Search
Close this search box.

Surat Untuk Bapak Presiden Ketujuh

Oleh: Abhipraya Ardiansyah*

Suarakita.org- Jakarta, 22 Oktober 2014. Bapak Presiden Ketujuh, saya mengucapkan selamat atas terpilihnya Bapak karena kepercayaan yang luar biasa dari rakyat Indonesia. Pada Bapak kami mengharapkan sebuah perubahan demi kemajuan bangsa Indonesia. Memang tidak mudah memimpin bangsa yang plural. Bangsa kita memang kaya. Karena penduduk Indonesia terdiri dari berbagai agama, suku, dan budaya. Namun, terdapat jenis lain keberagaman yang tidak boleh kita lupakan. Keragaman identitas gender dan orientasi seksual. Dari berbagai jenis keberagaman ini, LGBT masih menjadi minoritas dan kerap mendapatkan posisi yang merugikan.

Bapak Presiden Yang Terhormat,

Negara kita adalah negara yang mendapatkan nilai merah dalam hal toleransi. Beberapa hal justru membuat kita meragukan nilai-nilai kemanusiaan yang ada di negeri ini. Beberapa pekan sebelum Bapak naik menjadi Presiden, LGBT di Indonesia kerap kali mendapatkan berita buruk yang datang bertubi-tubi.

Pertama, buku pendidikan seksualitas yang dituduh sebagai bentuk propaganda LGBT. Buku yang memberikan informasi agar remaja kita tidak mencerna pendidikan seksual dengan simpang siur ini ditarik dari peredaran. Sadarkah mereka bahwa setiap orang memiliki hak atas informasi? Tingginya seks bebas di kalangan remaja pun terjadi karena tidak adanya media belajar yang tepat tentang seksualitas. Toh yang jika ada halaman yang berisi tentang homoseksualitas, apakah bisa disebut propaganda? Justru yang “mereka” lakukan dengan mengatakan bahwa LGBT sedang melakukan propaganda adalah bentuk propaganda itu sendiri. Kami bukan ingin melakukan kudeta. Alasan tersebut adalah salah satu bentuk kebobrokan pengetahuan seseorang tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, diterapkannya Qanun Jinayah di Aceh. Hukum yang berbasis syariat Islam ini seolah-olah mengkriminalisasikan homoseksual. Bagaimana kita bisa menganggap hubungan yang dilakukan dengan dasar suka sama suka sebagai tindak pidana? Karena dalam hal ini tidak ada pihak yang dirugikan, kecuali jika masuk dalam ranah pelecehan dan kekerasan seksual. Qanun Jinayat telah membuat ruang pribadi berubah menjadi ruang publik. Bukankah seksualitas adalah privasi setiap orang? Lagipula, liwath (seks anal) tidak hanya dilakukan oleh laki-laki homoseksual. Hal ini sama saja melanggar HAM dan menjadi bukti kecacatan konstitusi. Indonesia adalah negara anggota PBB yang memberlakukan DUHAM. Maka, seharusnya kebijakan yang ada dibawahnya harus tetap berpegang pada DUHAM. Karena kedudukan Qanun Jinayah sendiri sama dengan PERDA.

Ketiga, munculnya PP Kesehatan Reproduksi yang berbicara tentang “gangguan orientasi seksual”. Tiga kata tersebut menimbulkan kontroversi. Karena kita tahu bahwa orientasi seksual, baik heteroseksual maupun homoseksual, bukan merupakan sebuah “gangguan”. Berarti, orientasi seksual yang tidak sama dengan konstruksi masyarakat Indonesia yang heteronormatif dianggap sebuah gangguan kesehatan. Lagi-lagi, ini adalah bukti kecacatan konstitusi.

Keempat, penolakan Indonesia terhadap resolusi hak-hak LGBT. Dari pemungutan suara pada Komisi HAM PBB, Indonesia termasuk dalam 14 negara yang menolak hak-hak LGBT. Adapun negara-negara yang menyetujui resolusi tersebut sebanyak 25 negara. Berita tersebut memperlihatkan dengan jelas pada seluruh dunia bahwa nasib dan hak-hak dasar LGBT di Indonesia tidak didukung oleh negara. Kondisi ini memicu keadaan yang semakin rawan diskriminasi atau bahkan kekerasan pada LGBT. Sama saja dengan menyatakan bahwa hak-hak LGBT bukanlah hak-hak manusia. Apakah ini yang disebut negara ber-Kemanusiaan dan ber-Keadilan?

