Prosa di Sebuah Halte
Oleh : Aris Kurniawan*
Suarakita.org- Suara cempreng dua orang waria membangunkan Ferina yang baru saja mau tertidur. Ferina menyeka wajahnya yang basah keringat dengan sapu tangan sambil memperhatikan waria yang sedang menyanyi lagu dangdut disertai goyangan dahsyat itu. Huh, desah Ferina dalam hati.
Ferina merasakan kepalanya berdenyut pusing sekali. Tapi dia tahu tak mungkin melanjutkan tidurnya. Ferina harus hati-hati. Waria-waria itu bisa saja merogoh dompet atau handphone di saku celananya. Bus ini makin sesak penumpang, tapi dua waria itu asyik saja bergoyang seakan-akan berada di atas panggung yang luas.
Bis berhenti di Slipi untuk menaik dan menurunkan penumpang. Salah seorang waria mulai berkeliling menjulur-julurkan wadah bekas bungkus permen meminta bayaran kepada setiap penumpang. Ferina mencari-cari recehan di dalam tas, ia biasa melempar begitu saja uang logam seribu atau limaratus di dalam sudut tasnya. Dia iba dan merasa harus memberi waria itu sekadar uang recehan. Lagi pula meski sempat mengganggu tidurnya, toh waria-waria itu cukup menghiburnya. Seribu cukuplah sebagai upah mereka menyanyi.
Sialnya, Ferina tak menemukan selembar pun uang seribuan di kantung manapun di bajunya. Sementara waria itu telah berdiri di depannya, menjulurkan wadah bekas bungkus permen. Menatapnya dengan genit setengah mati. Ferina gugup, lalu buru-buru mengangsurkan selembar uang sepuluh ribuan. “Kembali..ya,” kata Ferina.
Tapi waria hanya tersenyum serta mengerlingkan matanya. Ferina buru-buru memalingkan muka. Ya sudahlah itung-itung amal, pikir Ferina, menghibur diri.
Ferina melirik jam di layar handphone-nya. Pukul 08.16. Masih cukup waktu untuk sampai di kantornya sebelum pukul 9. Setelah bis ini Ferina harus menyambung satu bis lagi untuk sampai kantornya di daerah Kebon Sirih. Dia merogoh kantung celananya. Tak menemukan sekeping uang pun dia sana. Dia baru sadar sekarang, uang sepuluhan ribu yang tadi dia berikan pada pengamen adalah uang terakhir yang dimilikinya. Bis berhenti lagi di halte Bendungan Hilir. Dia melihat dua orang pengamen waria itu turun. Ferina berniat ikut turun untuk minta kembalian pada mereka. Tapi segera sadar tak mungkin melakukan niat tersebut.
Ferina berjalan dengan perasaan sedikit dongkol. Dia harus jalan kaki sepanjang dua kilo untuk mencapai kantornya. Ah, sudahlah, ikhlaskan saja, pikir Ferina menghibur diri. Hitung-hitung sedekah. Biasanya dia selalu menyiapkan uang recehan lima ratusan untuk para pengamen. Dia akan memberi uang secara sukarela kepada pengamen yang dinilainya menyanyi dengan bagus dan menghibur. Kepada pengamen yang menyanyi asal-asalan atau dengan syair menyindir-nyindir penumpang, dia cukup mengucapkan maaf sambil mengangguk. Dia benci pada pengamen jenis kedua ini. Bahkan Ferina berani melawan jika mereka memaksa.
Seminggu kemudian, Sabtu waktu itu, sekeluar dari toko sepatu Ferina duduk di halte Bendungan Hilir sekadar untuk melepas lelah sambil menikmati sebotol teh dari pedagang yang ada di halte. Ketika sedang nikmat-nikmatnya menyesap teh botol dingin, dilihatnya dua orang pengamen waria yang tempo hari menerima sepuluh ribu darinya. Tentu saja tak ada niat untuk meminta uang kembalian pada mereka. Kalaupun mereka ingat, tentu tak akan mungkin memberi kembalian. Lagi pula Ferina sudah mengikhlaskan. Namun tanpa diduga tatapan Ferina bersirobok dengan mata pengamen waria itu, lantas mereka berjalan menghampiri Ferina. Wah, celaka, rutuk Ferina. Dia segera memalingkan wajah dan hendak beranjak meninggalkan halte. Namun sebelum Ferina bangun dari duduknya, waria itu telah berdiri di hadapannya, sengaja menahan langkah kaki Ferina. Dia sungguh panik. Jantungya berdebar-debar kencang sekali.
