Search
Close this search box.

[CERPEN]: NYALA ROKOK DI ANTARA GERBONG

NYALA ROKOK DI ANTARA GERBONG

Oleh:  Putu Oka Sukanta*

Suarakita.org- “Jam sebelas malam ini Mas, ditunggu di stasiun Tugu. Tapi maaf saya tidak ikut.” Itulah huruf yang muncul di layar telpon genggam saya. Saya segera menjawab.

“ Lantas yang nunggu siapa.”

“Yuniasih. Mbak Asih”

“Ia kan belum tahu saya. Nanti keliru.”

“Jangan khawatir. Kalau tidak ketemu tanyakan kepada tukang beca,  atau polisi yang  ada di sana. Semua orang tahu dia.”

“Makasih Budi.”

Saya takut berangkat sendiri.  Meskipun Jogja adalah kota yang  mendewasakan saya beberapa tahun yang lalu. Saya kenal benar dengan jalan-jalan di sekitar stasiun Tugu. Saya kenal dengan kehidupan siang dan malam kota gudeg ini. Tetapi malam ini, saya kawatir berangkat sendiri menemui Juniasih. Maka, saya ceritakan rencana pertemuan ini kepada beberapa teman peserta seminar yang saya tahu pasti punya minat untuk ikut. Akhirnya  kami berangkat bertiga, Cut Wangi dari Aceh dan Johan dari Merauke. Tukang beca, ngotot ia sanggup mengangkut kami bertiga di dalam becanya. Dari Demangan ke stasiun Tugu, beca tidak pakai tutup. Angin malam terasa dingin mengusap kulit. Lampu jalanan bagaikan pengawal  berdiri tegak di kiri kanan jalan. Kendaraan masih ramai. Beberapa toko masih buka, pedagang lesehan, di trotoir Jalan Solo sudah banyak dikerumuni pembeli.Ketika meluncur di Jalan Mangkubumi saya bercerita kepada kedua teman tentang majalah Minggu Pagi yang memuat beberapa cerpen dan novel saya di tahun enampuluhan. Saya juga menceritakan tentang gedung bioskup yang namanya saya lupa. Akhirnya kami turun di depan pintu stasiun sebelum rel kereta.

“Mana orangnya pak?” Tanya Cut.

“Mana aku tahu.”

“Jadi pak belum kenal?” sahut Johan

“Belum. Kita lihat-lihat saja sebelah sana.” Kami bertiga berjalan menyeberangi rel kereta, kemudian berdiri celingak-celinguk menebar pandang. Jalan Malioboro masih ramai, lalulintas di jalan Pasar Kembang lebih ramai lagi. Suara  bel beca dan deru mobil saling bersahutan.

Beberapa tukang beca menawarkan beca, “mau diantar ke mana Den?

Lampu jalanan berwarna kuning, wajah kami menjadi aneh.

“Mungkin itu.” kataku, ketika aku melihat seorang perempuan berdandan rada menor.Ia menyebrang jalan, langkahnya cepat mengarah ke tempat kami berdiri.  Cut menarik tanganku , “Ini pak?”. Aku hanya menggoyangkan tangan yang digenggam Cut. Perempuan itu lewat di depan kami, sama sekali tidak menoleh, pandangnya lurus dan langkahnya cepat. “Dasar edan, Cuma mau uangnya tapi orangnya dibuang. Biarin, nanti dibakar api neraka.” Suaranya sangat jelas walau ditimpali suara bel beca.

“Tanya saja pak.” Sahut Cut, dengan suara berbisik dan tangannya memeluk tanganku.

“Kamu kedinginan?” Kutatap wajahnya dibalut  jilbab. Matanya berkedip memancarkan kecemasan.

“Takut,” bisiknya sambil memeluk tangan saya. Johan berjalan sendirian ke tengah kerumunan orang di mulut jalan Pasar Kembang. Tiba-tiba tukang beca yang mangkal dekat kami berdiri menanyakan kami mencari siapa . Begitu saya sebut nama Yuniasih, tukang beca menjelaskan bahwa Juniasih baru saja pergi . “Mungkin ke klinik Pak.”

“Klinik pak?” Tanya Cut kepada saya.

“Di gang itu masuk, di sana ada klinik.” Sahut tukang beca.

Sebelum kami melangkahkan kaki, datang seorang perempuan tergopoh-gopoh, dengan ramah menyambut kami.

“Maaf, saya tadi kebelet pipis. Numpang di klinik.” Seperti dia sudah sangat pasti tahu bahwa kamilah orang yang mencarinya. Saya mengulurkan tangan memperkenalkan diri, kemudian diikuti oleh Cut.

“Berdua  Pak?”

“Ada satu teman lagi, sedang ke sana.” Saya menunjuk ke jalan Pasar Kembang.

“Jangan-jangan ia kesasar. Sudah lama Pak?”

“Mungkin kesasar dari satu kamar ke kamar lainnya.” Yuniasih tertawa mendengar ucapan saya.

“Kok bisa Pak?” tanya Cut keheranan. Yuniasih senyum mesem.

“Cut ini dari Aceh. Dari balik bukit, gak tahu Pasar Kembang.”  Ketika kami  sedang ngobrol, Johan datang, senyum-senyum. “Ramai. Ditawarin terus.” Ia tertawa sambil menutup mulut.

“Ditawarin apa Pak Johan? “ nyeletuk Cut. Saya memegang tangannya lebih kuat . Johan tidak menjawab seolah tidak mendengar pertanyaan Cut.

“Kita berangkat sekarang Pak?”

“Ya. Ke mana jalannya?”

