini nomerku, simpanlah. Aku menelpon mau mengajakmu makan malam, apa kau bisa?”, tanyanya.

“Hmm… Aku lumayan padat, salonku sedang menerima order besar. Tapi kita bisa ketemu untuk makan malam. Aku akan ajak anakku. Apa kau keberatan?”

“Ok. Tidak, aku tidak keberatan. Ajaklah, aku juga ingin kenalan dengannya… Ok, kita ketemu di Cwie Mie TB Simatuang jam delapan ya. Sampai nanti…”

 

Tepat pukul lima lewat sepuluh menit, kami tiba di salon. Keriuhan dan gema sibuk menyeruak saat pintu masuk terbuka. Fadlan pun langsung berlari kecil menghampiri Lolita. Lolita tanpa basa-basi langsung menyodorkan pahanya seperti sebuah bangku taman untuk Fadlan. Setelah mengecek ulang segala perlengkapan yang akan dibutuhkan untuk dibawa pegawaiku pukul setengah enam nanti. “Fadlan ganteng, hari ini kamu ngapain aja di sekolah? Ceritain Tante dong, kan kita udah lama gak bergosip…” Celoteh Lolita pada Fadlan. “Eee… Aku…”, jawab Fadlan. Demikian percakapan pun terjadi semakin seru dalam dunia bergosip… “Fadlan, ayo kita pulang. Tapi sebelumnya, kita makan malam dulu ya. Nanti di sana kita ketemu sama kawan Mama.” “Iya Ma… Aku pernah kenal?” “Belum… Makanya Mama mau kenalin kamu. Kamu pasti suka… Dia baik…” “Wah, Mamanya Fadlan mau dinner nih? Seru dong!”, canda Lolita. “Ah, kamu itu. Selalu usil, jangan keceplosan ya!”, celotehku tersipu. “Ma, ayo!”, pinta Fadlan.

 

Setibanya di Cwie Mie, di TB Simatuang. “Kamu pasti si jagoan Fadlan ya?”, tegur Kemal mengawali keakraban yang temaram.

“Iya. Oom siapa?”, jawab Fadlan spontan. “Saya Oom Kemal, kawan Mamamu, yang baik dan tidak sombong!”, celoteh Kemal dengan ekspresi kekanak-kanakan.

“Ayo, kita masuk dan cari tempat duduk”, pintaku. Kehangatan makan malam menghiasi kami bertiga. Bahkan Fadlan pun memiliki nafsu makan yang sudah cukup jarang dia ekspresikan. Malam kian larut, rintik hujan membasahi pelataran dalam iramanya, mengetuk benda-benda yang tersentuh.

“Sebaiknya kita pulang ya, Fadlan juga sudah tampak lelah. Besok dia masuk sekolah pagi.”, pintaku.

“Akan ku antar kalian sampai di rumah. Ini sudah malam, aku merasa kurang nyaman membiarkan kalian pulang dengan taksi.”, jawab Kemal.

 

Setibanya di rumah, “Sebaiknya aku langsung saja, tidak enak dengan tetanggamu. Lain kali mampir di waktu yang tepat. Selamat istirahat…”, dan mobilnya bergerak tipis lirih, bersiap tinggalkan rumahku. Sambil berjalan pelan seperti seorang maling yang sedang mengendap, memasuki sebuah rumah, aku menggendong Fadlan yang kian nyenyak dan akhirnya terbuai nyaman pada lembut dipan kereta apinya.

 

Waktu berlaku cepat. Segala hal terkesan begitu indah tanpa kesia-siaan. Tanpa kusadari, kenyataan memperlihatkan padaku, jika Fadlan akan memulai perjuangan hidupnya, dan inilah saatnya bagiku untuk melepasnya dengan perlahan. Ya, kini Fadlan telah berusia dua puluh satu tahun. Sedangkan profilku tergambar menua, digarisi oleh keriput, merenggangkan selaput kulitku. “Ma, aku sudah dapat kost yang murah dan dekat kampus. Mama gak papa tinggal sendirian di rumah kan?,” tanya Fadlan padaku.

