Search
Close this search box.

Apa Kontribusi Perda Syariah Terhadap Kesejahteraan Perempuan di Aceh?

Suarakita.org- Pada tanggal 16 Januari 2014, diadakan sebuah diskusi menarik di salah satu café di daerah Cikini, Jakarta Pusat, tepatnya di café Bakoel Kopi. Dihadiri oleh perempuan-perempuan yang peduli dengan nasib perempuan-perempuan yang terdiskriminasi, diskusi ini dipenuhi dengan pendapat-pendapat kritis yang progresif. Diskusi yang dicetuskan atas gerakan hati teman teman dari BITES, sebuah kelompok yang sangat peduli terhadap isu perempuan, diskusi ini berlangsung mulai pukul 15.30-18.00 WIB.

Diskusi dibuka oleh paparan Tunggal Pawestri dari Hivos sebagai moderator. Tunggal memaparkan beberapa fakta-fakta hukum yang diskriminatif bagi perempuan Aceh. Acara yang dihadiri oleh beberapa kalangan yang aktif dalam gerakan perempuan ini, dibuka oleh aksi pembacaan dua buah puisi. Puisi dibacakan oleh Zubaidah Johar. Puisi yang dibawakannya berjudul “Di Negeri 7000 Rok” dan “Karena Engkau Perempuan”. Puisi ini berisikan dedikasi yang ingin diberikan kepada semua perempuan yang bergelut untuk memperjuangkan hak-haknya, terutama mereka yang bergelut di dunia politik.

Diskusi ini dihadiri oleh tiga orang narasumber dari perwakilan kelompok yang berbeda. Narasumber pertama adalah Bivitri Susanti, seorang peneliti yang banyak menghabiskan waktu di Aceh untuk mengkaji bagaimana penerapan hukum-hukum di Aceh yang mayoritas diskriminatif terhadap perempuan. Bivitri memaparkan pengalamannya saat mengkaji beberapa draft UU pemerintahan Aceh yang banyak memfokuskan pada tuntutan penerapan perda Syariah. Menurut Bivitri, seorang Eva Sundari dari PDIP-pun sangat menolak disahkannya perda ini karena “mengkriminalisasikan” perempuan. Menurut Bivitri perda syariah yang banyak memakan ‘korban’ perempuan ini merupakan sebuah bentuk “dosa advokasi”.

Ada satu hal yang sangat ditekankan Bivitri tentang keadaan hukum di Aceh saat ini, “Perdasus dan Qanun itu seperti sebuah kepentingan politik tertentu, bukan suatu hal yang diinginkan warga Aceh”.

Diperjelas lagi oleh Bivitri bahwa beberapa perda syariah yang diterapkan di Aceh seringkali beralasan bahwa perda tersebut dibuat dengan menimbang akan Quran dan Hadist. Ini sama sekali tidak relevan dengan hukum di Indonesia, karena Quran dan Hadist bukan hukum positif.

Narasumber kedua adalah Raihan Diani, seorang mantan ketua Organisasi Perempuan Aceh Demokratik. Raihan yang pernah merasakan tinggal dibalik jeruji besi untuk memperjuankan hak-hak perempuan Aceh ini menyatakan dengan tegas bahwa perda syariah di Aceh itu adalah sebuah “sogokan politik”.

Perda Syariah di Aceh adalah inisiasi para petinggi politik di Aceh, bukan keinginan rakyat. Perda syariah di Aceh pada akhirnya menjadi disfungsional karena banyak disalah-gunakan dengan praktek main hakim sendiri dan intoleransi yang dilakukan atas nama syariat. Menurut penuturan perempuan Aceh ini, ada beberapa kelompok Islam garis keras yang masuk ke Aceh dan melatar-belakangi tindakan militerisasi dan brutalisme atas nama syariah di Aceh.

Satu pernyataan yang menarik dipaparkan oleh Raihan, “Atas nama syariah seakan akan banyak orang yang berusaha menjadi Tuhan di Aceh”.

Narasumber ketiga, yang menutup rangakaian diskusi ini adalah Vivi Widyawati dari Jaringan Nasional Perempuan. Menurut Vivi perda syariah itu menggambarkan politik yang maskulin, tubuh perempuan dijadikan ‘arena perang’. “Ini merupakan efek samping dari sistem politik patriarki”, ujar Vivi.

Menurut Vivi, apa yang terjadi di Aceh saat ini adalah bentuk “krisis kemanusiaan”.

Untuk itu Vivi sangat mengharapkan adanya bentuk konkret solidaritas untuk nasib perempuan Aceh, “tidak cukup hanya di media sosial saja”, tutur Vivi. Menurut Vivi berbicara soal perempuan dan memperjuangkan masalah perempuan sangat kompleks dan penuh teror.

Diksusi ini ditutup oleh kesimpulan yang dipaparkan Tunggal sebagai moderator bahwa, kita harus mulai mengubah permasalahan di Aceh ini mulai dari hulu. Menurut Tunggal, kita masih ada ‘ketakutan’ dan ‘kegamangan’ untuk mengajukan isu-isu yang menentang diskriminasi. Menurut kesimpulan Tunggal, gerakan-gerakan progresif di Aceh seperti  Jaringan Komunitas Damai dan  Jaringan 2 3 1, merupakan sebuah bentuk pencerahan dalam permesalahan perempuan dan hukum di Negeri Serambi Mekkah ini. (Fira)