Suarakita.org- Pada tanggal 5 September 2014, bertempat di Waroeng Solo Ampera, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) bekerja sama dengan East West Center, mengundang Our Voice untuk menjadi pembicara dalam acara seminar yang ditujukan bagi para jurnalis senior, dan bertajuk ‘Komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender) di Indonesia.’ Dibungkus dalam kerangka besar ‘Menjembatani Kesenjangan antara Amerika Serikat dan Dunia Islam,’ pertemuan kali ini adalah merupakan sebagian kecil dari rangkaian seminar yang diselenggarakan di tiga negara, yaitu India dan Amerika Serikat – di samping dengan Indonesia. Adapun, program ini melibatkan 13 jurnalis yang berasal dari beberapa media internasional yakni Palestina, Irak, Bangladesh, Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris.
Selain Our Voice, terdapat pula dua nara sumber lain yang berasal dari Ardhanary Institute dan Magdalene.com. Sesi pertama dibuka dengan pemaparan dari Ardhanary Institute yang menjelaskan mengenai sejarah LGBT di Indonesia, baik dalam seni wayang di mana terdapat karakter yang cair secara jender dan seksualitas, ataupun tradisi-tradisi lokal seperti bissu, bante, warok, dan kungkung. Dikatakan, bahwa Indonesia memiliki tradisi yang amat toleran terhadap LGBT pada zaman dahulu kala, jauh sebelum kedatangan dari agama samawi.
Sejarah kemudian maju kepada tahun 1960-an, saat pergerakan waria pertama dimulai dengan munculnya PERWAKOS (Persatuan Waria Kota Surabaya), yang lalu diikuti dengan HIWAD (Himpunan Waria Djakarta) yang dicanangkan oleh Ali Sadikin. Tahun 1980-an yang diwarnai dengan kegelisahan akan HIV/AIDS kemudian menjadi latar belakang dari kemunculan organisasi LGBT yang membingkai isu mereka dalam kerangka HIV/AIDS, sementara tahun 1990-an yang ditandai dengan kebangkitan dari gerakan perempuan, diikuti pula dengan kemunculan dari berbagai organisasi LBT (Lesbian, Bisexual, and Transgender). Sehingga dari pemaparan tersebut dapat dipahami bahwa pergerakan dari organisasi LGBT di Indonesia memiliki masa pasang dan surut, yang merefleksikan perkembangan politik pada saat itu. Adapun, masa kontemporer kini dicirikan dengan terjadinya dualisme, di mana jumlah organisasi LGBT semakin bertambah, di tengah fundamentalisme agama yang menguat di tengah masyarakat.
Sementara itu Magdalene.com, membahas mengenai perkembangan media di Indonesia. Atau secara khusus, pembahasan mengenai isu LGBT di dalam media populer, termasuk dengan perangkat hukum yang secara langsung mempengaruhi ranah tersebut semisal UU Anti-Pornografi dan Internet Positif. Pembicara dari Magdalene.com menjelaskan mengenai tiga tipe dari pemberitaan LGBT di dalam media, yaitu konservatif/netral, sensasional, dan religius. Topik tentang media itu, kemudian disambung oleh Our Voice, yang memang telah memposisikan dirinya sebagai sebuah media alternatif. Selain memberi komentar tentang situasi politik kini yang dinilai semakin fundamentalis, Our Voice juga turut berbagi pengalamannya dalam menghadapi upaya sensor pemerintah dan berdialog dengan beberapa tokoh publik.
Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, di mana beberapa jurnalis menanyakan pertanyaan yang meliputi topik kekerasan, diskriminasi, media, agama, serta kondisi politik terkini. Terakhir, sebelum melakukan mobilisasi menuju ke tempat seminar selanjutnya, terdapat sesi ramah tamah, pemberian suvenir, dan perkenalan antara peserta dengan pembicara.
Sebuah acara diskusi santai yang sangat menarik di tengah siang hari yang terik. Sambil ditemani oleh es kelapa muda serta bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang saling bersahut-sahutan tanpa henti dari mulut pembicara, jurnalis, dan penerjemah, Timur dan Barat bertemu dalam seminar hari itu.