Oleh: Ni Loh Gusti Madewanti*
Suarakita.org- Jangan biarkan anak anda terserang virus jahat film FROZEN. Film itu akan mengubah anak anda menjadi lesbian dan gay. Kutuk kaum-kaum terbuang. Sebarkan pesan ini untuk lindungi anak-anak Indonesia! Begitu pesan pendek broadcast tersebar.
Teknologi yang begitu pesat, memudahkan siapapun untuk menyebarkan pesan tuduhan tanpa dasar. Mungkin sudah ribuan tulisan dimuat terkait dengan ‘hate speech’ atau lebih akrab disebut sebagai ucapan kebencian.
Ucapan kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat[1], orientasi seksual[2] ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.[3]
Penasaran timbul dalam benak dan bahkan ingin mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya ditampilkan oleh Disney melalui film kartun Frozen.
Frozen mengambil latar di negara Norwegia. Diceritakan bahwa terdapat sebuah kerajaan bernama Arendelle yang berlokasi di bukit dekat teluk. Kerajaan itu memiliki dua orang putri yang manis, Putri Anna dan kakaknya Putri Elsa.
Ketika menonton film ini, saya masih berpikiran bahwa film ini adalah film mainstream yang cenderung memberi gambaran bahwa putri cantik akan menikah dengan pangeran tampan. Artinya, film ini masih saja menghagemoni bahwa hubungan percintaan hanya milik mereka yang berjenis kelamin laki- laki dan yang berjenis kelamin perempuan. Atau lebih ekstrimnya, cinta yang indah adalah milik putri dan pangeran.
Meski terhibur oleh lagu- lagu yang menyenangkan. Kesal sempat menyeruak dari dalam benak. Tidak ada yang berbeda dari film Disney kali ini. Namun kira- kira sepuluh menit sebelum film berakhir, ada hal yang cukup mencengangkan.
Film ini memberikan warna baru tentang kisah cinta sejati. Cinta yang bukan milik pangeran dan putri semata. Sejatinya, Putri Anna yang digambarkan dalam film ini, jantungnya terkena sihir Putri Elsa. Mati membeku karena berusaha menyelamatkan Putri Elsa dari hujaman pedang Pangeran Hans. Pedang Pangeran Hans patah serta Pangeran Hans jatuh dan pingsan. Putri Elsa sadar bahwa Putri Anna sudah meninggal. Dia menangisi Putri Anna, namun tiba-tiba es yang menyelimuti tubuh Putri Anna mencair. Latar pun berubah, bahwa tindakan cinta sejati menghidupkan Putri Anna kembali. Cinta sejati ini diwakili oleh kisah kasih Putri Anna dan Putri Elsa. Sebuah roman yang apik. Meski latar masih dibuat cinta antara kakak dan adik. Namun Disney berhasil menampilkan kisah cinta sejati dalam bentuk lain.
Disney memang mengubah mainstream untuk menampilkan kisah percintaan bukan antara pangeran dan putri raja yang akan ‘happy ending’ namun kisah cinta sejati antara satu jenis kelamin yang memang terlihat indah.
Permasalahannya tidak berhenti begitu saja pada Film Frozen. Bagaimanapun tinggal penonton yang kemudian diperhadapkan pada peran sebagai komentator atau bahkan hakim. Sayangnya, di Indonesia banyak penonton yang dengan mudah terserang virus kebencian dan menjadi hakim- hakim kotor yang menyebarkan kebencian terhadap orientasi seksual tertentu dan tentunya kepada individu atau kelompok dengan orientasi seksual non- mainstream.
Apa pasal yang mampu mencegah ucapan kebencian dan orang- orang yang bersalah melakukannya? Indonesia mempunyai Hukum KUHP pada Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) [4] yang menyatakan “Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa Indonesia dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya empat tahun dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.”
