Search
Close this search box.

Gerakan LGBT di Indonesia Kurang Militan?

Suarakita.orgSeorang Mahasiswi Universitas Paramadina dalam diskusi mengatakan “gerakan lesbian, gay, biseksual dan transgender kurang militan”

Pernyataan tersebut menyeruak dalam sebuah perjumpaan diskusi dan pemutaran film “Milk”. Sebuah Film Biopic yang menceritakan kisah perjuangan politisi dan aktifis gay di Amerika yang memperjuangkan hak-hak gay untuk jabatan publik di California, Amerika Serikat sebagai anggota dewan pengawas San Fransisco. Film berdurasi 2 jam 8 menit ini di sutradai oleh Gus Van Sant, beredar tahun 2008 di Amerika dan Eropa.

Perjumpaan yang dihadiri kurang lebih 50 orang tersebut diadakan di Kafe Pisa Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan. Kegiatan yang diinisiasi oleh Forum Muda Paramadina bekerja sama dengan Lingkaran Servei Indonesia, mengundang pembicara Tunggal Pawestri, seorang aktifis perempuan yang konsen terhadap isu gender dan seksulitas.

Dalam makalah yang dituliskan oleh Tunggal menjabarkan  ada tiga poin penting yang bisa diambil terkait dengan film “Milk” dalam konteks gerakan Hak-hak LGBT , diantaranya: Perjuangan Politik, Perjuangan Hak-hak dasar manusia, dan Perjuangan melawan kekerasan. Dari tiga poin penting ini Tunggal menuliskan bahwa pada tahun 1800-1900, bahkan negara sekaliber Inggris pernah mengkriminalkan LGBT . Alan Turing (seorang gay penemu komputer) dan Oscar Wilde (sastrawan Inggris) adalah saksi sejarah yang menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan oleh Negara dengan memberlakukan kriminalisasi gay. Di Amerika juga tidak ketinggalan turut melakukan aksi kekerasan terhadap LGBT dengan memiliki hukum sodomi dan baru pada tahun 1962, Negara bagian Illinois adalah negara bagian Amerika yang pertama kali menghapuskan hukum tersebut.

Tunggal juga memberikan satu catatan penting terkait gerakan gay di Amerika, diantaranya: terjadinya sebuah kerusuhan disebuah wilayah Greenwich, dekat kota New York. yang dikenal dengan Stonewall Riot. Peristiwa ini menjadi sebuah titik balik bagi gerakan gay di Amerika. Saat itu terjadi kerusuhan yang berujung pada perlawanan fisik antara komunitas gay dan Polisi setempat. Hingga muncul buih-buih gerakan gay yang berjuang melawan ketidakadilan dengan lahirnya Aktifis-aktifis LGBT di Amerika, satu diantaranya adalah Harvey Milk.

Dengan diiringi darah dan airmata barulah gerakan LGBT di Amerika mendapatkan titik terang, pada tahun 1980-an Partai Demokrat mendukung Hak-hak gay, dengan memasukan isu Hak-hak gay menjadi bagian dari agenda Politiknya. dan pada tahun 2012-2013 barulah secara terbuka Presiden Obama dan Hillary Clinton secara terbuka mendukung Hak-hak gay dimuka publik dengan mendukung pernikahan sejenis.

Pemaparan selanjutnya oleh Denny JA ( founder lingkar servey Indonesia). Deny JA mengatakan bahwa tercatat 79 negara bagian masih mengkriminalkan homoseksual. dan terkait di Indonesia Denny JA bersama lembaganya membuat servei yang hasilnya 80,6% publik Indonesia tidak nyaman berdampingan dengan homoseksual, dan situasi ini tentunya membuat prihatin. Denny JA berharap ini menjadi satu tantangan untuk gerakan LGBT agar lebih gigih lagi berjuang dipublik menyuarakan Hak-haknya.

Gerakan LGBT di Indonesia Kurang Militan?
Menjawab pertanyaan diatas Tunggal tersenyum lebar dan mengatakan “siapa bilang?”. Gerakan LGBT di Indonesia justru sudah muncul sejak tahun 1969. Saat itu organiasi transgender/waria membuat organisasi bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD), yang difasilitasi oleh Ali Sadikin yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yang kemudian istilah Wadam (wanita adam) diganti menjadi Waria, karena mengandung nama nabi. Lalu disusul dengan organisasi gay lainya, seperti Gaya Nusantara yang kini menjadi organisai gay tertua di Indonesia yang mendorong lahirnya Organisasi-organisasi LGBT lainya, yang hingga kini telah ada 100 lebih organisasi LGBT yang tersebar dipenjuru Nusantara.

Tunggal juga menambahkan ada hal yang perlu dicatat bahwa pada tahun 2006 di Yogyakarta telah dilahirkan sebuah prinsip-prinsip HAM yang disebut “Yogyakarta Principle”. Prinsip-prinsip ini dibuat oleh pakar HAM diseluru dunia di Yogyakarta yang terkait dengan pemenuhan Hak-hak LGBT. dan “Yogyakarta Principles” telah diluncurkan tahun 2007 di United Nation Human Rights Council di Jenewa serta telah dipresentasikan disidang PBB di New York tahun 2007.

Selain itu komunitas LGBT juga sudah berusaha mendorong aktifis LGBT untuk berperan serta duduk dikursi publik untuk menjadi anggota komisoner Komnas HAM, diantaranya: Yulianus Retroblaut. SH dan Dr. Dede Oetomo, walau gagal namun ini membuktikan bahwa gerakan LGBT tidak tinggal diam.

Diakhir diskusi Tunggal mendapatkan pertanyaan yang membuat ia kembali tersenyum lebar.

Bagaimanakah posisi LGBT di Era Revolusi Mental?
Dengan lugas Tunggal menjawab, Era Revolusi Mental membuka peluang tidak hanya bagi LGBT “bertarung” memperjuangkan Hak-halnya di Republik Demokrasi ini, tapi semua rakyat punya kesempatan yang sama memperjuangkan Hak-haknya sebagai warga Negara. dan sebagai catatan saat kampanye pemilu Jokowi-Jusuf Kala tidak melakukan kampanye menggunakan simbol-simbol agama tertentu dan ini menjadi penting diperhatikan bahwa dengan begitu kesempatan itu sangat terbuka lebar untuk LGBT merebut ruang publik.

Justru menjadi pertanyaan yang harus dijawab adalah “ketika ruang demokrasi terbuka luas, sudah siapkah LGBT bertarung memperjuangkan Hak-haknya di Era Revolusi Mental? (Yatna Pelangi)

*hasil riset terkait LGBT :[gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2014/10/Konpers-Minggu-21-oktober-Indonesia-TD.pdf”]