Search
Close this search box.

Bunga-bunga yang Terpinggirkan: Mengintip Ke Dalam Taman Lawang

Oleh:  Arief Rahardian*

Suarakita.org- “Mau kasih uang berapa?” ucapnya ketus. Kaget, kami hanya bisa saling melihat dalam kebingungan. “Oke tiga ratus ribu ya”, ucapnya dengan nada yang tak kalah ketus. Dalam hati aku mengumpat, Sialan! Kalau bukan demi Chihiro, mungkin aku sudah kabur sembari melontarkan berbagai sumpah serapah! dasar waria maruk!. Tapi apa mau dikata? Kami sudah terlanjur basah, sekalian saja menyelam!

Kadang menjadi baik itu tidak menguntungkan. Ajakan Chihiro, mahasiswa pertukaran pelajar dari negeri sakura itu malah membuatku kerepotan sendiri. Tepat seminggu sebelum Chihiro kembali ke Jepang, Ia melontarkan permintaan yang sangat aneh. “Arif, sebelum pulang ke Jepang bisa temani saya ke Taman Lawang?” kira-kira begitu isi pesan yang kuterima Sabtu lalu.

Karena merasa tidak enak dan ingin memberikan hadiah perpisahan yang berkesan, akupun menyanggupi permintaannya.

Alas!, perjalanan ke Taman Lawang yang tadinya akan dilakukan bersama-sama akhirnya hanya menyisakan Aku dan Chihiro. Satu per satu teman-temanku dan Chihiro mengundurkan diri dengan alasan sibuk atau kemaleman.

Ya apa boleh buat? Janji adalah janji! Dan karena aku adalah pria sejati, maka janjiku harus kutepati! Akhirnya, aku pun setuju menemani Chihiro ke Taman Lawang, meski hanya berdua.

Senin lalu, tepat pukul 9.30 malam, kami bertemu di tempat yang sudah di sepakati sebelumnya, Stasiun Sudirman. Raut bahagia di muka Chihiro berhasil membuatku melupakan ketakutan dan penyesalanku paska menyanggupi ajakannya.

Terus terang, Aku takut dengan waria. Citra mereka yang menyeramkan, jahat dan haus darah nampaknya sudah terpatri di dalam pikiranku. Bahkan ayah dan ibuku sudah memperingatkanku untuk hati-hati.

Tapi di sisi lain, rasa ingin tahu juga memenuhi pikiranku. Kenapa mereka menjadi waria? Bagaimana kehidupan mereka? Apakah mereka sudah operasi? Pertanyaan-pertanyaan aneh tersebut melintas satu demi satu di dalam kepalaku.

Usai berbasa-basi, kami melangkah ke luar stasiun dan mencari taksi. Setelah sampai di lokasi yang ternyata tidak terlalu jauh dari stasiun, kami sedikit kaget.

Kenapa? Karena tidak seperti bayangan kami, ternyata di sana tidak ada satupun waria yang terlihat. Lantas kami bertanya pada supir taksi kami “benar pak di sini tempatnya? Taman lawang?”. Ia pun menjawab “iya, bener dek di sini, cuma nanti mereka keluarnya kalo udah malam, jam sebelasan gitu”.

Dalam hati aku mengumpat,Yak, jadi kita harus menunggu di tempat gelap ini selama dua jam, monyet!

Namun untunglah sebelum menurunkan kami, pak supir mencarikan tempat yang terang di depan sebuah warung kopi.

Kami pun turun dengan perasaan yang campur aduk: senang, takut, malu dan penasaran. Sempat terlintas di pikiranku kalau terjadi apa-apa kepada kami. Chihiro sendiri cukup ahli dalam kendo, teknik beladiri dari jepang, tetapi bagaimana denganku? Untuk membuka tutup botol air mineral saja terkadang aku harus meminta bantuan.

Di saat-saat seperti inilah aku berdoa. Ya, tiba-tiba aku berubah dari seorang agnostik menjadi seseorang yang religius. Kugumamkan semua nama Tuhan yang kukenal, mulai dari Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Amaterasu bahkan Cthulu. “Ya Tuhan!, lindungilah kami dari godaan waria yang terkutuk!”. Kira-kira begitu bunyi doaku.

Kiranya Tuhan mendengar doaku, saat sedang menunggu di warung kopi kami bertemu dengan dua orang bapak yang sedang duduk sembari mengobrol. Lantas Aku ikut nimbrung dan memperkenalkan diri. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kedua bapak tersebut setuju untuk menemani kami mencari waria di Taman Lawang, tentu saja dengan sedikit “pelicin”. Usai menunggu sekitar satu jam, kami pun bersiap masuk ke Taman Lawang.

Yak! Inilah saatnya!, jika aku harus mati di sini, aku ikhlas, demi Chihiro!

