Teman Minum
Oleh: Aris Kurniawan*
Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi
Agar aku bisa hidup bersamanya …
Suarakita.org- Lantunan lagu yang dibawakan penyanyi jebolan kontes tarik suara televisi swasta itu menyambut kami ketika aku dan Pak Warsito memasuki sebuah pub di bilangan Tamansari, salah satu kompleks hiburan malam di barat Jakarta. Setiap mendengar lagu ini pikiranku terbang pada kisah perjalanan hidupku yang runyam dan menyedihkan; pada Daru, kekasihku di kampungku di Solo yang meninggalkanku untuk menikah dengan gadis pilihan orang tuanya. Emosiku serta merta bagai diaduk-aduk kenangan indah sekaligus memedihkan.
Aku memang anak kampung yang belum lama menyelam dalam drama kehidupan malam ibukota yang glamour dan penuh jebakan. Namun, aku selalu berharap drama kehidupan malam ini dapat sedikit melipurku dari kisah pedihku di kampung. Aku bersyukur, harapanku tidak terlalu meleset meski tidak sepenuhnya membuat ingatanku benar-benar lepas dari Daru. Mungkin memang tidak akan pernah bisa. Kata orang, sesuatu yang pernah terjadi tidak akan hilang selamanya.
Malam ini, pub tidak seramai kemarin. Kami duduk di meja agak depan, beberapa jengkal dari meja kasir. Sebenarnya, aku ingin memilih meja paling sudut dekat peracik minuman supaya leluasa melihat pengunjung lain. Dan, tentu saja, memperhatikan peracik minuman bermata sendu itu, yang sepintasan wajahnya mirip Daru, terutama bentuk hidungnya; kecil, tinggi. Tetapi, aku tidak mungkin memaksakan keinginanku. Boleh dibilang, aku tidak punya pilihan.
Semua ditentukan Pak Warsito. Termasuk, di pub mana dia ingin minum bir. Laki-laki tua di depanku ini memang meminta pendapatku saat memilih meja, tapi itu basa-basi belaka. Sebab, setiap aku memberi usul, Pak War selalu bilang, “Pilihanmu kurang tepat anak muda!” Kalimat tersebut masih akan bertambah panjang dengan “Anak muda sekarang sering membuat keputusan yang kurang tepat.”
Malam ini, Pak Warsito mengenakan pakaian ala koboy: baju flannel corak kotak-kotak dengan garis-garis merah marun dan hitam dipadu rompi kulit, celana jeans belel, dan tak ketinggalan topi laken yang menyembunyikan rambut tipisnya. Hanya saja, tak ada pistol di pinggangnya. Mungkin, dia ingin mengenang saat menjadi gembala domba pada masa muda di kampung dulu namun dengan kostum ala penggembala di Amerika.
“Minum apa, anak muda?” tanya Pak Warsito.
“Bir saja, sama denganmu, Pak” ujarku.
“Om Ito. Mulai malam ini kamu panggil aku ‘Om Ito’,” kata Pak Warsito seraya menatap mataku tajam. Ia merogoh cerutu dari sakunya.
“Baik, Pak, eh, Om,” kataku, gugup, atau tepatnya merasa asing.
Tak lama setelah itu, pelayan datang mengantarkan pesanan. Dia tersenyum manis kepada Pak Warsito. Bahkan, matanya mengerling nakal. Padaku, dia hanya tersenyum alakadarnya seakan tahu aku hanya lelaki bayaran. Pak Warsito langsung menenggak bir di depannya seperti orang kehausan. Padahal, di panti tadi, dia baru saja menghabiskan sebotol bir. Cairan kuning yang berkilauan disentuh pendar lampu itu mengalir deras ke tenggorokannya. Segelas besar bir tandas dalam sekali tenggak. Ujung lidahnya menyapu ceceran bir di sudut bibir. Lantas, dia menyulut cerutu. Aroma cerutu segera mengapung memenuhi ruangan pub yang remang-remang bercampur dengan aroma ganja dan parfum para pengunjung.