“Masuk stasiun.” Kami mengikuti Yuniasih, masuk ke dalam stasiun, menuju ke pelataran peron sebelah kiri. Tak seorang  petugas di stasiun itu yang menegor Yuniasih. Ada beberapa petugas  kami lewati. Mereka menebar senyum dan saling tegur singkat dengan Yuniasih. Di ujung peron kami berhenti.

Gelap. Bulan perbani. Langit kelam. Kemerjap bintang. Tampak beberapa gerbong kereta  dalam samar. Tapi tidak tampak manusia.

“Kok sepi?” Tanya saya.

“Kita ke sana.”Yuniasih menunjuk ke arah lurus. Saya merasa masuk ke dalam goa. Rel tampak remang seperti  ular memanjang. Lebih hitam dari malam, sehingga kaki tidak terantuk. Sekarang di kejauhan terlihat kemerjap nyala seperti kunang-kunang. Cut tetap memegang tangan saya.

“Itu apa?” tanya Cut kepada Yuniasih. Itu nyala rokok. Itulah satu-satunya penerangan di sini. Tidak boleh membawa senter. Korek api hanya untuk menyalakan rokok. “ Silakan kalau mau bergaul dengan mereka.” Lanjut Yuniasih. Ia meninggalkan kami. Ia berjalan menuju sekelompok orang duduk di bantaran rel. Mereka berdiri ketika Yuniasih sudah di depannya. Saya melihat ia mengeluarkan barang dari tas yang digendongnya sejak tadi . Mereka ngobrol, dan kami mendekatinya, nimbrung di antara mereka. Cut melepaskan pegangannya dari tangan saya. Ia duduk di sebelah seorang perempuan. Mereka bercakap-cakap. Kemudian tertawa. Johan sudah menghilang. Tetapi ketika kami meningalkan kelompok itu, Johan datang mendekat.

“Ada apa Bung di sana ?” Tanya saya.

“Sama seperti di Merauke.”

Yuniasih kemudian mengajak kami duduk di bantaran rel. Ia mengeluarkan rokoknya. Menyalakan korek. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam sehingga nyalanya menerangi sekitar kami, seperti ia memberikan kode entah kepada siapa. Yuniasih menceritakan, ia seminggu tiga kali mengunjungi  tempat ini. Ia melakukan penjangkauan untuk memberikan penyuluhan tentang penggunaan kondom dan penyakit menular seksual.

“Siapa saja yang berkunjung ke sini Mbak.” Nyeletuk Cut.

“Maksudnya ? Pelanggan atau Dinas?”

“Kedua-duanya . Pengunjungnya siapa?”

“Ini kan layanan  kelas kambing. Tapi konsumennya mahasiswa ada, murid juga ada, bapak-bapak entah pegawai atau karyawan juga banyak. Pasar terbuka ” Ia  cekikikan.

“Lantas dari Dinas?”

“Jangan harap. Dinas sosial atau Dinas kesehatan mana mau datang ke sini. Kamilah yang bekerja di sini, memberikan informasi  HIV dan penyakit menular seksual. Saya membicarakan penyakit, ancaman hidup, kesehatan. Tidak tentang moral. Saya tahu tidak pada tempatnya  membicarakan moral di sini.  Apakah mereka , atau kami, lebih bejat moralnya dari para pembeli  ?. Tergantung kepentingan si penilai. Tetapi tidak di sini ruangnya, di hotel-hotel mewah sana.“

Kami terdiam. Seperti kena gigitan memilukan.Malam semakin jauh merangkak. Nyala rokok seperti kunang-kunang berkeliaran di  kehidupan kelam malam.

“Kami nyala rokok di kegelapan ini, di antara gerbong tua yang sudah tidak terpakai. Dulu saya juga praktik di sini. Sekarang praktik saya lain, saya ke sini membagikan kondom, kadang-kadang obat pesanan, tetapi yang selalu saya bawa adalah informasi. Saya cerewet dan galak. Sekarang semua orang yang praktik di sini sudah pakai kondom. Saya ajarkan mereka pakai kondom, saya dorong mereka memeriksakan kesehatannya ke klinik Yayasan Lotus yang dekat di sana. Sebab kalau ke Puskemas, mereka takut.” Kami terdiam kembali.

Sesudah satu jam kami berkeliling , kami pun pulang. Sebelum berpisah di mulut jalan Pasar Kembang, Yuniasih memberikan kartu  namanya. Tertera nama Yonasih, Tim Outreach Yayasan Lotus, lengkap dengan alamat dan nomer kontaknya. Cut nyeletuk,”Oh namanya Yonasih. Bukan Yuniasih.”

“Yonasih Mbak. Yono  penuh kasih. Sering dipanggil Asih”. Walaupun ia tertawa kecil, tetapi kedengaran getir di telinga. Terasa pahit. Saya memandanginya. Wajahnya perempuan, sedikit make up. Pancaran matanya memberikan aura kecerdasan.

“ Saya nitip pesan ya.” Katanya lirih.

“Boleh Mbak.” Cut menyambar langsung.

“ Kalau saya mati, saya kepingin diperlakukan sebagai Asih, bukan Yono.”

Kami saling berpandangan.*

Rawamangun 10 Nop.2014

*Putu Oka Sukanta, lahir di Singaraja Bali, tgl 29 Juli 1939 adalah seorang penulis, wartawan dan aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS. Mulai menulis sejak di bangku SMP. Pernah menjadi guru SMA di Jogja dan Jakarta, selain sebagai wartawan bebas. Karena aktif di Lekra, dia ditahan oleh Orde Baru sejak 1966-1976 di Jakarta dan Tangerang tanpa pernah diadili. 

Bagikan