Suarakita.org-Praktek sunat bagi anak perempuan di Australia termasuk tindak pidana. Bahkan di Negara Bagian Queensland pelakunya diancam hukuman penjara 14 tahun. Namun ternyata praktek sunat bagi anak perempuan masih banyak terjadi di kalangan masyarakat pengungsi yang bermukim di Australia.
Menyikapi kondisi ini, sekelompok perempuan di Brisbane menggelar kampanye yang menentang praktek pemotongan alat kelamin perempuan atau sunat pada anak perempuan. Mereka menilai sunat terhadap perempuan adalah praktek brutal dan pemerintah diminta lebih proaktif.
Data dari UNICEF menyebutkan lebih dari 130 juta bayi dan anak perempuan di dunia alat kelaminnya dipotong, disobek dan dijahit sebagai bagian dari praktek budaya yang sudah berlangsung lama.
Budaya itu umumnya dipraktekan di Afrika Utara, Amerika Selatan, Asia dan Timur Tengah.
Di Australia, praktek sunat bagi anak perempuan dianggap kejahatan dimana di Negara Bagian Queensland bisa dikenakan hukuman penjara hingga 14 tahun bagi yang melakukannya, meskipun hingga kini polisi belum pernah menerima satu kasus pun.
Meski demikian, sekelompok perempuan yang bekerja di lembaga multibudaya Queensland mengaku prosedur sunat masih menjadi realitas dan banyak anak perempuan masih beresiko mengalaminya.
Perempuan Brisbane, Saba Abraham bercerita alat kelaminnya disunat oleh ibunya di Eritea, Timur Laut Afrika ketika dirinya baru berusia satu pekan.
Perempuan yang kini berprofesi sebagai pemilik restoran sekaligus tokoh advokasi hak perempuan ini menjadi bagian dari kampanye yang mendesak diakhirinya praktek sunat bagi perempuan di Australia.
“Saya tidak melihat kaitan antara sunat dan agama, karena saya beragama Kristen Ortodok. Sunat tidak didasarkan pada agama tapi hanya budaya yang meyakini kalau jika anak perempuan tidak disunat maka dia akan melakukan seks dengan pria mana saja,” katanya.
Abraham mengatakan point utama dari desakan mendidik orang mengenai praktek sunat itu adalah untuk menyadarkan mereka kalau sunat tidak memberi manfaat apapun bagi perempuan.
“Mari bangga dengan diri kita apa adanya secara sepenuhnya. Mari kita bentuk anak perempuan kita untuk bangga dengan diri mereka sendiri dan merasa sederajat dengan saudara laki-lakinya dan bisa menjadi manusia sesungguhnya, bukan perempuan yang dikontrol sejak lahir,”
Salah satu tokoh yang banyak memberikan seminar mengenai dampak negative dari sunat bagi anak perempuan Khadija Gbla berbagi kisahnya.
Gbla melarikan diri bersama keluarganya ke Australia dari perang yang membelah Sierra Leone 13 tahun lalu. Sekarang ia tinggal di Adelaide bersama suaminya.
“Suatu hari ibu saya tiba di rumah dan mengajak saya untuk menjumpai kawan, tapi kemudian kami malah pergi ke semak-semak dimana disana sudah menunggu seorang wanita tua . Ibu saya langsung merebahkan saya dan wanita tua itu memotong klitoris saya inci demi inci dengan menggunakan pisau berkarat- itu dilakukan dengan pelan-pelan dan sangat menyakitkan,” tutur Gbla.
“Saya harus hidup dengan kenyataan itu seumur hidup saya dan hingga kini sunat itu masih meninggalkan bekas luka di alat kelamin saya,” katanya.
“Sunat itu dilakukan tidak berdasarkan keinginan saya dan yang melakukannya juga tidak memiliki hal atas klitoris saya,”
Menurut GBLa ada banyak anak perempuan di Australia yang disunat kelaminnya.
“Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan perlu dilakukan dengan proses dialog kalau praktek ini tidak baik dan meskipun banyak terjadi dikalangan perempuan pengungsi namun pemerintah perlu bertindak proaktif dan tidak hanya berlindung dibalik alasan ini budaya mereka,’ tegas Gbla.
Perempuan tidak sunat dianggap pelacur
Odette Tewfik dari Keluarga Berencana Queensland mengatakan banyak perempuan Queensland yang masih melanjutkan praktek sunat kepada anak perempuan mereka bukan berdasarkan kasih sayang, tapi mereka yakin kalau sunat merupakan satu-satunya cara agar puterinya mendapatkan jodoh.
“Para wanita di negara yang mempraktekan sunat terhadap anak perempuan tidak mendorong anak-anaknya untuk bersekolah tinggi, sehingga pernikahan menjadi semacam satu-satunya masa depan bagi anak perempuan mereka dan diyakini kalangan pria di masyarakat mereka tidak mau mendekat kepada perempuan yang belum disunat,
“Perempuan yang tidak disunat dianggap sebagai pelacur,
Sementara itu konsekwensi kesehatan dari praktek sunat bagi anak perempuan antara lain dapat memicu pendarahan, infeksi, kesulitan buang air kecil dan menstruasi serta infeksi kandung kemih.
Sementara dampak jangka panjangnya adalah memicu trauma emosi, kesulitan melakukan hubungan seksual dan melahirkan serta gangguan masalah kesuburan rahim.
Data dari otoritas kesehatan Queensland menunjukan dalam lima tahun terakhir ada lebih dari 250 orang perempuan di rumah sakit yang alat kelaminnya dipotong mengalami masalah dalam kehamilan dan kelahiran mereka. Kebanyakan dari wanita yang dimutilasi alat kelaminnya berasal dari Sudan dan Somalia.
Sumber: radioaustralia.net.au