Walaupun jaraknya lumayan jauh dari panti jompo, pub inilah yang paling sering dikunjungi Pak Warsito untuk minum bir. Dibanding dengan yang lain, pub ini suasananya memang lebih nyaman dan menyenangkan. Mungkin karena atmosfer gothic yang dihadirkannya. Letaknya paling sudut, tersembunyi di antara deretan salon, panti pijat, dan pub-pub serupa lainnya. Pelayannya rata-rata berusia awal duapuluhan. Mereka adalah remaja-remaja yang baru lulus SMA atau putus kuliah seperti diriku.
Diam-diam kuamati keremangan suasana pub yang tamunya kebanyakan pasangan lelaki dengan lelaki. Setiap pasangan asyik saling memandang di meja masing-masing. Mereka saling membelai dengan mesra. Bahkan beberapa terlihat akrab. Terdengar suara decap dan cekikikan. Sempat terpikir olehku kenapa Pak Warsito memilih pub ini untuk minum bir.
“Minumlah, anak muda. Jangan murung seperti itu. Aku tidak suka melihatnya,” ujar Pak Warsito. Tidak bisa tidak, aku pun meraih gelas bir, menenggaknya perlahan-lahan. Rasa sepat memenuhi rongga mulutku, tapi aku berusaha menikmati. Pak Warsito tampak senang melihatku. Dia tersenyum dan menyorongkan cerutu. Matanya berpendar gembira. Dia tampak maskulin dan tampan, meski gurat-gurat usia tua terpahat jelas di raut wajahnya. Sesungguhnya, dia orang yang cukup menyenangkan. Dia juga sangat royal apabila puas dan terhibur dengan kehadiranku. Dia memberi tips yang kadang cukup buat beli satu setel pakaian atau sepatu. Tentu saja, itu di luar upah dan tunjangan yang diberikan Kartolo, anak sulungnya, kepadaku tiap bulan.
Hanya saja, sikap menyebalkan Pak Warsito muncul saat mulai mabuk. Sebelumnya, dia akan berbicara kian kemari tentang apa saja. Paling sering, dia bicara tentang masa mudanya. Meski sebal, aku mesti menyimaknya. Sebab, kalau tidak, dia akan marah dan mengancam melaporkanku kepada Kartolo supaya memecatku. Dia tidak hanya menuntutku menyimak pembicaraannya, tapi juga mengomentarinya. Sebalnya, dia akan menunjukkan sikap tak suka apabila aku memberi komentar negatif. Kalau dia sedang bercerita, jangan harap aku punya kesempatan memperhatikan gerakan tangkas peracik minuman. Melihat tubuh pelayan-pelayan yang ramping namun padat berseliweran dari meja ke meja. Sedikit mataku beralih darinya, Pak Warsito akan menggebrak meja.
Pak Warsito kadang menanyakan kabarku, meminta aku bercerita tentang keluargaku, pacarku, kegemaranku, buku-buku yang kubaca, tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, atau apa saja yang sekonyong melintas di kepalanya. Maka, aku akan bercerita. Tapi, tentu, aku mengarang-ngarang saja. Toh, dengan seenaknya, dia bisa memotong ceritaku, memberi nasihat-nasihat dan saran yang membosankan, bagaimana mestinya aku bersikap menghadapi setiap persoalan. Selebihnya, dia akan berpanjang lebar membanding-bandingkan dengan kisah hidupnya yang terdengar sangat heroik.
Tengah malam sudah lama lewat. Pak Warsito masih tampak segar. Belum ada tanda-tanda akan mabuk. Pub makin ramai dengan sajian live music. Kini mengentak lagu “Manuela” milik Julio Iglesias mengalun dari mulut penyanyi di panggung. Mata Pak Warsito mengerjap-ngerjap gembira. Kepalanya tampak bergerak ke depan dan ke belakang mengikuti irama musik. “Ini lagu kesukaanku. Inilah lagu yang menandai kisah cintaku dengan Mardiyah,” ujarnya.