“Gak papa. Mama kan wonder woman!” Sambil tersenyum kulihat wajahnya mulai tenang. Bagaimana pun, aku masih sering melihatnya seperti masih balita, dan tidak ingin membuat dirinya kuatir. Namun kini, saatnya untuk Fadlan melihat dunia dengan kedua matanya, juga pikirannya. Bandung menjadi kota pilihannya untuk bereksplorasi.

“Besok aku mulai pindahan. Kalau Mama mau ikut boleh. Kita bisa naik kereta api atau Mama mau naik mobil?” “Senyamanmu… Mama bisa naik apa saja.”

 

Waktu berlalu dalam kesendirianku. Meskipun Lolita tetap setia menemaniku di saat yang muram sekalipun. Tak jarang pula menginap di rumahku hanya untuk berbagi banyolan khas Lolita yang unik, bahkan terkadang terkesan menjijikan bagi yang asing mendengarnya. “Fadlan, apa kamu akan pulang tahun baru nanti?”, tanyaku dalam percakapan telpon.

“Belum tahu, Ma. Fadlan ada undangan pesta tahun baru tapi lihat nanti ya…”, jawab Fadlan dengan suara basnya dari balik jaring speaker selularku. Namun sesuatu terasa mengganjal perasaanku. Belakangan Fadlan seperti menjauh dan jarang sekali pulang. Bahkan terdengar sayup dalam percakapan udara, klitik rahasia menyelimuti suaranya. Apa yang sebenarnya terjadi?

 

Hingga pada suatu waktu; “Sarah? Apa kau masih mengingatku?”, sayup suara yang tak asing, suara yang telah lama menghilang, yang kupikir memang pergi meninggalkan, seperti para pria yang selama ini sekedar mampir dalam waktu sepiku. “Ya, Kemal. Apa kabarmu? Apa kau baik-baik saja?”, jawabku. “Aku merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu, berdua.”

 

Pada malam yang berbeda, di kafe tempat kami pertama bertemu…

“Kau tahu, Sarah. Hampir setiap saat aku memikirkanmu. Memikirkan keadaanmu, apa kau baik-baik saja, apa kau juga memikirkanku dan banyak kalimat yang dimulai dengan kata apa. Semakin aku menghapusmu, semakin mengingatmu. Aku mencoba bertahan, selama ini, aku bertahan untuk tidak menghubungimu. Aku terlalu takut, terlalu takut untuk menjadi bisa dan menyakitimu.

Masa laluku masih sering menghantuiku. Perpisahaanku dengan almarhumah istriku, sebuah perpisahan yang tak pernah aku inginkan. Lalu masa-masa kegelapan yang menyelimuti hidupku bertahun lamanya, hingga kita bertemu.

Kita bertemu di tempat ini, di mana untuk pertama kalinya aku mencoba membuka masa depan dengan melihatnya sebagai sebuah harapan dengan cahaya seperti sinar matahari yang memberi nafas baru pada pagi yang asing di bumi.

Aku mengingatmu, Sarah. Aku mengingatmu hingga ke lorong sunyi, kesendirianku ini, bukan kesendirian yang kuinginkan. Aku sakit… Penyakit yang mungkin takkan ada penawarnya selain kematian menjemputku.

O Sarah… Semua begitu penuh dalam otakku, aku percaya kau akan menjadi penawarku. Tak ada seorang pun yang pernah berkunjung atau ku kunjungi selain makam istriku. Aku terlalu mencintainya, dan aku buta. Aku hancur, aku telah berkeping. Kau datang, tersenyum padaku, aku menerimanya seperti seorang bayi yang menjerit dahaga, dan kau adalah ibu yang akan memberikan kehangatan jiwa dan tubuhku. Tapi aku takut akan menyakitimu. Aku sangat membutuhkan dirimu, Sarah. Aku ingin menghabiskan waktuku hanya bersamamu, aku merasa nyaman berada di dekatmu…”

 

Tak kuasa tanganku menggenggam erat tangannya. Lalu kubelai separuh wajahnya; “Aku juga merindukanmu…”, jawabku lirih dalam bahasa yang tak lagi tertib, persetan dengan kesantunan aksara, kebebasanku dengannya akan dimulai detik ini.