“Apa-apaan ini?” kata Ferina mencoba tetap tenang.
“Apa kabar, Non Ferina?” cetus si waria. Ferina gugup, kebingungan, dari mana waria itu tahu namanya. Dia lupa siapa pun bisa membaca nametag di dadanya.
“Kami punya utang kembalian ya, Non,” kata si waria, “kami bayar dengan lagu ya, Non.” Ferina masih kebingungan ketika waria itu mulai menyanyi dangdut yang disertai goyangan dahsyat seperti biasa. Ferina kikuk campur malu. Tapi, apa boleh buat, tidak ada yang bisa dia lakukan selain duduk menikmati suguhan lagu dari mereka. Sebab setiap Ferina mau beranjak bangkit, si waria berusaha menahannya.
**
“Hahahahaha…..terus apa yang terjadi? Dia menyanyi berapa lagu?” Fifi, kawannya sesama office girl bertanya sambil terus terkekeh.
“Kata dia satu lagu seharga lima ribu. Tapi khusus untukku dia kasih bonus dua lagu. Jadi mereka menyanyi tiga lagu untuk saya,” kata Ferina melanjutkan ceritanya.
Fifi masih terkekeh ketika Ferina beranjak dari sana karena harus menjalankan tugasnya membersihkan lantai, kemudian menyiapkan kopi untuk Bu Dyahningrum, direktur perusahaan konsultan media yang menyewa kantor di gedung tempat Ferina bekerja sebagai office girl. Selesai melakukan dua tugasnya tersebut, Ferina akan terus bekerja mulai dari memfoto kopi, melayani keperluan para pegawai membeli ini itu. Semua pekerjaan dia lakukan secara riang gembira, tekun, tanpa mengeluh. Kecuali kalau betul-betul kecapaian. Tapi secapai apa pun bagi Ferina, pekerjaannya sekarang jauh lebih baik ketimbang pekerjaannya dulu jadi sales promotion girl. Maklumlah, dia hanya jebolan SMK. Ferina baru selesai bekerja seusai waktu makan siang.
Cerita tentang pengalaman Ferina dengan waria pengamen itu rupanya menyebar dan menjadi bahan kelakar hangat di sebagian pegawai perusahaan konsultan media di lantai 22. Ferina hanya tersipu-sipu jika ada pegawai yang mencandainya.
“Kamu ingat nama waria itu, Fer?” tanya Bu Dyahningrum, sang direktur, usai istirahat makan siang. Bu Dyahningrum secara khusus memanggil Ferina masuk ke ruangannya. Ferina deg-degan menerima panggilan yang tidak biasa itu. Dia tak mengira tujuan Bu Dyahningrum memanggilnya cuma untuk bertanya nama waria itu.
“Saya bukan tidak mengingatnya, Bu. Tapi saya memang tidak tahu dan memang tidak bertanya siapa namanya,“ kata Ferina. Bu Dyahningrum manggut-manggut. Lantas dia melanjutkan pertanyaan berikutnya. Nadanya seperti menginterogasi Ferina.
“Tapi mungkin kamu ingat ciri-ciri khusus waria itu?”
Ferina gelagapan. Dahinya berkerut tanda dia berpikir keras.
“Maksud saya, apakah waria itu memiliki tahi lalat sebesar kelereng di pelipisnya?”
Dahi Ferina makin berkerut, bersikeras mengingat-ingat. “Saya tidak memperhatikan, Bu. Saya cuma ingat waria itu cantik sekali, seperti Krisdayanti,” terang Ferina.
Sekarang giliran dahi Bu Dyahningrum yang berkerut. Ferina sungguh tak mengerti dengan pertanyaan dan ekspresi atasan yang biasanya tak pernah mengajak ngobrol itu, tapi Ferina sungkan untuk bertanya kenapa.
“Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang. Tapi ingat, jangan kasih tahu siapa pun apa yang barusan kita obrolkan,” kata Bu Dyahningrum setengah mengancam.