Manuela, Manuela
Manuela, Manuela
Como a noite
Como un sonho
Sao os olhos
Negros meu amor, Manuela
Como a flor na primavera
Como a lue chea e assim, Manuela
Dia turut melengkingkan syair lagu dengan suarnya yang terdengar serak. Nama Manuela dalam lirik lagu tersebut dia ganti menjadi Mardiyah. Sementara, gerakan kepalanya makin bersemangat meniru gerakan penyanyi di panggung. Dia memintaku ikut bangkit menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama. Entah berapa lama, kami menari mengentak-ngentakkan sepatu ke lantai. Yang pasti, Pak Warsito makin segar dan bersemangat. Wajahnya berkilau karena keringat. Kurasakan bajuku yang basah lengket di kulit tubuhku.
Aku ingat, Pak Warsito pernah bercerita, dia dulu pernah punya pacar gelap bernama Mardiyah, gadis desa yang bekerja sebagai pramuniaga di toko retail miliknya. Setelah Mardiyah hamil, Pak Warsito membayar seorang anak muda pengangguran untuk menikahi dan membawa pergi Mardiyah entah ke mana. Dia tidak tahu rahasia ini sudah diketahui Kartolo dan dua anaknya yang lain.
Lantunan lagu yang membangkitkan kenangannya pada Mardiyah mereda. Kali ini berganti dengan alunan musik yang lebih santai. Tapi, rupanya, penderitaanku belum berakhir. Pak Warsito mulai bercerita tentang kisah cintanya dengan Mardiyah sambil berkali-kali bilang, jangan menceritakan ini kepada Kartolo.
Kurasakan kepalaku pusing. Bukan karena harus menemani dia melantai ataupun menyimak ceritanya, melainkan karena ingatan akan Gito. Saat kutinggalkan demam tinggi masih menyerang tubuh kawan yang memberiku tumpangan di kamar sewanya itu. Wajahnya tampak biru memar seperti beberapa bagian tubuhnya yang lain. Sekawanan berandalan menghajarnya gara-gara Gito tak memberi uang yang mereka minta. “Gito, diminum obatnya, aku berangkat kerja sekarang, semoga pekerjaanku lekas selesai” ujarku lirih. Aku merasa iba menatap bibirnya yang pecah.
Aku menarik napas lega, ketika aku sampai d ipanti jompo Pak Warsito masih bermalas-malasan di kamarnya. Ia langsung menyambutku dengan pertanyaan soal baju mana yang akan dikenakannya malam ini.
“Dengan pakaian apa pun, kau tetap tampan, Pak,” kataku bermaksud menghiburnya.
Lebih dari satu jam, aku harus menunggu Pak Warsito mandi dan berpakaian. Sebenarnya, aku tidak terlalu nyaman dengan pekerjaan yang membuatku tampak seperti badut bodoh. Tapi, aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaan ini. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang sebenarnya sangat ringan ini. Aku mendapatkan info pekerjaan ini dari iklan di sebuah koran. Kartolo dikirimi surat lamaran dari orang-orang yang ingin memperoleh pekerjaan ini. Entah pertimbangan apa yang membuat Kartolo akhirnya memilihku. Barangkali karena nasib baikku saja yang membuat Kartolo menyisihkan puluhan pelamar lain.
Tugasku hanya menjemput Pak Warsito dari panti pukul enam sore, membawanya ke sebuah pub, menemaninya minum bir sampai puas, lantas mengantarkan dia kembali ke panti. Selama menemani Pak Warsito, aku tidak diperkenankan mengaktifkan ponsel. Tugas ini kulakukan hampir setiap malam. Hari liburku bergantung padanya. Kalau dia sedang malas ke pub, artinya, aku libur. Tapi, aku harus selalu siap sedia apabila dia meneleponku untuk menemaninya minur bir di panti. Untuk pekerjaan ini, aku mendapat upah Rp1 juta per bulan. Di luar itu, Kartolo memberi tunjangan kesehatan, tunjangan hari raya, dan ongkos transportasi. Aku dikontrak selama setahun. Apabila Pak Warsito puas dengan pekerjaanku, Kartolo akan memperpanjang kontrak. Sebosan apa pun aku pada pekerjaan ini, jauh lebih baik ketimbang terus terlunta-lunta di Jakarta.
