Oleh : Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Jika dalam kategori seks pada binatang kita mengenal dua kategori yaitu jantan dan betina, maka dalam konteks manusia, kategori seks saja tidaklah cukup. Sebagai mahluk sosial, kita eksis dalam kaitannya dengan konteks sosial dan budaya. Konteks-konteks ini yang menentukan posisi dan fungsi kita di dalam masyarakat. Lingkup sosial tersebut dapat dimulai dari keluarga, peer group, dan kelompok-kelompok masyarakat dengan pembagiannya yang sangat majemuk. Meskipun pembagiannya yang majemuk, di dalam konteks negara, terjadi kesepakatan yang dikenakan pada kita sebagai mahluk sosial dan politik secara universal, entah kita suka ataupun tidak, adil ataupun tidak adil.
Kategori yang dikenakan kepada manusia dikenal dengan kategori seks dan gender. Kedua kategori ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ada konsekuensi-konsekuensi sosial yang melekat pada kategori-kategori ini. Dari mulai penampilan secara fisik sampai dengan hak dan tanggung jawab sosial dalam keluarga maupun masyarakat. Itu sebabnya terlahir menjadi laki-laki maupun menjadi perempuan, memiliki konsekuensi untuk menjalankan kehidupan sehari-hari berdasarkan peran yang dibagi menurut kategori tersebut. Jika peran tersebut tidak dijalankan, maka secara sosial, manusia akan mendapatkan cap gagal dari masyarakat.
Fenomena sub-culture transgender dalam berbagai masyarakat
Menurut Levi Strauss seorang pemikir strukturalis dari Perancis, manusia memiliki kecendrungan untuk berfikir dengan konstruksi dikotomi yang biner. Dalam konstruksi berfikir ini, setiap fenomena memiliki dua makna yang saling berlawanan. Misalnya terang dan gelap, baik dan buruk, miskin dan kaya, kurang dan lebih, dan sebagainya. Filosofi berfikir seperti ini juga mendasari cara kita memahami gender. Sebagai sebuah kategori gender, waria adalah sebuah kategori yang unik, yaitu di luar kategori biner yang umumnya dapat kita temui dalam masyarakat ataupun kelompok etnis di Indonesia, yaitu laki-laki dan perempuan.
Adanya kategori gender yang melampaui atau di luar sistem biner ini dapat ditemukan dalam semua masyarakat di dunia. Dalam masyarakat di Polenisea, kepulauan Pasifik kategori transgender ini dapat ditemui di berbagai kelompok etnis. Di kelompok etnis Samoa dikenal dengan nama Fa’afafine, masyarakat Tonga menyebutnya Fakaleiti, sementara di Hawai’i mereka dipanggil dengan sebutan Māhū. Di Asia Tenggara, masyarakat di Filipina memanggil mereka dengan sebutan Bakla, di Thailand mereka dipanggil Kathoey. Di Indonesia mereka dikenal dengan sebutan Waria, banci, binan ataupun Bencong. Dahulu kala waria di Indonesia dikenal dengan sebutan Wadam, yaitu Wanita Adam. Kemudian nama ini berganti dengan Waria. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, mereka secara resmi mendapatkan nama Waria, yaitu gabungan wanita dan pria.
Keberadaan waria di Indonesia
Sementara waria merupakan bagian yang nyata dari masyarakat Indonesia, namun mereka juga terpinggirkan dan sering dipandang konyol atau berdosa menurut beberapa persepsi agama, dan dalam konteks negara kebangsaan Indonesia. Keberadaan transgender dapat dilihat dalam berbagai budaya dan kelompok etnis di kepulauan Indonesia. Keberadaan mereka memiliki sejarah, makna dan fungsi mereka sendiri, baik dalam konteks sosial, maupun spiritual. Dalam budaya Bugis, bissu dikenal sebagai dukun yang melakukan ritual doá maupun penyembuhan, yang mengenakan pakaian wanita sebagai syarat ritualnya. Di kota Ponorogo Jawa Timur, kita dapat menemukan reog, pertunjukan tari yang dilakukan oleh warok dan gemblak. Warok biasanya seorang yang tinggi perawakannya. Sedangkan gemblak adalah seorang lelaki muda yang menjadi asistennya. Oleh sebab itu, keberadaan identitas transgender bukanlah fenomena baru di Indonesia. Di dalam tradisi, praktek transgenderisme tidak selalu dianggap sebagai dosa. Namun ketika agama monotheis seperti Islam dan Kristen berkembang luas di Indonesia, tradisi transgenderisme mulai dianggap menyimpang dan terbelakang. Agama-agama besar yang merupakan produk dari kolonisasi ini, tidak memberikan ruang bagi kaum transgender dan praktek transgenderisme. Perilaku transgender lalu dibenturkan dengan aturan-aturan agama yang mendosakan mereka.
