Search
Close this search box.

[CERPEN] Setitik Cahaya

Oleh: Wisesa Wirayuda*

Suarakita.org- “Tapi aku sudah banyak salah padamu. Aku sudah berkali-kali menyakitimu. Bahkan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah membuatmu menangis seperti itu.” Katamu dalam obrolan malam-malam denganku ditelepon.

“Ya. Memang aku merasakan sakit ketika aku tahu ternyata kau jatuh cinta lagi dengan orang lain. Memang aku sedih. Aku sedih karena selalu membuatmu merasa tak nyaman denganku sehingga kau berpaling.”

Aku kembali menangis. Namun aku menahannya agar tak begitu berlebihan. Hanya isakan kecil. Aku menahan tangisanku agar kau tak menyalahkan dirimu sendiri. Kali ini aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala tak percaya dengan semua ini.

“Aku memang bodoh. Aku memang egois”, katamu. Suasana mejadi hening seketika.

“Tapi, perasaan memang tidak bisa dipaksakan, kan? Jadi tak seharusnya kau menyalahkan dirimu seperti itu”, tangisanku berhenti bersamaan dengan pertanyaanku. Dan kau waktu itu hanya terdiam.

Sangat sedih ketika mendengar bahwa laki-laki menawan di sebrang pulau itu kebingungan. Dia heran tentang perasaannya pada orang lain, bingung, merasa sedang mengecewakanku, dan begitu pilu.

Apa yang bisa aku lakukan agar kau bisa kembali tersenyum? Apa yang harus aku lakukan agar hatimu kembali berbalik padaku? Apa yang harus kulakukan berikutnya? Membiarkanmu pergi dan membawa semua kenangan indah yang kita miliki atau mempertahankan dirimu?

“Seseorang pernah berkata, ‘kau ini bodoh, kau bilang bahwa pacarmu harus berjuang. Tapi dirimu sendiri yang ternyata malah menyerah.’ Dan lagi, ‘kau juga bodoh, pacarmu menduakanmu dan kau masih saja mempertahankannya.’” Kau menjelaskan itu semua tanpa memperbolehkan aku untuk memotong pembicaraanmu.

Dari perkataanmu, kau bilang bahwa dirimu bodoh karena sudah menyerah dengan hubungan kita. Padahal dirimu lah yang sudah mengajariku untuk berjuang. Mengajariku untuk menjadi laki-laki mandiri.

Dari perkataanmu itu juga, kau bilang bahwa aku bodoh karena memilih untuk memaafkanmu yang menurutmu sudah berkali-kali membuatku kecewa.

Perkataanmu itu ada benarnya, namun tak semuanya. Ada sedikit celah yang bisa kita uraikan bersama-sama. Ada setitik cahaya yang sepertinya lebih baik jika kita berfokus kesana.

Titik cahaya yang aku maksud adalah Cinta.

Masih ada benda itu di antara kita. Jadi, daripada kita berfokus untuk mengorek kesalahan masing-masing, mengapa tidak kita habiskan malam ini dengan membahas cinta?

Kau benar bahwa kau bodoh. Menyia-nyiakan apa yang kita punya sekarang dan berfokus pada apa yang tidak kita genggam. Kau menyalahkan dirimu sendiri terus menerus seolah-olah kau adalah mahkluk yang paling berdosa. Padahal sayangku, semua manusia membuat kesalahan. Bahkan aku yang menurutmu sempurna. Bahkan siapapun. Dan sayangku, melakukan kesalahan bukan berarti kau lebih rendah dari siapapun. Bukan sama sekali. Bagiku itu berarti kau sudah mendapatkan pelajaran lebih awal dari pada orang lain. Dan bukan pula artinya aku benci padamu.

Kau juga benar bahwa aku bodoh. Karena sudah memaafkan seseorang yang melakukan kesalahan berulang-ulang. Namun apakah kau tahu sayang? Aku bukanlah Tuhan yang berhak menghardik seseorang. Aku tak berhak untuk menghukummu. Aku hanyalah manusia yang belajar. Aku juga masih belajar bagaimana caranya untuk menyayangimu. Aku belajar bagaimana caranya untuk memaafkan. Aku tidak pantas untuk memberimu hukuman dan batasan. Aku tidak bisa melakukan itu pada malaikat tak bersayapku.

Dari perkataanmu tadi aku juga dapat belajar. Bahwa cinta memang tidak selalu berbentuk sekuntum bunga atau sekotak coklat. Cinta bisa juga berwujud kebohongan yang bertujuan untuk tidak menyakiti. Amarah karena takut kehilangan. Dan bahkan memaafkan sang keledai.

Cinta bukanlah kotak mungil merah berisikan cincin, namun cinta adalah bola dunia yang terus berputar. Bukan materinya namun lebih kepada makna dan cerita yang kita punya. Cinta adalah pengorbanan yang tidak sia-sia, bukan layang-layang tak bertuan yang terbang ke sana ke mari tanpa arah. Cinta adalah lagu, bukan koran di pagi hari yang kaku.

Meskipun aku menangis sekarang. Namun aku menjadi yakin, bahwa kau akan membiarkanku tersenyum lepas kepadamu setelah ini. Dan meskipun kau tidak merasa nyaman padaku belakangan ini. Aku berjanji aku akan menjadi singgahsana terbaik milikmu. Takkan kubiarkan orang lain memilikinya.

“Jadi, kau masih memaafkanku?” tanyamu perlahan.

“Ya.”

“Tapi aku…” kau mengulangi pernyataanmu di awal.

“Tak perlu alasan untuk memaafkan seseorang. Dan tak perlu alasan juga untuk mencintai seseorang. Ya kan?”

Kudengar kau menghembuskan nafas panjang. Akhirnya kau merasa lega. Dan kau bersyukur ini berakhir. Sama sepertiku. Kemudian kau berterima kasih untukku, entah untuk apa.

“Apa bisa aku percaya padamu lagi?” tanyaku.

“Aku sekarang sedang membayangkan pernikahan kita. Aku tak peduli jika kita tak bisa menikah. Aku akan tetap menikahimu. Aku sedang membayangkan pestanya, kue, orang-orangnya, dan satu lagi. Aku tak mau berjanggut di hari pernikahan kita nanti.” Katamu tanpa memperdulikan pertanyaanku.

“Mengapa begitu?” aku dibuat kagum olehnya. Ada sebercak senyum pada wajahku.

“Entahlah, aku lebih suka mukaku bersih di hari-hari penting.”

“Hei! Jawab pertanyaanku tadi.” Kataku sembari sedikit tertawa.

“Iya sayang, kau bisa pegang perkataanku sekarang dan nanti.” Jawabmu segera.

“Terima kasih”

“Seharusnya aku yang berterima kasih.” Selalu begitu jawabmu.

Namun sejujurnya aku masih takut kau akan berpaling dariku. Aku takut karena kau adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupku.

Jadi, sayang? Biarkan aku bertanya satu hal lagi padamu.

“Kau bukan keledai, kan?”

“Aku tidak tahu.” Katamu sembari tertawa. Sangat menyebalkan.

Malam hening itu kini berubah menjadi malam panjang dengan obrolan tentang setitik cahaya. Tentang cinta. Tentang kau dan aku.

 

With Love.

Bandung, 14 Desember 2014

*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.

Bagikan

Cerpen Lainnya