“Bila Anda memutus kontrak di luar waktu yang sudah ditentukan, maka Anda tidak hanya harus membayar denda, tapi upah yang sudah Anda terima pun harus dikembalikan separuhnya,” papar Kartolo. Sebaliknya, apabila Pak Warsito sudah tidak berkenan denganku, aku tetap menerima upah dan tunjangan sampai kontrakku habis.
“Saya harap, Anda bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik,” ujar Kartolo. “Anda akan mendapat hadiah di luar upah dan tunjangan apabila Papa saya merasa sangat puas,” imbuh Kartolo dengan nada congkak dan dingin.
Sebelum aku, Kartolo pernah memperkerjakan dua orang sekaligus untuk tugas ini: pensiunan dokter dan mantan tentara. Mereka berbagi tugas menemani Pak Warsito minum bir. Tapi, sebelum kontrak habis, Pak Warsito memecat mereka. Yang tentara terlalu banyak cerita mengenai pengalamannya perang di Timor Timur dan menganggap enteng komentar Pak Warsito. Sementara, yang pensiunan dokter selalu menasihatinya tentang bahaya terlalu banyak begadang dan minum bir.
“Ayahku juga tidak menyukai cara mereka menatap matanya,” ujar Kartolo. “Jadi, tataplah mata ayahku dengan pandangan takjub. Dan, selalulah memasang wajah gembira di depannya. Anda harus menjadi teman diskusi yang menarik, bukan hanya pendengar setia. Bila kamu bisa melakukan ini, Papa saya akan suka sekali,” saran Kartolo.
Tanpa berpikir terlalu lama, aku menanda-tangani kontrak kerja yang disodorkan Kartolo. Hari itu juga aku langsung bilang pada Gito bahwa bulan depan aku yang bayar sewa kamar dan menanggung makannya selama tiga bulan ke depan. Hampir tiga bulan aku hidup dari gajinya yang pas-pasan hasil dia bekerja jadi pramuniaga di minimarket.
**
Hari mendekati pukul tiga dini hari. Tapi, Om Iito belum tampak letih sedikit pun. Kali ini, dia sudah tidak bicara lagi. Dia membuka topi lakennya. Rambutnya yang tipis lekat menempel di kulit kepalanya. Separuh pengunjung telah surut. Pak Warsito meletakkan telapak tangannya pada dagu. Matanya menyapu seisi pub. Entah apa yang dipikirkannya.
Dia pernah bilang bahwa sebenarnya dia tidak menyukai cara Kartolo dan dua anaknya yang lain memperlakukannya. Dia sebenarnya tidak ingin tinggal di panti. Dia ingin tinggal bersama Kartolo dan melihat perkembangan cucunya. Tapi, begitulah, anak-anaknya mengirim lelaki ini ke panti jompo tak lama setelah usianya menginjak 70. Pak Warsito tidak bisa menolak karena ini sudah dianggap lebih baik. Dia tidak menikah lagi setelah Hartini, istrinya, meninggal karena penyakit liver, sepuluh tahun lalu. Waktu itu, bisnis retail-nya yang dirintisnya sejak muda sedang maju pesat. Kartolo telah menikah dan mengelola sebagian usahanya.
Setelah Kartolo, dua anaknya yang lain, Subekti dan Wardhana, satu per satu menikah, mengambil alih bisnisnya dan meninggalkan Pak Warsito dengan cuma ditemani seorang pembantu di rumah. Mereka secara halus menolak ketika Pak Warsito mengutarakan keinginannya tinggal di salah satu rumah mereka. Karena merasa kesepian, dia akhirnya meminta Kartolo mengirimnya ke panti.
