Search
Close this search box.

[CERPEN]: Detik Akhir

Detik Akhir

Oleh : Wisesa Wirayuda*

Satu

Suarakita.org- Hari ini, tepat tiga tahun setelah pacarku yang sangat aku sayangi meninggalkanku begitu saja. Meninggalkanku tanpa kabar apapun. Dia menghilang begitu saja, menjauh dariku, dan sulit aku temui.

Waktu itu kami baru saja menjalani jalani kisah kasih yang belum terlalu lama. Kami, atau khususnya aku, tidak merasakan ada yang salah dengan hubungan kami ini. Semua berjalan baik-baik saja. Sampai suatu malam, hadirlah sebuah pesan singkat dan langsung membunuhku. Pesan singkat itu berbunyi, “Santi, aku rasa kita tidak bisa bertemu lagi. Terima kasih untuk perjalanan singkat yang indah ini.” Hanya itu, tak lebih.

Kucoba menghubungi handphone miliknya, kucari dia lewat media sosial, dan aku juga menghubungi teman-temannya, namun hasilnya semua nihil. Bahkan salah satu temannya menyuruhku untuk mundur ketika aku meneleponnya, dia bilang wanita bergaya preman sepertiku hanya akan merusak moral pacarku dan aku membawa hal buruk padanya. Jadi dia mengancamku untuk pergi. Aku tutup saja telepon itu.

Aku tak bisa menemukannya dimanapun. Sampai akhirnya aku mendatangi rumahnya secara gegabah. Kutemukan justru tulisan ‘DIJUAL’ yang dicetak besar. Namun otakku terus berfikir, kulanjutkan dengan menelepon nomor yang tertera pada iklan itu.

Kemudian seseorang mengangkat telepon itu, seorang pria dengan suara yang berat. “Halo?”

Aku percaya bahwa aku sedang berbicara dengan ayahnya Lisa, ingin sekali aku langsung menanyakan dimana Lisa berada, namun aku takut. Aku takut nantinya memperburuk keadaan. Meskipun ayah Lisa tahu tentang diriku.

“Halo, maaf saya mendapatkan nomor ini dari iklan yang bapak pasang di rumah mungil ini.” Kataku berbasa-basi.

“Ah, mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Tapi rumah itu sudah terjual satu minggu yang lalu. Mungkin pemiliknya yang baru belum mencabutnya. Saya mohon maaf.”

Dan begitulah. Aku kehilangan kekasihku dengan mudahnya. Tak pernah kusangka akan begini akhirnya.

Dua

Di tahun berikutnya, aku mendapatkan info dari teman dekat Lisa bahwa dia sekarang tinggal diluar kota. Kudengar mereka semua pindah ke Surabaya karena sang ayah mengalami kebangkrutan dalam bisnis batu baranya.

Aku hanya tertawa mendengar cerita itu, teman-teman Lisa ini sangat bodoh, mereka pikir aku akan percaya begitu saja. Mereka pikir mereka tahu siapa Lisa sampai-sampai mereka sok peduli padanya. Aku yang mengenal Lisa melebihi siapapun di dunia ini.

Namun bagaimanapun, aku tetap sedih karena aku belum menemukan Lisa dimanapun. Tak satu pun yang bisa aku lakukan untuk mencarinya. Aku tak bisa melakukan apapun untuk menolongnya dari kesedihan ini.

Aku menghabiskan sisa hidupku untuk penyesalan panjang ini.

Tiga

Kutulis sebuah puisi untuknya masih di tahun yang sama.

Kau, seorang bidadari yang terlelap

Bermimpi, bermimpi dan terlelap

Aku disini mencarimu

Bisakah kau tunjukan cahayamu?

Agar aku bisa menangkap letak keberadaanmu?

Nafasku tak lagi panjang

Aku bahkan tak merasakannya lagi

Apakah aku hidup atau mati

Apakah aku hidup?

Apakah aku mati?

Bagaimana mungkin, kau adalah nyawaku

Bidadariku, pulanglah!

Kau akan aman disini

Seaman singgahsana surga sana

Akan kujaga kau sampai aku tak mampu.

Sampai aku benar-benar mati tak berdiri

Kumohon dengan segenap jiwaku.

Pulanglah!

Aku masih bisa merasakanmu bernafas

Cahayamu, semangatmu, kesedihan di wajahmu

Tapi kau bernafas

Maafkan aku karna tak gunanya diriku

Aku hanyalah bualan

Aku hanya tak tahu apa yang terjadi

Cahayamu, tak bisa kudeteksi

Aku kehilanganmu

 

Empat

Satu tahun kemudian, aku mendapatkan kabar yang lebih jauh lagi tentang dirinya. Dan aku tahu ini semua menjadi salahku. Lisa dipaksa orang tuanya untuk mengikuti gay heal di gerejanya. Atau bagiku, itu disebut pasantren.

