Search
Close this search box.
Cina mendapat sebutan 'tidak bebas' dan menjadi contoh buruk bagi negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Vietnam dan Myanmar
Cina mendapat sebutan ‘tidak bebas’ dan menjadi contoh buruk bagi negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Vietnam dan Myanmar

Suarakita.org- Kebebasan online di banyak negara Asia terancam, terutama di Asia Tenggara. Studi menunjukkan bahwa mayoritas negara di kawasan ini berstatus ‘tidak bebas’ atau ‘bebas sebagian,’ termasuk Indonesia.

“Dari sudut pandang legislatif dan kontrol konten, jelas bahwa kebebasan sedang terpukul di Asia Tenggara,” ucap Gayathry Venkiteswaran, direktur Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA).

“Namun penggunaan dunia maya untuk berekspresi secara politis, alat mobilisasi dan sebagai suara alternatif tengah meningkat,” tambahnya. “Dalam kata lain, semakin banyak warga yang mengklaim ruang, namun negara-negara semakin banyak menaruh batasan.”

Vietnam
Negara yang paling membelenggu di Asia Tenggara adalah Vietnam.

Vietnam muncul tak jauh dari posisi bontot pada peringkat regional Asia dalam laporan ‘Freedom on the Net 2013’ keluaran Freedom House, mengekor Cina yang berada pada peringkat lebih rendah. Vietnam berstatus ‘tidak bebas.’

Mei 2014 pemerintah Vietnam menangkap dua aktivis demokrasi di Hanoi yang memposting artikel-artikel online yang bernada kritis terhadap pemerintah. Keduanya terancam hukuman tujuh tahun penjara. Sejak awal tahun 2014, sedikitnya enam orang lainnya telah dijatuhi hukuman atas tuntutan serupa.

Tahun 2013, Vietnam menyalip Iran sebagai negara kedua yang paling banyak memenjarakan pengguna internet, setelah Cina. Reporter Lintas Batas mengatakan lebih dari 30 aktivis online berada di balik jeruji penjara Vietnam. Dan Hanoi mengakui telah mempekerjakan 1.000 ‘pembentuk opini publik’ yang pro pemerintah untuk meredam suara-suara kritis.

Sementara Indonesia mendapat peringkat sedang dan mendapat sebutan 'bebas sebagian'
Sementara Indonesia mendapat peringkat sedang dan mendapat sebutan ‘bebas sebagian’

Kamboja
Negara monarki berpenduduk 15 juta jiwa ini memimpin masuk kategori ‘bebas sebagian.’

Hingga kini baru sebagian warga Kamboja yang mendapat akses ke internet. Sekitar 80 persen populasi tinggal di wilayah pedesaan, bahkan tanpa akses listrik. Kini tingkat penetrasi internet mulai meningkat tajam.

Data dari Kementerian Pos dan Komunikasi memperlihatkan penetrasi internet antara 18 hingga 20 persen – sementara lima tahun lalu, Bank Dunia mengatakan jumlahnya hanya 0,5 persen.

Namun tahun 2012 Phnom Penh menyatakan akan mengadopsi Undang-Undang Kejahatan Cyber untuk mengatur penggunaan internet dan menghentikan penyebaran “informasi palsu.”

Pejuang kebebasan berbicara dan LSM HAM menyerukan kepada pemerintah Kamboja untuk berkonsultasi dengan pakar hukum dan kelompok HAM sebelum memberlakukan undang-undang. Hanoi tidak merespon. RUU ini diperkirakan menjadi undang-undang akhir tahun 2014.

Thailand
Thailand jauh di bawah Kamboja dalam peringkat Freedom House, dan hampir tidak tergolong dalam kategori ‘bebas sebagian.’
Warga Thailand telah memposting komentar online sejak tahun 1995. Namun terjadi peningkatan pembatasan semenjak kudeta militer tahun 2006 terhadap Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Menurut Freedom House, pemerintah Thailand telah memblokir puluhan ribu situs (21.000 URL tahun 2012, naik 5.000 dari tahun sebelumnya) dan laman jejaring sosial, serta memenjarakan sejumlah orang karena menyebarkan informasi dan opini di dunia maya di bawah Undang-Undang Tindak Kriminal Komputer.
Myanmar

Myanmar bisa dipandang sebagai titik terang dalam kawasan – setidaknya dibandingkan posisinya terdahulu.

Dulu negeri ini memiliki salah satu sektor telekomunikasi paling represif dan terbelakang. Kemudian Agustus 2012 kebijakan sensor media dicabut setelah diberlakukan selama 48 tahun.

Kini hanya ada sedikit batasan bagi konten online. Meski undang-undang media yang represif masih berlaku, dan dapat digunakan untuk menghukum pengekspresian di dunia maya. RUU penggantinya juga menuai kritik karena tetap menyebut pembatasan konten serta ancaman hukuman yang lebih berat.

Oleh karena itu, Freedom House memberi Myanmar status ‘tidak bebas.’

Myanmar juga bermasalah dengan akses, seraya koneksi internet terlalu mahal untuk mayoritas populasi. Tahun 2012 diperkirakan penetrasi internet hanya dua persen.

Belum lagi masalah dengan etnis minoritas di Myanmar dapat meluber ke ruang cyber. Ucapan kebencian dan propaganda rasis umum dijumpai online, dan muncul kekhawatiran bahwa pemerintah dapat menggunakan ini sebagai alasan untuk mengabadikan batasan berbicara dalam undang-undang terbaru.

Banyak pejuang HAM dan pers yang berharap ASEAN dapat memasukkan kebebasan berekspresi di internet ke dalam Deklarasi HAM ASEAN, yang dipublikasikan tahun 2012.

Mereka terpaksa menelan ludah.
Dokumen yang menjamin kebebasan berekspresi dan beropini itu hampir mengambil setiap kata dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia milik PBB, namun menghapus kata “tanpa menghiraukan batasan.”

“Jelas memprihatinkan karena para pembuat dokumen ini memilih untuk menghilangkan kata-kata tersebut di tengah komunikasi tanpa batas melalui internet dan dengan peningkatan integrasi serta pertukaran antar media regional,” pungkas Gayathry Venkiteswaran dari SEAPA.

Laporan selengkapnya dapat Anda simak di sini

Sumber: dw.de