“Selama ini, aku berpikir, kau pergi meninggalkanku dengan berbagai macam alasan, alasan yang terkadang aku enggan untuk mendengarnya, seperti kebanyakan pria yang mampir sekedar dan kemudian bergegas pergi untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Aku pun tak kuasa untuk meminta, aku sangat sadar akan diriku. Semua memang berlalu dalam ruang sempit yang sering membuatku terhimpit, tersudut di sebuah dinding tanpa lubang. Aku hanya mendengar teriakan batinku.

Gaung teriakan seorang orangtua tunggal, seorang waria, seorang Ibu berkelamin penis, bahkan memiliki seorang anak yang mungkin akan membencinya. Seluruh kepercayaanku akan satu hubungan yang abadi hanya antara diriku dan nafasku. Selain itu hanya kelabu, sepi, dan hampa.

Suami yang telah menikahiku, berjanji di altar, pergi meninggalkanku untuk seorang wanita yang sesungguhnya. Kembali ke negaranya berasal. Meski pada saat awal, setelah pernikahan itu, kami sepakat mengadopsi seorang anak, dan kami berdualah yang memilih Fadlan untuk kami jadikan anak, demi melengkapi arti rumah tangga. Masa-masa penuh canda bahagia hanya bertandang enam bulan dan mendadak hilang. Aku hancur, tapi Fadlan telah membangkitkan semangat hidupku. Hingga kini…”

 

Sesaat kami berdua diam dalam gemuruh bahasa malam yang dingin, dalam alunan musik jazz yang mengajak imajinasi berkeliling, dalam secangkir kopi berwhisky, dalam simpuh bangku masing-masing. Ada yang terbentang, meski sesaat, seperti sebentang tali tambang yang kokoh dan selalu siap menahan beban terberat. Kami saling menatap… Ada lalu lintas kimia di antara sorot mata kami berdua. Percikan atom serta molekul yang mampu membuat kami berdua hanyut ke dalam banjir kehidupan cinta asmara yang buta.

Tapi seketika, sebuah tanda seru mengetuk dengan tegas, tepat di atas kepala kami berdua. Kami telah berusia, telah mengalami pahit getir langkah rahasia kehidupan, kami bukan lagi remaja yang menggila tertusuk panah bayi Cupid. Tidak, tidak untuk kami berdua. Kami berada dalam ruang sadar dengan telisik rindu masing-masing. Kami adalah dua manusia yang menginginkan kebersamaan dalam hari-hari tenang dan damai hingga malaikat menjemput kami kembali.

 

Hari pun tiba, di mana segala kegelisahanku terwujud nyata. “Selamat ya Ma. Semoga Mama dan Oom Kemal bahagia selamanya. Fadlan bahagia melihat Mama akhirnya tersenyum lepas.”,  ucapan dari anakku yang akhirnya mengunjungiku tepat di hari pernikahanku.

“Selamat ya Mbak. Semoga dikaruniai kebahagiaan dan anak lagi. Anak kucing aja kaleee… Hihi…”, celoteh Lolita. Kemal menatapku dengan sorot kehangatan yang meneduhkan.

 

***

 

Kisah ironi pengusaha sukses yang tidak lain adalah seorang waria telah ditemukan tewas, termutilasi di tangan suaminya. Sedangkan sang suami bunuh diri dengan menggantung dirinya dengan sebuah dasi dan berpakaian jas lengkap, tepat di samping jasad istrinya yang dia telah didandani layaknya sepasang pengantin oleh si pelaku…” Sepenggal berita yang terbaca di sebuah media cetak pagi ini oleh Fadlan, yang membuatnya muak, semuak dirinya pada pihak polisi yang telat mengabarkan berita ini padanya.

