Suarakita.org- Pada Senin 10 November 2014, perayaan besar-besaran digelar di Dhaka, Bangladesh. Lebih dari 1.000 transgender turun ke jalan, dengan penampilan terbaik, berparade, untuk memperingati setahun pengakuan negara atas identitas seksual mereka. Sebagai jenis kelamin ketiga.
Para hijra — demikian istilah transgender dalam Bahasa Bangladesh dan India — menari, bernyanyi, dan bergembira.
“Dulu, aku bahkan tak berani bermimpi untuk menjadi saksi apa yang terjadi hari ini,” kata Sonali, hijra berusia 25 tahun, seperti dikutip dari Daily Mail, Selasa (11/11/2014).
“Sebelumnya, kami menjadi korban stigmatisasi di manapun berada. Mengalami diskriminasi. Kami ditertawakan hanya karena kami bukan pria atau wanita. Tapi kini berbeda, kami merasa seperti laiknya manusia normal.”
Hijra telah lama ada di Asia Selatan, keberadaannya bisa ditelusuri di masa lalu. Mereka bahkan disebut dalam buku kuno Kama Sutra — hasil karya literatur Sanskerta yang dikarang oleh Mallanaga Vatsyayana dan banyak dipakai sebagai buku acuan dalam hal percintaan.
Dalam Kama Sutra, disebut jenis kelamin ketiga atau ‘tritiya prakriti’.
Hijra juga sudah lama menyatu dalam kehidupan masyarakat di Bangladesh, India, dan Pakistan.
Sebagian masyarakat juga menjadi pelindung mereka dari generasi ke generasi. Dengan cara ‘mengadopsi’ bocah-bocah yang dilahirkan sebagai laki-laki yang melarikan diri atau ditolak keluarganya sendiri kerena merasa jiwa mereka terjebak di tubuh yang salah.
Hijra sudah lama menderita diskriminasi, terutama selama era penjahan Inggris di India. Penguasa kala itu melabelinya sebagai ‘pelanggar kesusilaan publik’ dan mencoba untuk mengenyahkan mereka.
Namun, sejumlah orang di masa lalu ada yang menerima hijra sebagai sosok yang dihormati, yang memiliki kekuatan magis. Transgender tak dianggap aneh hingga pertengahan 1900-an.
Pada November tahun lalu, dalam sebuah keputusan penting, pemerintah Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengesahkan UU yang menerima hijra sebagai jenis kelamin ketiga. Memberi kesempatan mereka untuk mengidentifikasi diri dalam kategorisasi gender terpisah — bukan perempuan dan bukan laki-laki — di paspor dan dokumen resmi.
Pengakuan
Tak hanya di Bangladesh. Pada November 2013 Jerman mencatatkan namanya sebagai negara Eropa pertama yang memungkinkan bayi dengan karakteristik dari kedua jenis kelamin didaftarkan tidak sebagai laki-laki atau perempuan. Mengakui ‘jenis kelamin ketiga’: X.
Sebelumnya, kolom jenis kelamin hanya menyediakan pilihan untuk M (male) dan F (female). Kini ditambah satu kategori lagi, yakni X.
Ini latar belakangnya: ribuan bayi di dunia lahir tanpa hitungan kromosom yang jelas, mereka mungkin memiliki alat kelamin laki-laki, atau perempuan–atau bahkan campuran keduanya atau interseksual.
Nepal bahkan lebih maju. Seperti dimuat Huffington Post, 27 Februari 2012, pengakuan diawali perjalanan panjang seorang transgender Badri Pun: inspirasi dari hasil kunjungannya ke Yogyakarta pada 2006 membuatnya memutuskan bertindak. Ia tidur di halaman berbatu di pedesaan Nepal selama seminggu. Bergelung dengan selimut wol, menggenggam kertas-kertas legalitasnya sebagai warga negara — akte kelahiran, SIM, dan kartu tanda penduduk.
Setiap hari ia ke luar masuk gedung pemerintahan, bersikeras dengan argumen: ada yang salah dengan kolom identitasnya. Setelah 12 hari, ia dinyatakan menang. Badri Pun mendapatkan kartu identitas baru. Dalam kolom jenis kelamin tertulis: “jenis kelamin ketiga”
Keputusan Pengadilan Nepal sangat mengejutkan. Lalu, pada 21 Desember 2007, Pemerintah Nepal memerintahkan penghapusan hukum yang diskriminatif, dan menetapkan status “jenis kelamin ketiga”.
Jenis kelamin ketiga di Nepal adalah kategori dari seseorang yang tak mendefinisikan dirinya sebagai perempuan atau laki-laki. Termasuk, bagi mereka yang saat lahir tidak jelas jenis kelaminnya.
Pada 2005 di India, jenis kelamin ketiga boleh ditulis di paspor sebagai “kasim” (eunuch) atau simbol “E”. Pada 2009 ‘E’ mulai dikenalkan dalam dokumen pemilihan umum.
Pada April 2014, Mahkamah Agung India memberikan hak kepada mereka yang mengidentifikasi dirinya bukan sebagai pria atau perempuan. “Adalah hak setiap manusia untuk memilih jenis kelamin mereka,” demikian isi putusan MA.
Sebelumnya, transgender di India terpinggirkan dalam masyarakat, terjebak dalam kemiskinan, bahkan dikucilkan, hanya karena identitas kelamin mereka. Kebanyakan mengais nafkah dengan menjadi pengamen, mengemis, atau menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Sementara, Australia dan Selandia Baru, memiliki “X” sebagai pilihan, selain “M” (man) atau “F” (female) pada aplikasi paspor
Sumber: Liputan6.com