Search
Close this search box.

[CERPEN]: Nyanyian Sumbang

Nyanyian Sumbang

Oleh: Arief Mulyanto*

Suarakita.org– Jari-jemari yang lentik itu mulai beraksi, beberapa alat rias dan kosmetik dikeluarkannya satu persatu dari kotak make up. Dengan piawai kosmetik itu disapukan ke kulit wajah yang tanpa riasan pun sudah menarik. Riasan ini hanya untuk menonjolkan pesona parasnya. Seperti itulah yang sering kali si empunya wajah pikirkan saat ia tengah berdandan. Wajah yang polos kini sudah tertutup make up, layaknya sebuah topeng yang menyembunyikan jati diri si pemakai. Ya, menyembunyikan rahasia yang sangat ditutupi. Tapi, sampai kapan?

Tangannya kini membetulkan letak cermin yang miring, cermin yang selalu membisu sejak tadi merefleksikan bayangannya sendiri. Sekarang ia sudah menjadi seseorang yang lain. Jika cermin itu bisa berbicara mungkin dia akan berkata kau sangat cantik. Itulah satu-satunya kata yang ingin didengar oleh si empunya refleksi saat ia selesai berdandan. Tentu saja cermin itu tidak akan pernah berbicara, tidak akan pernah membocorkan rahasia yang dibagikan hanya pada cermin itu.

Masih bercermin, si empunya tangan mulai mengusapkan perona pipi yang menambah warna merah di pipi. Setelah itu bulu matanya diperlentik dengan maskara, tentu saja setelah memakai bulu mata palsu yang akan mempercantik kedua matanya. Kedua bola mata itu coklat alami, dan ia tak pernah mau untuk menutupinya. Itulah bagian tubuhnya yang paling ia sukai, paling cantik dan satu-satunya yang harus dipertahankan. Kedua matanya dikedipkan genit, kelopak mata yang sudah disapu eyeshadow makin menambah kecantikan matanya.

Hidungnya mancung alami tanpa operasi, bibirnya pun tipis. Bibir itu kini sudah berwarna pink—warna kesukaannya. Tangannya kini sibuk menyisir rambut panjangnya. Rambut yang hanya memanjang saat malam hari saja. Senyum terbit di wajahnya, matanya kembali dikedipkan genit mencoba untuk membius sang cermin.

“Sempurna, aku cantik!” katanya pelan.

Setelah selesai berdandan, ia menuju sebuah ruangan kecil untuk berganti pakaian. Kini dia telah bermertamorfosis. Tubuhnya yang tinggi semakin menambah nilai plusnya. Sepasang high hells sudah melekat kedua kaki jenjangnya yang telah dibalut dengan stockings. Kali ini dia memakai sebuah dress mini yang mempertontonkan keseksian tubuhnya—keseksian palsu.

Tangannya meraih sesuatu di dalam tasnya, sebuah smartphone diambilnya dan kemudian segera ber-selfie. Waktunya sudah tidak banyak lagi, gilirannya untuk tampil sebentar lagi. Ia mulai berjalan meninggalkan ruangan make up menuju belakang panggung.

“Mari kita sambut penampilan dari Angel De Santos,” suara host itu membangunkan lamunan singkat Angel.

Si pedandan itu dipanggil Angel, nama yang dia pilih sendiri. Tirai yang menutupi panggung kecil itu terbuka dan Angel pun mulai memasuki panggung. Seolah Miss International Queen yang baru saja mengambil first walk, Angel berjalan sambil melambaikan tangannya. Lambaian ala pemenang kontes kecantikan. Angel sangat ingin mengikuti kontes kecantikan, tapi itu butuh dana yang tidak sedikit, tentu saja untuk mempermak tubuhnya.

Di depannya kini puluhan pasang mata akan bersiap untuk menyaksikan aksinya. Pada awalnya Angel merasa gugup dan risih, tapi setelah berkali-kali tampil suara tepuk tangan dan sorakan penonton seperti candu baginya. Dia mulai menyukainya, menemukan sebuah pelampiasan positif untuk bagian lain dalam dirinya.

