Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Aku begitu ngotot. Keras kepala dan tak mau mendengarkan kata orang lain. Perkataan mereka hanyalah pertanda agar aku bertindak seperti anjing yang memainkan tongkat tuannya. Mereka hanya ingin aku menarikan tarian yang mereka suruh. Dan menyanyikan lagu yang sesuai dengan suasana hati mereka, bukan hatiku. Mereka semata-mata mengkotakkan aku sebegitu kerdilnya. Sampai-sampai aku tak mengenali diriku lagi.
Perintah oramg-orang itu hanya menghalangi jalanku. Membuat barisan penghalang yang sangat kokoh. Satu juta melawan satu orang. Tentu aku tak bisa menang sampai kapanpun. Aku akan kalah sampai seterusnya, sampai hidupku benar-benar berakhir. Karena aku membiarkan mereka menang. Setidaknya untuk sekarang ini.
Jika aku mati, kupikir mungkin mereka tak akan siap. Tak ada lagi bahan bicaraan mereka di dunia ini. Mereka akan kehilangan objek pada setiap kalimat mereka. Sebuah nyawa yang biasanya mereka anggap hidup secara menderita, kemudian bisa mati. Akal logika mereka tak akan pernah menyentuh titik itu, bahkan melihat aku menderita saja mereka tak bisa. Payah!
Aku adalah nyawa. Bentukku tak lebih dari sebercak cahaya putih yang terbang kesana kemari. Aku terus saja terbang tanpa peduli pada mereka semua yang tertawa. Menertawakan yang bukan diriku. Menertawakan bentuk jasmani yang menopongku. Jasad berpenis yang aku kontruksikan berbeda. Aku hanya ingin wadah yang nyaman untukku bisa bersemayam. Sama mungkin seperti kalian yang memilih rumah kemudian mengkondisikannya sedemikian rupa agar kalian nyaman. Jadi bolehlah aku mengkondisikan ‘rumahku’ sendiri dengan kehendakku. Sebuah jasad yang aku hias sampai aku menyukainya. Jasad yang sudah menopongku 30 tahun lamanya.
Menurutku, mereka yang tertawa itu lucu sekali. Menertawakan jasadku yang terlihat berbeda dari jasad mereka. Maka dari itu, aku tak pernah marah pada mereka. Aku biarkan saja mereka. Toh, aku tidak merasakan sedang ditertawakan. Mereka menertawakan jasadku, bukan diriku yang sesungguhmya.
Ada juga mereka yang tersenyum padaku. Mereka begitu menawan, aku sangat menyukai senyuman manis mereka. Hanya saja, aku tetap bingung. Apa yang membuat mereka tersenyum padaku? Apakah karena melihat jasadku? Atau mereka memang melihat diriku jauh didalam jasadku? Atau mereka tersenyum karena aku berbeda dengan mereka? Aneh mungkin? Apakah mereka bisa melihat diriku sebagai nyawa? Melihatku jauh kedalam? Kurasa tidak. Entahlah aku selalu meragukan hal itu.
“Hey!”
Ah, suara itu lagi. Suara yang selalu mengikutiku dan selalu menggodaku. Suara dengan tawaan paling keras dibandingkan dengan tawaan yang lain. Aku benci sekali suara itu. Mengapa dia begitu gigih mengejarku?
“Tunggu dong!” dia langsung menarik tangan jasadku. Menariknya sampai-sampai aku hamper tumbang.
Aku melihat seluruh gelagatnya melalui mata jasadku. Dia lumayan juga. Senyumnya manis. Tubuhnya sedikit berotot. Namun perlakuannya padaku agak sedikit kasar. Rambutnya hitam pekat dipotong pendek mengikuti tren masa kini.
Dia menarikku agar aku mengikutinya. Sampai di sebuah tempat yang gelap, begitu basah, sedikit bersembunyi dari keramaian.
“Berapa?” tanyanya sambil sedikit demi sedikit menikmati jasadku. Mendorong jasadku ke tembok yang kasar itu. Bibir jasadku tak bisa berkata-kata entah kenapa. Dia kemudian melanjutkan meraba-raba selangkangan jasadku. Aku geli dibuatnya dan aku mulai menikmatinya. Namun dia tidak. Sesaat saja setelah dia menyentuh penis jasadku, dia melangkah mundur. Menjauh dariku sedikit.
“Kau bukan perempuan?” aku tak menerti dengan pertanyaannya. Tentu saja aku ini perempuan. Bagaimana mungkin aku bukan perempuan? Ah! Aku mengerti! Jasadkulah yang ia bicarakan. Bukan diriku yang sebenarnya.
Dia meludah ke tanah, sepertinya dia menyesal sudah mencium jasadku. Aku lihat dia mengepalkan tangannya. Aku sudah bersiap untuk satu pukulan yang segera akan aku terima. “Berani sekali kau menipuku!” dia kemudian bersiul keras sekali memanggil seseorang. Dan kemudian datanglah dua orang berpakaian serba hitam. Pria tadi langsung saja menyuruh mereka berdua untuk memberiku pelajaran karena sudah berani menipu bos mereka.