Pak Warsito menenggak lagi birnya. Aku lupa menghitung sudah berapa botol bir yang menggerojok ke lambungnya, sudah berapa kali pula dia ke toilet. Dia menggumamkan sebuah lagu yang tak kukenal. Matanya mengawasi beberapa pelayan yang masih sibuk bekerja melayani pengunjung dan membersihkan meja yang telah kosong. Sesekali, ekor matanya melirikku.
Rasa bosan yang menyerangku sejak tadi tak dapat lagi kutahan. Aku bangkit, minta izin kepada Pak Warsito pura-pura ke toilet. Padahal aku naik ke roof top bar ini, duduk di sana menatap langit yang cemerlang. Saat aku kembali, kudapati Pak Warsito masih menopangkan dagu, memperhatikan seorang pelayan.
“Apa yang kau pikirkan, Om?” tanyaku memberanikan diri.
“Kau lihat pelayan itu, Jarso? Yang rambutnya dicat hijau,” ujarnya.
Kulihat mata Pak Warsito berkabut.
“Ya, kenapa Om? Kau tertarik? Bukankah kau masih kuat?”
Pak Warsito terkekeh sebentar. Suaranya terdengar hambar. Sejurus kemudian, mimiknya berubah serius. “Dia mirip Mardiyah,” ujarnya dengan suara rendah.
Aku kembali teringat Mardiyah.
“Cantik sekali dia, tapi kelihatannya dia belum terbiasa bekerja di bar ini,” ujarku. Laki-laki gaek ini hanya melirikku sebentar, lalu meneruskan amatannya kepada pelayan itu. “Perlu kupanggil pelayan itu kemari?” usulku. Tanpa menunggu persetujuannya, aku memanggil pelayan itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” kata pelayan itu ramah, bergantian menatapku dan Pak Warsito. “Bisa tambah birnya, Nona,” ujarnya setelah agak lama terbengong memandang wajah pelayan yang jadi sedikit salah tingkah ditatap serupa itu. Kurasa, pelayan itu juga heran dengan permintaan Pak Warsito karena di meja kami masih ada dua teko besar berisi bir penuh.
Setelah pelayan itu beranjak mengantarkan pesanan, Pak Warsito tidak lagi meneruskan pembicaraan mengenai Mardiyah ataupun pelayan yang mengingatkannya pada bekas pacar gelapnya tersebut. Pak Warsito mengalihkan pembicaraan tentang hari ulang tahunnya yang jatuh pada Sabtu pekan depan. “Ulang tahunku, harus kita rayakan di pub yang lebih mahal,” sambung Pak Warsito. Aku mencoba berpikir pub semahal apa lagi yang dimaksud Pak Warsito, karena menurutku pub ini pun sudah sangat mahal. Ketika berpikir seperti itu aku memergoki tatapan peracik minuman itu ke arahku. Ia tersenyum, salah tingkah.
Mendadak aku seperti tersengat oleh senyumnya, sungguh senyum yang persis milik Daru. Bukan hanya itu, suara yang lirihnya ketika melintas di depanku susah kubedakan dengan suara Daru. Mungkin ini sekadar ilusiku lantaran cinta yang tak sampai pada kawan masa kecilku itu.
Pikiranku terus dipenuhi kenangan tentang Daru ketika menyetir dalam perjalanan pulang. Jalanan lengang sekali mendekati pagi. Tapi di sebuah perempatan lampu merah masih kulihat beberapa anak kecil mengamen. Melihat mereka aku membuatku harus bersyukur bahwa nasibku lebih baik. Pada saat berpikir seperti itu Pak Warsito yang duduk di sebelahku meletakkan telapak tangan di pahaku, membuat berdebar-debar.
“Jarso…” kudengar Pak Warsito.
“Ya, Om,” kataku, gugup.
“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya sambil menatapku yang sibuk menyetir. Aku pura-pura tak mendengar. Kini tangan Pak Warsito terus bergerak ke atas, menuju restleting celanaku. Dia mencium bibirku ketika mobil sampai di depan pagar panti.
Gondangdia, November 2014
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Setan, 2007).