Aku hanya menganga bulat ketika sahabatku memberi informasi itu, aku hanya memandang dalam-dalam mata sahabatku itu, dan dia juga berkali-kali mengucapkan permohonan maaf. Sahabatku itu melihatku dengan begitu empati.

Dan untuk pertama kalinya semenjak Ibuku meninggal dunia sepuluh tahun lalu, aku akhirnya menagis lagi. Tangisan yang membuatku berlutut dihadapan sahabatku itu. Aku menangis ketika membayangkan Lisa yang kuat akan dirinya, Lisa yang begitu nyaman dengan dirinya, Lisa yang yang tak gentar pada apapun. Kini menyerah begitu saja, meninggalkan semuanya dan tak peduli lagi. Dia memaksakan dirinya untuk menjadi orang lain.

Apa yang bisa kuperbuat lagi jika sudah begini?

Lima

Satu – satunya informasi yang kupunya saat ini adalah keberadaan Lisa dan nomor telepon genggam milik ayahnya yang kutemukan dirumah yang dijual itu. Aku juga sudah berkali-kali menelepon nomor itu dan selalu saja ayahnya yang mengangkat telepon itu. Pernah sekali, ketika aku mencoba menelepon lagi, sang ayah menyuruhku untuk tidak menelepon lagi atau dia akan melaporkan nomorku ke polisi.

Sebenarnya bukan itu yang aku takuti. Satu-satunya yang aku takuti adalah jika ayahnya mengganti nomor handphone-nya dan aku benar-benar kehilangan Lisa.

Jadi sekarang aku hanya duduk termenung di teras apartemenku, memandangi kotaku dari ketinggian. Langit gelap, lampu-lampu menyala dan suara-suara klakson mobil dan motor yang terus menerus. Pemandangan yang biasanya aku nikmati bersama Lisa setelah ia pulang dari kuliah malamnya.

Kupandangi terus menerus handphone-ku. Berpikir panjang. Dan akhirnya aku sudah tidak mau mengerti lagi. Yang kuinginkan hanyalah Lisa untuk menemaniku. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan mencoba menelepon nomor ayahnya lagi. Aku sudah tak peduli.

Kutunggu seseorang mengangkat telepon itu, syukurlah ayahnya masih menggunakan nomor yang sama. Aku menunggu cukup lama, sampai akhirnya seseorang mengangkatnya. Seorang wanita.

“Halo?” katanya.

“Halo?” dadaku berdegup kencang, dan bertanya-tanya siapa ini.

“Ada yang bisa dibantu?”

“Maaf, dengan siapa ini?”

“Ah ya, maaf, ini dengan anaknya, Lisa.”

“Li….Lisa? maksudmu Lisa?” aku terbangun dari dudukku dan aku menganga kembali.

“Ini dengan siapa? Mohon maaf karena ayah sedang di kamar mandi, mungkin sebentar lagi dia kembali, ada pesan yang ingin disampaikan?”

“Lisa! Ini aku, Santi!” aku segera menjawab pertanyaan itu sebelum semuanya berakhir. Beberapa detik sebelum semuanya benar-benar berakhir.

Keadaaan menjadi hening, dan perlahan aku mendengar Lisa menangis di seberang sana.

“Aku mencarimu selama ini”, kataku.

“Ayah! Dia datang! Maaf aku harus menutup teleponnya!”

“Tidak, tunggu! Patung Surabaya jam dua belas siang! Aku menunggumu di sana!” dan kemudian telepon mati begitu saja. Entah Lisa mendengar apa yang kusampaikan atau tidak.

Enam

Panas terik menyinari kepalaku. Keringatku terus bercucur terus menerus. Dari pagi aku menunggu di sini. Subuh hari aku sudah pergi dari Bandung menuju Surabaya. Entah untuk apa. Mungkin Lisa akan datang.

Mobil-mobil terus saja berlalu lalang dan sudah berkali-kali aku melihat bis wisata hilir mudik masuk ke kebun binatang.

Aku merasa aku akan gagal hari ini. Aku pikir Lisa tak akan datang. Tentu saja bagaimana mungkin dia datang?

“Santi!”, suara malaikat itu membunuh diamku seketika. Tak bisa aku berpaling dari suara indah itu. Dan benar saja, Lisa dengan indahnya berdiri di dekatku, membawa tas koper yang entah bagaimana bisa ia bawa. Dia menangis. Kemudian ia berlari dan memelukku. “Bawa aku pergi dari sini!”, katanya dalam isak tangisnya.

Aku hanya mengangguk.

Bagikan

Cerpen Lainnya