Rumah di Tepi Sungai
Oleh: Dewi Nova*
Suarakita.org- Petang lembayung. Aku terpaku di pelabuhan kecil. Haruskah kusambut perahu yang akan menyeberang ke kota ia berada? Atau kembali ke stasiun kereta dan mengirim pesan bahwa aku berhalangan?
Para pekerja berduyun-duyun memenuhi antrean, menunggu perahu yang semakin menepi ke bibir sungai. Beberapa penjual makanan mengemasi dagangannya. Seorang perempuan penjual buah naga pulang lebih dulu. Dua ekor anjing penjaga pelabuhan menguntitnya dengan mata sayu. Perempuan itu menghibur kedua anjing dengan berkata bahwa esok ia akan datang lagi, lalu menstarter motornya dan hilang di keramaian lalu lintas. Kedua anjing itu terus berdiri memperhatikan sosok yang bahkan sudah lenyap. Mataku basah, terbawa tatapan sayu kedua anjing. Apakah mereka mengerti bahwa perpisahan hanya untuk semalam? Esok perempuan penjual buah naga itu tentu akan kembali datang.
Aku terkenang sepotong pagi ketika meninggalkan Ron.
“I have to go, may I kiss you?”
Lalu kami bertemu dalam ciuman sepanjang novel, larut menjadi apa pun yang tak kami sadari.
“I have to go…” kataku.
“Take care…” bisiknya.
“You too….” lepasku.
Pagi itu udara begitu sayu. Seperti sorot mata kedua anjing itu.
Setelah pagi itu, kukira kami memutuskan untuk sama-sama melupakannya. Ikatan-ikatan rasa apa pun hanya akan jadi ancaman. Ron setiap detik berjuang untuk menenun keinginan jiwanya yang orang anggap tak ditopang wagadnya. Menghadapi kecurigaan, bahkan kebencian, dari orang-orang yang menganggapnya lelaki palsu. Aku perempuan yang sejak lima tahun lalu menghilangkan kelamin. Aku melepaskannya, karena lelah pada para pengontrolnya — di rumah-rumah, di jalan-jalan, dan di hukum-hukum negara. Terlalu rumit! Tak ada yang perlu dirawat di antara kami. Begitu pikirku. Kukira begitu juga pikiran Ron.
“Last boat Miss, Mr…” teriak penjaga pelabuhan kecil.
Aku berlari menuju perahu. Siapa tahu ini perahu terakhirku untuk merasakan apa pun di kota seberang. Aku melihat dua ekor anjing itu masih terpaku ke arah hilangnya perempuan penjual buah naga. Perahu bergerak, sosok dua ekor anjing itu semakin hilang dari pandangan, tetapi tatapan sayunya semakin kurasa.
Sungai begitu tenang, mukanya berbinar-binar diterpa lembayung. Ikan-ikan berlompatan seperti lumba-lumba di laut lepas. Ini begitu surga. Seperti bersitatap yang sering kami lakukan. Namun, itu lima tahun lalu. Saat itu kami begitu berani saling menikmati tatapan. Barangkali karena kami yakin tidak akan dan tidak perlu berjumpa lagi. Tidak ada rasa malu, tidak ada intensi, tidak ada rencana apa-apa. Semacam mabuk berpikir yang lebih mabuk dari sekadar pengaruh alkohol atau ganja.
Ketika perahu merapat ke tepi sungai, aku membangun imaji untuk mempersiapkan apa pun yang terjadi. Barangkali Ron sudah menikah atau hidup bersama dengan seorang perempuan. Barangkali ia sudah menjadi bapak dari anak adopsi. Atau dia telah melupakan surga bersitatap yang dulu sering kami tumbuhkan. Ya, ya… anggap saja ini semacam reuni tak sengaja untuk secangkir kopi.
***
“Terlalu malam untuk minum kopi. Bagaimana jika aku mengajakmu makan malam?” tanyanya.
Tentu saja aku tak menolaknya. Keluar dari pelabuhan, kami menyusuri trotoar yang dipenuhi pedagang makanan. Udara dikepung aroma cumi-cumi bakar, mie goreng yang disegari bawang daun mentah.
“Kamu pasti kangen aroma makanan pinggir jalan ini, tapi aku ingin mengajakmu ke tempat lain,” pintanya.
Pada satu sudut jalan, aku menghentikan langkah.