 

Di dalam Taman

Usai menegak segelas kopi dan menghisap beberapa puntung rokok, kedua bapak tersebut mengajak kami untuk mengikuti mereka. “Ayok kita jalan dek!” ujarnya. Kami berjalan dari arah warung kopi menyusuri rel kereta yang gelap ke arah terowongan.

Bagi teman-teman yang belum tahu, Taman Lawang sendiri terletak di Jalan Latuharhari, Menteng.

Usai berjalan selama beberapa menit, kami sampai di sebuah jalan besar yang dipenuhi oleh toko ikan hias yang sudah tutup. Bapak pemandu kami mengatakan bahwa di sinilah letak Taman Lawang.

Awalnya kami bingung karena Taman Lawang ternyata bukan berlokasi di sebuah taman, namun, baru beberapa saat kami menginjakkan kaki di tempat tersebut, sudah terlihat banyak waria wara-wiri di depan kami.

Agak aneh memang. Awalnya aku membayangkan Taman Lawang sebagai sebuah taman, dengan waria-waria yang duduk di sekitar taman. Namun ternyata, Taman Lawang sendiri lebih mirip dengan sebuah jalan besar, dengan waria-waria yang mejeng di sepanjang jalan. Taman yang ada di dekat jalan tersebut malah terlihat sepi dan tidak berpenghuni.

Usai melihat-lihat, kami memberanikan diri untuk menegur seorang waria. Dengan bantuan bapak yang menemani kami, kami pun menegur dan mencoba membuka pembicaraan.

Kami memperkenalkan diri dan menyampaikan niat kami untuk mewawancarainya. Tak lama setelah kami memperkenalkan diri, sang waria merespon: “Mau kasih uang berapa?” ucapnya ketus. Kaget, kami hanya bisa saling melihat dalam kebingungan. “Oke tiga ratus ribu ya” ucapnya dengan nada yang tak kalah ketus.

Dalam hati aku mengumpat, sialan! Kalau bukan demi Chihiro, mungkin aku sudah kabur sembari melontarkan berbagai sumpah serapah! Dasar waria maruk!

Tapi apa mau dikata? Kami sudah terlanjur basah, sekalian saja menyelam!

Chihiro melihatku dengan tatapan sayu, seakan berkata tiga ratus ribu terlalu mahal. Kami pun berupaya untuk menawar. Namun waria tersebut tidak bergeming mendengar penawaran kami. Putus asa, kami pun mengucapkan terima kasih dan beranjak pergi. Namun, sebelum kami pergi, waria tersebut memanggil temannya sembari menawarkan “Tuh elo mau gak diwawancarain, gue minta tiga ratus ribu, lo minta berapa?”. Waria tersebut lalu menjawab “ya udah gue seratus lima puluh ribu aja gapapa”. Lagi-lagi pertolongan Tuhan datang, kami akhirnya setuju untuk mewawancarai waria tersebut dengan tarif sebesar seratus lima puluh ribu rupiah.

Kami lalu mencari tempat terang untuk wawancara di depan sebuah toko ikan hias. Belum lama kami duduk, waria lain datang sembari berkata “Boleh dong ikut wawancaranya, gapapa dibayar seadanya aja”. Lagi-lagi kami merasa mendapat pertolongan Tuhan.

Aku dan Chihiro dengan senang hati menerima waria tersebut untuk ikut di dalam proses wawancara. Maka dimulailah petualangan kami di bawah terang bulan!, dua mahasiswa, dua waria di satu tempat, Taman Lawang!

 

Mengenal Lebih Dalam

Dua waria yang bersedia untuk kami wawancarai adalah Y dan S.   Keduanya berasal dari daerah Sumatera, tepatnya Sumatera Utara dan Sumatera Selatan.

Y berparas cantik dengan badan yang agak berisi. Usianya 32 tahun. Sekilas muka Y mengingatkanku dengan artis papan atas ibukota, Andi Soraya. Y bercerita tentang konfliknya dengan keluarganya. Sebagai anak laki-laki pertama, Y diharapkan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Namun, saat melihat Y lebih sering bermain dengan perempuan dan bergaya sedikit kemayu, orangtua Y marah dan memaksa Y untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler yang “kelaki-lakian”. Tidak tahan, Y lalu kabur dan mencari peruntungan sebagai waria di Jakarta.

Hampir mirip dengan Y, S juga mencoba mencari peruntungan di daerah ibukota. Namun, S tidak memiliki masalah dengan keluarganya. Alasan utama S pindah ke ibukota murni karena alasan ekonomi. S memiliki paras yang cantik meskipun usianya sudah menginjak 45 tahun. Tubuhnya kurus, namun tetap berisi. Semerbak bau parfum tercium dari sekujur tubuhnya. S bercerita tentang dirinya yang sempat mempunyai suami dan mempunyai anak angkat. Bagi S, menjadi waria bukan berarti tidak bisa mempunyai anak. S juga bercerita tentang kerasnya hidup sebagai waria sembari menunjukkan luka-luka hasil kekerasan pelanggan yang berbekas di tubuhnya.