Musik mulai terdengar, sorotan lampu panggung terfokus pada dirinya. Di depannya pencahayaan tidak begitu terang hanya remang-remang khas suasana cafe. Dan dia adalah bintang cafe itu. Penampilannya selalu ditunggu-tunggu oleh pengunjung setia cafe. Angel mulai bernyanyi, tentu saja hanya lip sync. Suaranya tidak merdu, cenderung sumbang, oleh karena itu dia menyebutnya nyanyian sumbang. Bibirnya mulai bergerak sesuai dengan lirik dan diikuti oleh tarian-tarian yang tak boleh dilewatkan. Dia menyanyi dan menari layaknya seorang penyanyi profesional yang tengah konser. Sesekali Angel memperlihatkan gerakan tarian yang sedikit heboh yang pasti akan mengundang suara riuh penonton. Angel tak mempeduliakan hinaan yang kadang terdengar, ia telah berprinsip selama ia tak menjual tubuhnya, selama ia tak merugikan orang lain dia tak peduli dengan apa pun yang didengarnya dari mulut-mulut yang telah dikuasai oleh minuman. Sudah cukup kenyang baginya dengan cemoohan itu.

***
“Seperti biasanya kau tampil memukau!” tukas Anto.

“Biasa aja, kau selalu saja memujiku padahal kau tahu seperti apa aku tanpa make up,” jawab Angel.

“Kau sudah selesai berbenah?”

“Sedikit lagi, aku masih membersihkan riasanku,” kata Angel pelan.

“Oke, aku akan menunggumu.”

“Ya, aku tahu kau pasti akan menungguku. Gimana ada yang cucok malam ini?”

“Nggak ada, biasa aja.”

“Masnya yang kamu taksir muncul lagi kah?”

“Nggak ada.” Anto menggeleng pelan, nada bicaranya terdengar lesu.

“Mungkin dia keluar kota, atau udah bosen ngelihat kamu dengan seragam waiter yang itu-itu saja.”

“Kurang ajar kamu! Kupikir dia yang sudah bosan ngelihat penampilanmu.” Anto terkekeh sebentar.

Angel merengut, “Kau saja yang tampil dipanggung saja gimana? Aku akan mendandanimu. Kau pasti cantik.”

Tawa kemudian berderai dari dua anak manusia itu. Keduanya adalah sahabat dekat, Angel senang saat ia mendengar tawa lepas sahabatnya itu. Belakangan ini Anto murung setelah dia ditolak oleh lelaki yang mengisi hatinya. Anto tahu bahwa lelaki itu juga menyukainya.

Menolaknya karena statusnya yang hanya seorang waiter. Hubungan dalam dunia seperti ini penuh dengan diskriminasi yang kaya mencari yang kaya, yang ganteng maunya sama yang ganteng. Apalagi sama yang ngondek pasti pada menjauh,berteman saja pilih-pilih apalagi untuk mejalin hubungan yang tidak jauh-jauh dari pelampiasan nafsu. Angel sangat memahami hal itu, dan sampai sekarang ia pun masih sendiri. Angel begitu bersyukur mempunyai sahabat seperti Anto yang tak pilih-pilih dan selalu ada untuknya kapan pun dia membutuhkannya. Begitu pun Angel.

“Aku sudah selesai, ayo kita pulang!” ajak Angel.

Anto mengangguk dan mengambil tas kecil di bawah kakinya. Keduanya kemudian meninggalkan cafe itu dan berjalan di pinggir jalan raya sembari menunggu angkutan umum yang lewat.

“Angel….”

“Panggil aku Johan saja.”

“Kamu cakep juga, hahahaahaa,” ledek Anto.

“Sudah puas?” kata Johan sambil tersenyum.

“Aku serius!”

Johan tak begitu mempedulikannya. Tangannya mengenggam tangan Anto. “Apa ketakutan terbesarmu, Nto?”

“Aku takut pada orang-orang yang selalu memandang rendah kita. Yang akan begitu mudah mengatakan bahwa kita akan dibakar di dalam neraka.”

“Kau harus menghadapinya, kau tak akan pernah bisa menghindarinya. Itu nyata adanya.”

“Lalu bagaimana denganmu, Johan?”

“Aku telah kehilangan orangtuaku, dan aku sangat takut kehilangan dirimu.”

Anto mematung mendengar hal itu, tak terasa butir air mata merembes dari mata elangnya. Refleks, Anto pun memeluk Johan dengan erat di bawah sinar lampu kota, disaksikan oleh lalu lalang mobil dan kendaraan lainnya mereka tak peduli.

*Arief Mulyanto, merupakan alumnus #KampusFiksi6, sebuah workshop penulisan fiksi. Sering menulis di blog pribadinya dan juga suka membaca buku. Sehari-hari berprofesi sebagai instruktur bahasa Inggris di lembaga bahasa di Semarang.

Bagikan