“Ah, tak ada lagi rumah kopi kesukaanku. Padahal, tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di rumah kopi itu.”
“Jangan khawatir. Rumah kopi itu hanya pindah dua blok ke arah utara.”
Lima tahun tak menginjak kota ini, begitu banyak perubahan. Warung waralaba muncul hampir di setiap 20 meter. Kedai-kedai lokal menghilang dari tempat semula. Ron mengajakku menyusuri jalan yang tak terlalu besar, melewati rumah-rumah penduduk. Semakin lama semakin jauh dari jalan raya, menuju tepi sungai di bagian lain.
Sebuah restoran di tepi sungai dengan iringan musik jazz. Bulan menggantung di langit cemerlang. Kini aku bersemeja dengannya, dengan nyala lilin wangi ros. Lentera berwarna lembut bergantungan di dahan-dahan pohon, cahayanya menerpa wajah Ron.
Kami bersitatap, saling menikmati senyuman dan tarikan nafas lembut. Kami saling menggenggam jemari di bawah cahaya bulan dan desiran air sungai. Penyanyi jazz melantunkan “Love Me Tender” ala Norah Jones.
“Kamu menyukai lagu ini?” tanyanya.
“Ya, aku menikmati lagu, sungai dan tempat ini. Terima kasih…”
Hidangan datang. Ron menuangkan sup ke mangkukku.
“Kamu harus menghabiskannya. Perjalananmu pasti melelahkan.”
Ron begitu sempurna. Demikian tampan sekaligus ibu.
“Bagaimana hidupmu?” tanyaku.
Ia bercerita tentang ibunya yang lama kemudian dapat memahaminya ketika ia sesekali tinggal bersama perempuan. Setiap akhir pekan ibunya berkunjung ke studionya, meminta ia mengantar berkeliling mal.
“Kamu tahu aku tak suka belanja. Tapi, seberapa aku berekpresi laki-laki, ibuku pada hal-hal tertentu tetap menganggapku anak perempuannya…”
Kami tertawa bersama. Menertawakan diri tentang menjadi perempuan. Ron juga bertutur tentang kekasih-kekasih jelita yang datang dan pergi.
“Aku bukan transman yang kaya raya. Jadi, minimal aku tak berpikir mereka datang lalu pergi karena uang, seperti yang sering orang duga. Mungkin begitulah cinta, aku tak berekspetasi apa-apa pada setiap perjumpaan itu.”
Aku suka dengan ketenangannya melampaui setiap kisah.
“Bagaimana hidupmu?” tanyanya.
“Hanya manusia gila yang berpikir untuk hidup bersama perempuan tak berkelamin. Lima tahun lalu aku masih harus menjelaskan beberapa hal pada orang yang berpotensi mencintaiku. Sekarang aku bisa mengatakannya dengan mudah. Aku sudah tak berkelamin. Sejak tak berkelamin, aku menjalani hidup lebih tenang. Paling tidak, negosiasi perkelaminan tak lagi mencerap energi hari-hariku.”
Ron menyimak kata-kataku dengan tatapan hati-hati. Beberapa pertanyaan menyusul. Aku menjawabjelaskan dengan suka cita. Melepaskan dari perbincangan serius, Ron menggoda gagasan di cerita yang terakhir kutulis.
“Aku membaca tulisanmu tentang seksinya bulu janggut habis dicukur. Apakah kamu pernah membayangkan aku berkumis dan berjanggut?”
Aku tertawa mendengar pertanyaannya.
“Kamu begitu tampan tanpa kumis dan janggut. Dari mana ketampanan ini, kalau bukan pantulan pikiranmu? Aku bahkan baru menyadari kamu bukan laki-laki biologis pada minggu ke dua pertemuan kita. Kamu ingat itu? Itu pun karena kamu memberi tahu aku,” kataku sembari mengelus bulu-bulu halus di tangannya.
Ron tersenyum seperti senyuman seorang bayi.
“Ah tentu aku memilih untuk tidak menggunakan hormon untuk menjadi apa yang orang konstruksi sebagai laki-laki. Aku hanya menggoda tulisanmu.”
Ron tersenyum sedikit mengejek. Jemarinya memainkan anak rambut di pelipisku.