Kelima, kasus pembunuhan seorang transwoman Indonesia di Australia, Mayang Prasetyo. Mayang dibunuh dengan keji oleh suaminya dan dimutilasi. Belum jelas apa yang menyebabkan pembunuhan ini, karena si pelaku bunuh diri. Namun, terdapat beberapa hal yang menjadi fokus perhatian dalam kasus Mayang. Pemberitaan media di Indonesia yang malah mengekspos kondisi Mayang sebagai seorang transgender. Beredar pula foto-foto seksi Mayang dalam berbagai media. Seolah-olah transgender menjadi “objek” untuk menjual berita. Berbagai spekulasi yang menyudutkan kondisi LGBT pun muncul sebagai efek domino dari kasus ini. Padahal, pemberitaan di Australia tidak mengekspos korban yang notabene seorang transgender, melainkan kasus pembunuhan keji yang dilakukan. Masalah lain muncul ketika jenazah Mayang tiba di Indonesia. Tidak ada ulama yang mau menyolatkan dan membantu proses pemakamannya. Mencari lahan perkuburan pun dipersulit. Apakah ini yang disebut manusia beragama? Saat manusia dianggap lebih hina oleh manusia lainnya, bahkan saat ia sudah meninggal.

Bapak Presiden,

Beberapa kondisi tersebut memberikan gambaran pada kita bahwa keberadaan LGBT masih rentan di negeri ini. Kami tidak bisa hidup dengan nyaman untuk menjadi diri sendiri. Seolah-olah kami berada dalam ketakutan setiap saat. Berita buruk datang bertubi-tubi bagi kami. Dalam titik tertentu, kami merasa tidak akan ada berita baik dari negeri ini bagi kami.

Negara ini butuh pemimpin yang mampu membuat rakyatnya setara dalam HAM. Tidak peduli apapun agama, suku, warna kulit, jenis kelamin, identitas gender, dan orietasi seksual mereka. Jika salah satu agenda Bapak adalah untuk menghapuskan diskriminasi, maka salah satu pekerjaan rumah Bapak adalah memperjuangkan keberadaan LGBT. Tekanan dari kaum mayoritas yang anti-LGBT menjadi salah satu ancaman bagi kami untuk bergerak bebas. Belum lagi kecilnya peluang bagi kami untuk “berperan” di kancah politik dan pemeritahan. Contoh sederhana, dalam ketentuan lamaran kerja CPNS terdapat syarat ‘tidak mengalami kelainan perilaku (transgender)’. Bagaimana para transgender dapat bekerja pada instansi pemerintahan jika mereka dianggap mengidap kelainan perilaku? Kebijakan ini menjadi dinding penghalang bagi seorang transgender untuk berkarir di dunia pemeritahan. Adilkan ini?

Bapak Presiden,

Jika negara ini membutuhkan revolusi mental, maka mental yang terlebih dahulu harus diperbaiki adalah mental tentang memandang kesetaraan antara sesama manusia. Seorang lesbian, gay, biseksual, dan transgender bukanlah pesakitan yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk bangsanya. Kami juga manusia yang berhak memperoleh hidup yang lebih baik. Kami mampu berkarya, bersekolah, bekerja, karena kami juga memiliki akal dan pikiran seperti manusia lainnya. Tidak hanya itu, kami juga mampu bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Revolusi mental dapat mencakup hal yang sederhana, yaitu pemahaman bahwa orientasi seksual dan identitas gender bukanlah sebuah dosa dan penyakit. Karena hal tersebut sudah tertanam pada diri manusia, seperti warna kulit yang diberikan Tuhan pada kita.

Cukup dengan pemahaman tersebut, saya yakin bahwa masyarakat akan dapat menerima keberadaan LGBT dengan setara. Pengetahuan tentang HAM berbasis identitas gender dan orientasi seksual perlu ditanamkan secara luas. Karena negara yang maju adalah negara yang mampu menghargai setiap keberagaman yang ada pada penduduknya. Perbedaan itu indah, karena dengan perbedaan kita dapat saling melengkapi. Asalkan perbedaan itu dijalani dengan kepala dingin dan perdamaian.

Semoga Bapak Presiden dapat mewujudkan harapan kami dalam 5 tahun ke depan. Karena LGBT juga merupakan warga negara Indonesia, yang akan selalu mengawal pemerintahan Bapak.

*Penulis merupakan alumnus Universitas Gajah Mada dan merupakan bagian dari komunitas LGBT.  Tulisannya beberapa kali dipublikasi di website Suara Kita.