Hal yang lebih membuatnya muak, kabar ini diterima adalah tepat sehari sebelum wisudanya. Meski dia telah berusaha tiba setepat mungkin tapi dia tidak pernah dapat bertemu jasad Ibunya untuk terakhir kalinya, dia hanya berjumpa tumpukan bunga di atas tanah basah dengan coretan nama dan waktu kelahiran kematian di papan nisan berwarna cokelat gelap.

Tanpa berpikir panjang, seluruh pesan yang pernah ditanamkan oleh Ibunya hilang dalam sekejap dan Fadlan pun meninggalkan begitu saja kesempatannya menjadi seorang sarjana muda yang rencananya akan dilanjutkan berkuliah di sebuah universitas terkemuka di Eropa dengan beasiswa.

Kehilangan dalam kecewa mengawali kehidupan Fadlan…

 

“Fadlan, Tante mau keluar sebentar, mau belanja kebutuhan rumah, sudah pada habis. Ada mie goreng yang masih hangat kalau kamu ingin sarapan…”.

“Ya Tante. Nanti aku keluar… Makasih”.

Lolita pun pergi. Sudah hampir dua tahun setelah kematian Sarah, Lolita tinggal di rumah Sarah untuk menjaga Fadlan. Sedang Fadlan sendiri hingga hari ini masih enggan menjalani kehidupannya dengan normal. Waktunya hanya dihabiskan berada di dalam kamar. Sekedar keluar untuk mengambil makanan atau menonton televisi bersama Lolita meski tidak terjadi percakapan majemuk. Lolita pun sebenarnya hancur setelah kepergian Sarah yang tidak disangka dan begitu tragis. Dia masih ingat saat pertama kalinya ditemukan oleh Sarah.

Dulu, saat belum berkenalan dengan Sarah, Lolita hanyalah seorang waria yang hidupnya di sebuah stasiun kereta api, setiap malamnya dihabiskan untuk menghibur para pekerja stasiun dan supir truk-truk besar dari sebuah usaha jasa kargo yang letaknya tidak jauh dari stasiun tersebut. Dia merasa sangat beruntung, Sarah telah mengubah cara pandang sekaligus keuangan dirinya. Kini, setelah Sarah meninggal, salon yang telah dirintis dari bawah oleh Sarah menjadi tanggung-jawabnya, sepenuhnya, karena Fadlan masih enggan menerima warisannya.

 

“Fadlan… Tante sudah pulang. Kamu masih di kamar? Mienya juga masih utuh. Kamu baik-baik saja? Ini Tante bawain es krim kesukaanmu. Sekarang kiosnya ada di sekitar market. Tante taruh di kulkas ya…”Sambil lalu, Lolita merapikan belanjaannya ke tempatnya masing-masing. Kemudian dia menuju kamar Fadlan, mengetuk, lalu membuka pintunya perlahan untuk memberitahu Fadlan jika dia akan ke salon. Namun niat itu terhenti setelah pintu kamar terbuka. Seketika itu pula tubuh menjadi kaku, terdiam, dan matanya hanya mampu menata sosok yang tengah berdiri menghadapnya.

 

“Panggil aku, Sarah. Aku bukan lagi Fadlan. Fadlan telah mati” Ungkapnya tepat di hadapan Lolita yang tengah bersiap beku, mematung. Sosok dengan gaun rok panjang nan anggun berwarna merah bata, dengan kaki bersepatu flat warna krem, serta rias wajah yang natural dan elegan, menjuntai rambut panjang palsu berwarna kecoklatan gelap. Kelompok visual yang sangat dikenal Lolita, visual dari almarhumah Sarah, Ibunya Fadlan. Belum tuntas Lolita menatap pada kosong; “Tante Ita, namaku sekarang Sarah” Lolita hanya mampu meraba pada hangat setetes air yang merayap di sela-sela bulu mata palsunya. Tanpa kata-kata…

 

Lenteng Agung, 17 Januari 2015

 

 

*Penulis adalah seorang Ibu rumah tangga, selain memiliki hobi menari dan menulis, Ia juga gemar menghabiskan waktunya dengan bermain bersama anak-anak.

Bagikan

Cerpen Lainnya