“Aku bisa menulis apa pun dan aku senang dengan jenis pembaca sepertimu, menghubung-hubungkan tulisan dengan hal yang bukan tulisan. Tidakkah itu membuatmu merasakan intensi?” godaku.
Wajah putih Ron memerah. Kini ia menatapku tajam.
“Terlalu banyak laki-laki dalam hidupmu. Laki-laki dan laki-laki. Mengapa tidak transman?” tanya berbalik menggodaku.
Kami tertawa bersama. Aku menyembunyikan sekantung cinta di dada.
Ron memintaku bercerita tentang kekasih yang mungkin sedang kunikmati relasinya. Bukan hal yang sulit untuk kujawab. Tapi memikirkan untuk apa pertanyaan itu muncul, itu menjadi sulit. Terkadang aku pun tak selalu siap atas asumsi atau kesimpulan dari jawabanku. Tubuhku tak berkelamin. Juga perasaan dan pikiranku. Bila tak pandai-pandai mengartikulasikan pikiranku, juga tak pandai-pandai lawan bicara menangkap pikiranku, tak akan sampai pada pemahaman yang sebenarnya. Sering kali aku dihadapkan hanya pada dua cara pandang: hetereonormatif dan homonormatif. Bagaimana jika bukan keduanya yang kumaksud?
Bulan semakin berseri. Wajah Ron begitu indah di bawah cahayanya dan aku terbelit kesulitan pikiranku. Aku meminta izin ke toilet.
***
Pukul enam pagi. Ron menyibakkan tirai jendela kamar yang menghadap ke sungai dan kembali mendekapku.
“Seperti lukisan…” gumamku sambil menikmati pemandangan muka sungai yang mulai berwarna perak dicat cahaya pagi.
“Tadi malam kamu orgasme tiga kali,” tebak Ron.
“Dari mana kamu tahu?”
“Dari tarikan nafasmu dan senyum dalam tidurmu.”
“Tadi malam begitu indah. Setiap kali dekapanmu mengerat, aku tahu kamu sedang terbang,” tebakku.
Kami saling bersitatap dan tersenyum lembut. Di luar burung-burung pencari ikan mulai beterbangan, suara mereka riang di atas muka sungai.
“Jam berapa pesawatmu?” tanya Ron sambil mengecup keningku.
“Pukul sebelas…”
Lalu kami berdekapan erat.
Pagi begitu nyata. Demikian dekat. Teramat singkat.
***
Di pelabuhan kecil, dua ekor anjing sibuk menemani perempuan penjual buah naga sedang menata dagangannya. Ekor mereka berkibas-kibas. Sorot mata cemerlang seperti cahaya pagi. Ah, andai perasaanku secemerlang mereka.
“Aku ingin mengantarmu sampai stasiun kereta bawah tanah…” pinta Ron.
Sebenarnya aku lebih suka tak diantar, bahkan meski sampai menyeberang ke pelabuhan kecil ini. Aku seperti ingin berjalan cepat-cepat menyembunyikan hatiku yang sayu.
Pagi itu kami berjalan bergandengan dengan langkah tenang menuju stasiun kereta bawah tanah. Tak tergoda dengan langkah berderap para pekerja diburu waktu.
“Kapan kamu akan ke sini lagi?”
“Tahun depan.”
“Terdengar sangat lama…”
“Bulan berapa?”
“Aku hanya akan memberi tahu bulannya bila kamu berjanji akan menungguku. Maksudku menunggu dengan atau tanpa. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi 12 bulan dari sekarang.”
“Aku menunggumu dengan atau tanpa…”
“Tunggu aku di bulan November.”
Kami berpisah di pintu pembelian tiket. Kulihat kolam kecil di matanya. Begitu juga di mataku.
“I have to go…”
“Take care.”
“You too…”
Aku bergegas memasuki kereta, mengemasi kolam yang tumpah di kedua mataku.
Kereta bawah tanah menelanku. Melesat, menjauhkanku dari jendela kamarnya, dari sungai yang selalu membuatku ingin kembali.
Kereta bawah tanah terus membawaku ke ujung kota, menuju bandara. Aku melanjutkan penerbangan.
Langit biru, begitu biru. Langit lepas, bebas lepas. Seperti perasanku kepadanya.
Chao Phraya River – Thailand, Oktober 2012
*Dewi Nova, Penulis buku Perempuan Kopi dan Kumpulan Puisi Burung-burung Bersayap Air