Seketika saja aku langsung membenci pria-pria ini. Pandangan mereka membuatku takut. Mereka merendahkanku. Seandainya saja mereka bisa melihat wujud asliku. Bukan jasad kaku ini.
Perlahan mereka berjalan mendekat. Sang bos sudah pergi meninggalkan kami bertiga.
“Apa yang harus jita lakukan?” Tanya si gendut.
“Entahlah, rasanya sayang kan kalu dibuang begitu saja?” kata si kurus sembari tertawa kecil. Dan seketika saja aku langsung mengerti maksud mereka itu.
Aku meronta-rontakan jasadku. Berusaha untuk menghindar dari tangan-tangan kotor mereka. Aku juga mencoba menggerakan kaki jasadku untuk menendang mereka. Namun semuanya meleset. Mereka begitu kuat, terutama si gendut yang mulai menahan jasadku agar tak bisa melawan lagi. Sedangkan si kurus mulai mengakses semua bagian jasadku.
“Ah, aku mengerti kenapa bos membuangmu.” Si kurus sampai di selangkanganku dan tertawa sendiri.
Aku masih mencoba untuk melawan sebisaku. Aku berhasil menendang si kurus tepat di kepala botaknya itu. Namun ternyata itu tidak menyelesaikan apapun. Si gendut meradang. Ia memuku wajah jasadku. Dan aku langsung saja sempoyongan jatuh. Samar-samar aku masih bisa melihat mereka berada di sekitarku. Kemudian si kurus pergi setelah meludahi jasadku dua kali.
Pendengaranku teralihkan begitu saja pada suara kokangan senjata api. Si gendut ternyata merasa belum puas sudah memukul wajah jasadku. Dia mengarahkan moncong senjatanya padaku. Dan dalam hitungan detik, butiran logam itu menghancurkan tengkorak jasadku. Setelah itu, si gendut pergi begitu saja. Keadaan mulai hening. Keramaian juga ikut-ikutan hening setelah tembakan itu.
Aku tak tahu harus apa. Jasadku takbisa bergerak. Namun aku bisa melepaskan diri dari jasadku. Aku bisa melihat polisi dan ambulan dating dalam hitungan puluhan menit kemudian.
Kulihat polisi mulai mengolah TKP. Jasadku mereka mainkan seperti korban pembunuhan lainnya. Orang-orang dari ambulan langsung saja membawanya pergi entah kemana. Sedangkan aku masih disini. Menonton apa yang akan terjadi berikutnya. Aku terbang melayang kemanapun aku mau dengan tubuh asliku. Kilasan cahaya yang tak bisa dilihat oleh siapapun.
Aku juga melihat akhirnya si gendut ditangkap karena terbukti memiliki senjata api. Namun si kurus tidak. Bahkan pria tampan itu. Pria itu dengan senangnya mengobrol dengan wanita yang baru ia temui setelah aku.
Tapi tunggu! Polisi itu mendekatinya. Membawa catatan kecil di tangannya. Meminta dengan sopan untuk sebuah jawaban.
“Aku juga kaget dengan tembakan itu. Pacarku ini juga ketakutan tadi.” Katanya sembari mengelus manja pipi wanita yang di sebelahnya.
“Apakah penembak itu salah satu dari penjaga bapak?” Tanya sang polisi.
“Ah bukan! Lihat? Semua penjaga saya pasti saya kenali. Karena aku sendiri yang memilih mereka. Aku tak kenal dengan penembak itu.
“Ah begitu. Dimana bapaksaat penembakan?”
“Saya disini.” Katanya tersenyum. Dia masih bisa tersenyum.
Aku memohon dengan sangat pada polisi itu agar berlaku adil. Namun percuma. Sekeras apapun aku berteriak padanya, dia tidak bisa mendengarkan aku. Dia hanya mendengarkan jawaban pria itu. Aku hana menatap perbincangan yang diselingi dengan banyak tawaan itu. Amat pedih aku dibuatnya.
Siapa yang bisa menolongku sekarang? Tak aka nada.apakah ini takdir? Apakah aku ditakdirkan berjalan kaki dan menikmati hinaan orang yang aku lewati di malam hari ini? kemudian dia menghampiriku? Dan setelah itu ini semua terjadi. Apakah hari ini memang sudah waktunya untukku pulang?
Kini aku sudah melayang. Tak banyak yang bisa aku lakukan lagi. Aku hanya bisa menikmati pemandangan mengerikan ini dari jarak dekat. Merasakan kengerian yang terjadi malam ini. Jasadku yang sudah menemaniku selama ini entah dimana sekarang. Aku tak bisa merasakannya lagi. Aku hanya bisa menar-nari bebas sekarang. Menari-nari bak bidadari yang sudah diperintahkan untuk pulang.
Menggunakan wujudku yang sesunguhnya, aku menari pulang.
*Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia, berdomisili di Bandung.