Oleh : Tanti Noor Said*
Suarakita.org- Apakah masyarakat di Eropa Barat ataupun Amerika Serikat mulai berjalan mundur menuju konservativisme dalam kebebasan seksual?
Secara garis besar, inilah tema dari pembukaan kuliah Gender dan Seksualitas yang sempat saya hadiri beberapa hari lalu. Tema yang untuk saya tidaklah mengagetkan. Sangat bombastis untuk mahasiswa program sarjana, master sampai dengan doktoral yang sedang menggeluti tema seksualitas, kesetaraan jender, postkolonialisme sampai dengan globalisasi. Tapi tema ini sudah lama tercecer dimana-mana, dalam berbagai silabus kuliah seksualitas yang telah saya ikuti selama tiga tahun belakangan ini. Mungkin juga lebih. Jadi, bukanlah penemuan baru.
Itu sebabnya saya tidak terlalu terkejut, meskipun turut hanyut dalam arus eforia ketika tema ini dijadikan pembuka dalam studi seksualitas di banyak universitas di Eropa Barat ataupun Amerika Serikat. Trend. Lintas budaya menyorot perihal seksualitas dari Asia, Eropa, Amerika dan negara-negara Islam misalnya.
Mudah bagi kita untuk terus menerus menggunakan argumentasi post kolonialisme. Atau menyalahkan argumentasi bahwa barat saat ini menuju kemundurannya, ketika dunia yang katanya timur itu konservatif dan berjuang keras menuju liberalisme.
Frustasi saya yang giat mengikuti berbagai debat sirkulasi budaya, barat dan timur, mengusung-usung prinsip Edwards Said mengenai orientalisme, menjadikan saya begitu muak pada trend yang ada. Bukankah kita belajar untuk menjadi kritis dan bertanya akan adakah kemungkinan-kemungkinan lain. Jika tidak, maka kita tidak berbeda satu sentimeterpun dengan penganut puritan fanatik yang mengandalkan kepercayaan pada surga dan neraka.
Namun benar, argumentasi Foucault mengenai kekuasaan, masih terus dapat kita gunakan. Dalam konteks masyarakat manapun. Bukan hanya untuk memprotes elitis Viktorian. Namun juga keberatan saya pada para fanatik pengikut Prabowo dan Jokowi. Untuk tidak lengah dan memberikan hak untuk berkuasa semena-mena, dikarenakan kepercayaan kita kepada sesosok figur yang kita pikir dapat dipertanggungjawabkan tindakannya dengan ukuran moral yang kita setujui. Belum lagi kepercayaan kita kepada kebenaran yang absolut. Baik dari sisi liberal, democrat, maupun konservatif.
Jangan lupa, seksualitas adalah sebuah bentuk produk yang paling rentan atau fragile, dikarenakan tabu, kemistikan dan misteri yang dikandungnya. Tetapi dunia akademik membelejeti seksualitas habis-habisan, untuk membongkar tabunya. Kemudian diubah menjadi sesuatu yang lebih ilmiah, tanpa misteri dan emosi. Apakah kita yang bermain-main pada tingkat ilmiah tidak serta-merta melembagakan seksualitas yang kenyataannya memang mengandung naluri kebinatangan yang mengindahkan logika?
Tujuan tulisan ini jauh dari edukasi. Tetapi keinginan untuk mempertanyakan, apakah kita selama ini cukup kritis sebagai individu yang memberikan suara dan kekuasaan kita atas tubuh dan naluri kita yang bebas kepada orang-orang yang kita pikir dapat memperjuangkan hak-hak kita yang kita pikir berbahaya ketimbang diri kita sendiri.
Foucault 2.0 adalah sebuah tema yang melihat dan menemukan, dengan hilangnya tabu-tabu yang melekat pada seksualitas, ternyata masih saja penguasa menancapkan kukunya pada ranah penuh misteri ini. Hukum perlindungan seksual anak, perempuan, yang mengusung agenda terselubung dari rejim patriarki. Penjara tanpa terali. Beranjau meski dalam banyak bentuk lain yang menyelimur.
*Penulis adalah seorang antropolog lulusan Universitas Amsterdam, Belanda.