Hukum ini tegas menyatakan. Bahwa siapapun yang pertama kali membuat pesan broadcast ucapan kebencian dan kemudian setuju menyebarkannya setidaknya harus dipenjara selama-lamanya empat tahun! Selain itu, Pasal 157 Ayat 1 KUHP juga menyebutkan “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan diantara atau terhadap golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan”.
Ucapan kebencian yang disebarkan oleh orang tidak bertanggung jawab melalui perangkat elektronik juga akan dikenai pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 Ayat (2) yang mengatur “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).” Ancaman pelanggar pasal tersebut, yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 ,00 (satu miliar rupiah).
Pidato, ucapan atau syiar kebencian (hate speech) bukanlah bagian dari bentuk ekspresi perbedaan pendapat yang harus dijaga dan dilindungi dalam sebuah demokrasi.
Menyebarkan permusuhan, kebencian dan berujung pada ajakan membunuh terhadap individu atau sekelompok orang adalah perbuatan kriminal yang harus ditindak tegas.
Karena dalam arti hukum, Hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Jika ucapan kebencian ini dianggap lumrah, dan orientasi seksual harus diseragamkan dan tidak boleh berbeda. Maka penyeragaman berarti pelembagaan. Pelembagaan dalam masyarakat berarti pemaksaan. Setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik. Semakin banyak penghakiman terhadap kebebasan orientasi seksual individu tertentu maka pemicu hadirnya konflik akan lebih besar terjadi. Pemaksaan adalah bentuk pembekuan sisi kemanusiaan manusia itu sendiri.
Selain pasal pada KUHP dan UU ITE, para aktivis dan budayawan yang memperjuangkan kebebasan beragama saat ini sudah mulai bergerak untuk adanya draft akademis undang-undang yang melawan syiar kebencian. Di dalam draft undang-undang itu terkandung satu pasal mengenai larangan syiar kebencian. Rancangan undang- undang ini pada prinsipnya memberikan ganjaran berupa hukuman material dan non material pada orang-orang yang menyebarkan kebencian dan membasmi kelompok lain, ancaman fisik kepada kelompok lain, baik secara tindakan maupun secara verbal. Hal ini harus dilakukan sehingga orang-orang tidak lagi sewenang-wenang melakukan itu.
Pada suatu titik, kehidupan yang toleran dan saling menghormati apapun pilihan orientasi seksual dapat diwujudkan. Seperti penggalan lagu soudntrack dari film Frozen. Jangan tutupi orientasi seksual anda. Jangan takut mengenai apa yang akan diperbincangkan oleh orang- orang disekitar anda. Jangan bekukan kemanusiaan anda sendiri. Lepaskanlah! Let it go!
Let it go, let it go!
Can’t hold it back any more.
Let it go, let it go!
Turn away and slam the door.
I don’t care what they’re going to say.
Let the storm rage on.
The cold never bothered me anyway. [5]
Penulis adalah seorang perempuan dengan dua anak perempuan yang hebat. Hobi bersekolah dan memilih lulus dari program studi Sarjana dan Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Lari dari Jakarta dan menghabiskan waktu dengan bercumbu pada buku, berdebat dengan angin lalu, dan mengusahakan diri untuk tetap sadar serta mengedepankan akal sehat.
Catatan Kaki:
[1] http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2003/44/section/146.
[2] An Activist’s Guide to the Yogyakarta Principles; by Yogyakarta Principles in Action.
[3] Definitions for “hate speech”, Dictionary.com, diakses pada tanggal 28 Desember 2014.
[4] Pasal KUHP, pada Pasal 156a Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
[5] Lirik lagu ‘Let It Go’ ost. Frozen.
Sumber bacaan terkait:
- Artikel terkait dengan KUHP, diunduh pada tanggal 28 Desember 2014 pada laman http://inspirasi.co/ayomajukanindonesia/post/48#sthash.K0jZmtVx.dpuf
- Artikel ‘Ucapan Kebencian’ diunduh pada tanggal 28 Desember 2014, pada laman http://id.wikipedia.org/wiki/Ucapankebencian.