Mendengar cerita kedua waria diatas, kami terdiam dan berpikir ulang tentang gambaran waria di kepala kami. Alih-alih takut dan merasa risih, kami menjadi malah merasa iba dan tertarik untuk tahu lebih banyak.

 

Waria dan Pengelompokannya

Kalau disini yang penting itu cantiknya” ujar S. Ya, layaknya masyarakat pada umumnya, waria juga mengenal kelas dan kategori sosial.

Setelah mendengar penjelasan S dan Y, kami menyimpulkan bahwa konsep kelas yang berlaku di Taman Lawang memiliki tiga indikator utama yaitu kecantikan, sikap dan umur.

S menjelaskan kalau lokasi tempat kami wawancara ini adalah lokasi yang biasanya dipakai mangkal oleh waria-waria yang sudah berumur. S menambahkan bahwa semakin jauh kita masuk kedalam taman, maka semakin muda dan cantik waria yang mangkal.

Lantas kami bertanya “kenapa pengelompokan seperti ini hadir?” S menjawab bahwa pengelompokan seperti ini hadir dari sananya, tanpa ada yang mengatur. “Ya kita juga tau diri lah kalau mangkalnya disana kalah saing”, begitu ucapnya.

Selain pengelompokan yang sifatnya hierarkis, Y menjelaskan bahwa waria juga memiliki kecenderungan untuk berkelompok berdasarkan daerah asalnya.

Hal ini dapat dilihat dari sentimen negatif S dan Y terhadap waria yang mangkal di sekitar rel kereta api. “Kalian hati-hati ya, kalau ada pelanggan bawanya ya ke sini, di sini kita jamin keamanannya, kalau di sana, yang dari Bengkulu itu kita gak jamin!” ucap Y.

S kemudian menambahkan “Ya kayak manusia aja, ada yang baik ada yang jahat, waria juga kayak begitu dek”.

Penjelasan S dan Y terkait kelas dan kategori sosial ini semakin membuka wawasan kami dan di saat yang bersamaan, membuat kami semakin penasaran tentang kehidupan waria di taman lawang.

 

Waria yang Heteronormatif

Jika diberikan pertanyaaan seputar seksualitas, bisa dibilang aku yang besar di lingkungan kampus ini sudah khatam pemahamannya. Apa itu seks, apa itu gender dan apa itu orientasi seksual, ditambah isu-isu terkait kebebasan ekspresi tubuh serta hak-hak kelompok marginal menjadi makananku sehari-hari di dunia perkuliahan.

Tentu saja aku mengerti kalau ekspresi gender para waria serta orientasi seksualnya merupakan hak tubuh mereka dan hal tersebut harus dihargai.

Dalam perspektif seksualitas, tidak ada gender, seks, maupun orientasi seksual yang lebih tinggi posisinya daripada yang lain. Mereka juga manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia! Namun sepertinya waria yang kami wawancarai memiliki pemaknaan yang berbeda terkait seksualitasnya.

Sepanjang wawancara, kedua waria tersebut, S dan Y berulang kali menggunakan terminologi yang terkesan heteronormatif: normal dan abnormal.

Berkali-kali S dan Y meratapi nasib mereka. “Ya kita juga gak mau jadi kayak gini, gak normal” ucap Y.

Aduh kamu jangan dandan dek, kalau bisa kamu mah jadi normal aja, nanti nyesel”, ucap S usai mendengar candaan saya tentang saya yang ingin ikut menjadi waria.

 

Waria dan Agama

Selama wawancara berlangsung, S dan Y sering sekali menyinggung agama. Agaknya pandangan mereka yang heteronormatif berangkat dari perspektif agama, khususnya Islam. “Ya dalam Islam kan jelas kita ini terkutuk” ucap mereka.

Agak miris memang mendengar mereka bercerita tentang pemuka agama yang dengan lantang mencaci mereka. Hanya dengan berbekal sebuah kitab suci, pemuka agama dapat dengan tegas mengatakan bahwa mereka salah, tidak normal dan harus kembali ke jalan yang benar.

Saat ditanya “kenapa gak dilawan aja kak?”, mereka hanya bisa menjawab, “Mana bisa dilawan? Kan udah jelas di kitabnya” jawab S.

Ingin rasanya Aku menjelaskan bagaimana kitab suci hanyalah kertas yang akan berkonteks apabila dimaknai. Ingin rasanya Aku menjelaskan bahwa di luar sana, ada ahli agama yang menafsirkan kitab suci secara berbeda. Namun niat tersebut kuredam. Tidak usahlah aku menjejali pikiran mereka dengan filsafat agama, begitu pikirku.