**
Ferina baru beres mandi dan berganti baju, saat didengarnya bunyi klakson berkali-kali di depan rumahnya. Ketika ditengok, tampak Dyahningrum keluar dari mobil. Dia tersenyum dan berjalan ke arahnya.
“Bu Dyah, ada apa, Bu?” Ferina bertanya, memperlihatkan keterkejutannya. Belum pernah ada orang kantor bertamu ke rumahnya. Karena memang tidak ada yang tahu. Tak ada perlunya kan memberi tahu alamat rumah kepada mereka. Toh mereka mereka tak punya keperluan apa pun untuk datang bertandang. Waktu mereka terlalu berharga untuk dihabiskan dengan mengunjungi seseorang yang tidak akan memberi keuntungan apa-apa.
“Tenang, Fer. Jangan kaget begitu. Aku butuh bantuan kamu,” kata Bu Dyahningrum, matanya serius menatap Ferina.
“Bantuan?”
“Kamu mau kan membantu saya?” suara Bu Dyahningrum terdengar hampir mengiba.
“Bantuan apa, Bu?”
“Begini Ferina, saya ingin kamu menemani saya mencari pengamen waria yang pernah kamu beri uang sepuluh ribu.” kata Bu Dyahningrum, dengan suara pelan sekali seakan pembicaraan mereka begitu berbahaya. Namun, lagi-lagi, Ferina sungkan untuk bertanya kenapa.
**
Minggu siang yang panas Ferina memulai petualanganya menemani Bu Dyahningrum mencari dua pengemen waria. Mereka start dari terminal Grogol.
“Kamu yakin mereka naik dari terminal Grogol?” tanya Bu Dyahningrum. Ferina mengangguk. Setelah menunggu sampai dua jam namun yang dicari tak juga muncul, mereka melanjutkan penelusuran ke pemberhentian bis di Slipi. Nihil juga. Lantas diteruskan ke halte Semanggi.
“Di sini mereka menyanyi untuk saya sebagai uang kembalian tempo hari,” kata Ferina. Maka mereka pun menunggu di halte Semanggi. Duduk dengan mata sibuk mengawasi orang-orang yang lalu lalang, naik turun dari bis yang berseliweran. Setelah seharian mencari namun tak juga ada tanda-tanda menemukan yang dicari, Dyahningrum memutuskan pulang. Dia mengantar Ferina sampai depan rumah kontrakannya.
Sebelum Ferina turun dari mobil, Bu Dyahningrum kembali berpesan supaya tidak menceritakan apa yang baru saja dilakukannya. Ferina mengangguk-angguk. Dyahningrum menyorongkan beberapa lembar sepuluh ribuan ke genggaman Ferina. Sebelum berlalu Dyahningrum bicara lagi, lirih-lirih. Katanya,
“Adik saya jadi waria. Sejak remaja dia meninggalkan rumah, kabur ke kota ini. Kami semua mengasihinya. Tapi justru karena itu, kata dia dalam suratnya, harus meninggalkan kami. Bertahun-tahun saya mencarinya. Saya punya firasat waria yang kamu beri uang sepuluh ribu itu adik saya.”
“Kenapa Ibu punya firasat dia adik Ibu?” akhirnya Ferina berani bertanya.
“Saya kenal betul dia sejak kecil. Dia tak pernah mau menerima uang yang bukan haknya. Dia akan selalu mengembalikan uang yang bukan miliknya,” jelas Dyahningrum, sendu sekali, membuat Ferina terbawa haru.
**
Pagi ini Ferina masuk kantor dengan perasaan berdebar-debar campur cemas dan sedih. Waktu berangkat tadi dia melihat waria yang dicari Bu Dyahningrum. Hanya saja, Ferina lihat waria itu terkapar di trotoar, tak jauh dari halte Bendungan Hilir. Pengendara sepeda motor menyeruduknya keras sekali. Si waria terpelanting. Ferina melihat trotoar sekitar kepalanya penuh genangan darah. Aku harus beri tahu Bu Dyahningrum, pikir Ferina.
Cirebon-Pondok Pinang 5 April 2014
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, reportase, esai untuk sejumlah penerbitan. Bukunya yang telah terbit Lagu Cinta untuk Tuhan (Kumpulan cerpen, Logung Pustaka, 2005,) Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007). Ayah tiga anak ini sehari-hari bekerja sebagai wartawan freelance untuk sejumlah media Jakarta.