Sejalan dengan agama, heteronormativitas telah didorong untuk menjadi bagian dari budaya nasional. Heteronormativitas, misalnya, diberlakukan sejak masa rezim Orde Baru Soeharto. Tradisi transgenderisme ditekan secara dramatis karena tidak sesuai dengan versi modernitas yang dianggap mewakili identitas Indonesia sejati. Namun, ideologi modern dan kekuasaan pemerintahan, tentu saja tidak menjangkau setiap masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, praktek ini masih ada di beberapa masyarakat pedesaan dan pedalaman. Sementara itu, di Jakarta, dan kota-kota besar lain, pekerjaan waria paling umum adalah sebagai pemilik dan pekerja salon kecantikan, sebagai penyanyi jalanan (pengamen), penghibur atau pekerja seks. Peluang karir dalam pekerjaan formal tetap terbatas, bahkan di kota besar sekalipun.
Stigma terhadap waria dan dampaknya pada struktur masyarakat yang menjunjung tinggi ke-normal-an
Sebagai anak kecil yang terlahir dengan fisik laki-laki, yaitu memiliki penis, sebagian dari mereka menunjukkan gerak-gerik yang lemah gemulai, menyukai baju perempuan, menjauhi permainan yang berkaitan dengan kekerasan dan fisik, seperti bola, maupun baku hantam. Sebagian dari mereka, suka bermain masak-masakan, boneka dan memilih bermain dengan anak perempuan. Saya perlu menekankan kata “ sebagian,” dan tidak mengeneralisasi kebiasaan para waria di waktu kecil atau muda serta mengkaitkannya dengan kategori gender mereka berdasarkan mainstream. Karena kecendrungan mengategorisasi perilaku dengan sistem pembagian feminin dan maskulin inilah, yang sejak awal menghantarkan kita pada kerancuan gender. ‘Rigidnya’ (kaku- red) pembagian gender, adalah pangkal utama adanya kata laki-laki (pria), perempuan (wanita) dan waria serta fobia dan marginalisasi terhadap mereka.
Struktur masyarakat seperti Indonesia yang dituntut untuk menjunjung tinggi moral, nama baik dan “kenormalan,” menyisakan ruang yang sempit dan hina bagi kelompok berstigma seperti waria. Menurut sosiolog asal Perancis Emile Durkheim, persamaan mengikat masyarakat, sementara perbedaan dapat menyebabkan ketakutan dan mengarahkan masyarakat pada perpecahan. Dalam pengertian ini, dengan memraktekkan femininitas dan melanggar norma seksual, waria telah menantang kekakuan dan struktur sosial di Indonesia. Keberadaan mereka, faktanya, menantang norma-norma dan nilai-nilai agama, kesusilaan bangsa dan hegemoni heteroseksual. Selain itu, asumsi bahwa waria selalu berpakaian seksi, berbicara kotor dan selalu terlibat dalam perilaku homoseksual lebih merupakan stigma daripada bagian dari karakter pribadi waria. Stigma yang tertanam dalam identitas mereka dianggap oleh orang lain sebagai ancaman bagi kesopanan, keteraturan sosial, budaya yang tinggi dan agama.
Kesadaran para waria sejak kecil akan dianggap menyimpang atau ‘deviant’ serta pengucilan dan olok-olok dari keluarga maupun teman-teman di saat kecil membuat banyak waria merasa tertekan dan rendah diri. Tidak sedikit yang memilih untuk lari dari keluarga mereka. Mereka lari ke kota yang lebih besar, tinggal di jalan dan banyak yang kembali mendapatkan kekerasan seksual dan fisik di jalan. Sebagian dari mereka juga kemudian mencari komunitas yang mereka anggap sesuai dengan mereka. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika banyak waria memiliki pendidikan yang tidak memadai. Mereka ini kemudian memiliki pilihan yang sangat terbatas, di antaranya menjadi pekerja salon, penghibur di jalanan dan pekerja seks. Selain diskriminasi dan kekerasan yang harus mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, keterbatasan pilihan profesi yang ada para waria adalah salah satu ketimpangan sosial dalam struktur masyarakat yang disebabkan oleh dimarginalkannya mereka sebagai kelompok masyarakat atau sub-culture ini.
*Penulis adalah Seorang Antropolog lulusan Program Master Universiteit van Amsterdam.
Daftar Pustaka
Atmojo, Kemala. 1987. Kami Bukan Laki-laki. Pustaka Utama Grafiti.
Besnier, Niko. 1997. Sluts and superwomen: The politics of gender liminality in urban Tonga. Ethnos 62: 5-31.
Blackwood, Evelyn. 2005. Transnational Sexualities in One Place: Indonesian readings, Gender and Society 19: 221-242.
Boellstorff, Tom. 2004. Paying Back the Nation: Waria, Indonesian transvestites. Cultural Anthropology 19: 159-195.
_______________. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and nation in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.
_______________2005. Between Religion and desire: Being Muslim and gay in Indonesia. American Anthropologist 107: 575-585.
Elliston, Deborah. 2012. Queer History and its discontents at Tahiti: The contested politics of modernity and sexual subjectivity. In Gender on the edge: Transgender, gay, and other Pacific Islanders. Niko Besnier and Kalissa Alexeyeff, eds. Honolulu: University of Hawai’i Press.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta, Indonesia: Galang Press.