Namun ada hal yang cukup menarik yang kemudian di ceritakan oleh Y. Dia bercerita bahwa berbeda dengan Islam, Kristen justru bersikap sangat terbuka terhadap kehadiran waria.

Konsep “kasih” orang-orang Kristen dinilai Y tidak mengenal jenis kelamin maupun orientasi seksual. Bahkan waria-waria Kristiani memiliki perkumpulan dan rumah singgah sendiri. Hal inilah yang disayangkan oleh Y, mengapa agama Islam dan Kristen memandang waria secara berbeda?

 

Involusi Persalonan

Seiring dengan hari yang semakin malam, topik pembicaraaan kami pun berubah menjadi semakin berat.

Chihiro sempat menanyakan apakah mereka sudah melakukan operasi kelamin atau belum (yang ternyata belum karena operasi sama dengan bunuh diri bagi mereka).

Diikuti dengan pertanyaanku tentang peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ternyata direspon sangat baik dan dinilai sangat membantu kesejahteraan waria.

Topik pembicaraan kami lalu bergeser ke hal yang sedikit serius, yaitu masalah lapangan pekerjaan.

Bagi S dan Y, lapangan pekerjaan merupakan isu sentral yang menjadi permasalahan utama tiap waria.

S menceritakan bagaimana Dinas Sosial pernah melakukan kerja sosial dengan memberikan uang kepada waria-waria di Taman Lawang.

Uang yang jumlahnya cukup besar ini kemudian digunakan mereka untuk membuka salon. Yang terjadi selanjutnya adalah konsekuensi logis dari dibukanya banyak salon di waktu yang bersamaan. Salon mereka tidak laku.

Layaknya tanah pertanian yang mengalami involusi karena luas lahan yang tidak bertambah, bisnis persalonan juga mengalami involusi. Menjamurnya salon justru membuat para waria kehilangan modal dan harus bersaing dengan salon-salon lain yang dimiliki oleh sesama waria.

Dampaknya, salon yang dimiliki oleh S hanya menerima satu sampai dua pelanggan tiap minggunya, memaksa S untuk tetap bekerja di Taman Lawang.

Ya seminggu paling cuma dapet satu atau dua” ucap S. Ironis memang upaya pemerintah untuk membantu dengan memberikaan dana malah berakhir tragis.

 

Masa Depan Waria?

Sepanjang wawancara kami mendapatkan banyak sekali informasi, mulai dari kondisi ekonomi waria yang tidak baik, pandangan mereka yang masih heteronormatif, diskriminasi dari institusi agama serta melesetnya kebijakan pemerintah terkait kesejahteraan waria. Lalu bagaimanakah masa depan mereka? Mau dibawa kemana mereka-mereka ini?

Aku yang awalnya merasa takut dan jijik menjadi marah, marah terhadap negara dan marah terhadap pemuka agama yang tidak memperlakukan mereka layaknya manusia.

Terlepas dari homoseksualitas yang sudah dikeluarkan dari kategori gangguan jiwa oleh Asosiasi Psikolog Amerika dan Indonesia, serta diakuinya waria sebagai perempuan sosial oleh Komisi Nasional Perempuan Indonesia, waria tetap mendapat perlakuan yang diskriminatif.

Secara legal waria juga warga negara dan memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, untuk hidup bahagia dan sejahtera!

Namun agaknya negara kita terlalu sibuk mengurusi hutang dan pertumbuhan ekonomi sampai melupakan masalah-masalah yang terjadi di level mikro. Sayang….

 

Penutup

Usai wawancara, kami berpamitan kepada S, Y serta dua orang bapak yang menemani kami sepanjang wawancara.

Chihiro, meskipun tidak fasih berbahasa Indonesia menulis berbagai macam catatan hasil wawancara dalam bahasa Jepang.

Sebelum berpisah, Aku berkata kepada Chihiro “I think we should see them as a victim of the absence of the state, rather than a criminal Chi”.

Chihiro lalu menjawab “Ya!! Saya setuju!

So, untuk para pembaca, saya sarankan sebelum anda berpikir yang aneh-aneh tentang waria, sempatkan diri anda untuk berkunjung ke Taman Lawang dan mengobrol dengan mereka. Ingat, tak kenal maka tak sayang!

 

Nb: Tulisan ini dibuat tanpa maksud untuk menyinggung pihak-pihak tertentu. Atas kesalahan pengetikan dan penggunaan terminologi yang tidak sesuai, penulis mohon maaf.

*Penulis merupakan mahasiswa sosiologi UI angkatan 2011, kupu-kupu dan hobi main game, tertarik dengan isu seksualitas dan video game studies.